Bab 12 - The Missing Hunter

34 1 0
                                    

Yah, singkat cerita, kami menemukan pria yang disebut Goro ini, yang tadi memukulku sampai pingsan.

Mata hitam pekatnya menatap pemandangan Elysium dengan tatapan bagaikan elang yang sedang mencari mangsa, sementara jubah berwarna gelapnya berkibar mengikuti arah angin, begitu juga dengan rambut coklat keabuannya yang hampir menyentuh leher. Itu yang bisa Reiko deskripsikan tentang pria itu.

Aku menelan ludah, menatap langit gelap tanpa ada satupun benda angkasa sambil merapatkan jasku. Reiko mengawasi sekitarnya, berusaha untuk menemukan temannya yang sampai sekarang belum kelihatan.

"Ryo!" Kakak perempuanku itu melemparkan sebuah batu kerikil kepadaku - entah bagaimana dia mendapatkannya - seketika membuyarkan lamunanku.

"Ryo, aku tahu kau suka dengan langit malam karena menatap mereka menenangkanmu, tapi mendongak terlalu lama bisa mematahkan lehermu."

Mendengar itu aku perlahan menurunkan kepalaku agar dapat melihat wajah Reiko - yang sebenarnya kalau kalian melihatnya sendiri, kulitnya seputih salju sampai-sampai dia seakan bercahaya bagaikan bulan purnama di kegelapan. Cantik sekali.

"Itu yang telah kulakukan selama dua puluh tahun lebih dan kau baru memberitahuku sekarang? Inilah definisi ironi sesungguhnya."

Reiko memutar matanya. "Terserah kau sajalah."

Tidak, serius, semua ini benar-benar ironi.

A simple case of brain-dead anomalies turned serious all of a sudden. Assuming it was going to be the same as any other normal days, never expected things to escalate so soon.

Yah, masa depan. Itu adalah hal yang sangat misterius, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Dan kecil kemungkinan untuk menghindarinya ataupun mengubahnya.

"Aku hanya sedang banyak pikiran."

"Tiba-tiba sekali."

Aku menghela napas. "Oneesan..."

Reiko tiba-tiba mengangkat tangannya, menyuruhku untuk diam.

"Ada yang datang."

Aku mendekati Reiko, menatap sekitarku penuh waspada. Suasana disekitarku mendadak menjadi mengerikan.

Atau setidaknya begitu sampai orang yang dimaksud menghampiri kami sendiri.

"Kalian sedang apa?"

Aku dan kakakku menoleh nyaris bersamaan.

"Goro-sama!" Reiko berseru. "Akhirnya kau muncul juga. Dari mana saja?!"

Pria yang dipanggil Goro itu hanya menatap busur elektriknya sambil menyetelnya. "Aku hanya menjernihkan pikiranku."

Reiko menyipitkan matanya. "Kau tahu, kau masih berhutang satu permintaan maaf pada adikku."

Tanpa peringatan, Goro mengarahkan busurnya ke arah Reiko. "Semua itu bagian dari naluri alamiah manusia. Aku melakukannya karena instingku."

Reiko hanya mendorong pelan kepala busur itu dari pandangannya. "Itu bukan alasan, Yamamoto Goro."

Aku menyentuh pelan pundak Reiko. "Tidak apa-apa, oneesan. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

"Lihat? Bahkan dia setuju denganku."

Aku beralih menatap pria itu tajam. Bukannya aku marah, hanya sedikit terusik. Aku memang tidak menerima permintaan maaf, tapi dia bersikeras bahwa ini bukan salahnya, dan aku geram.

"Aku tidak menyetujui apapun. Bagaimanapun juga, kau masih memukulku."

"Tapi kau memaafkanku, kan? Kita impas." Goro melambaikan tangannya pelan. "Lagipula, kau yang pertama mengancam dirimu sendiri. Jatuh dari langit."

Cybernetica: Embrace The FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang