"Jangan jadi bodoh dengan bunuh diri. Nyawa kamu terlalu berharga buat dihabiskan hanya karena manusia."
— Safdar Al Husainy
★★★
Di bawah kemuning sorot lampu jalan, seorang Perempuan berusia 17 tahun mematung di sana. Suara bentakan keras bundanya masih membekas di pikiran Perempuan berambut panjang itu.
"Mulai hari ini kamu bukan anak saya lagi, Hafshah Rohadatul Aisy!"
Hafshah—sapaan akrabnya. Saat lahir ke dunia, Bunda adalah orang yang paling bahagia. Saking bahagianya, sampai-sampai Bunda memberikan putrinya nama spesial, Hafshah Rohadatul Aisy. Hafshah dan namanya sama-sama indah nan cantik. Tetapi, entah dosa apa yang Hafshah perbuat hari ini hingga Bunda tak mengakui anak lagi. Bunda malah memilih pergi bersama suami baru dan seorang anak kecil yang katanya anak baru Bunda.
Tarikan napas panjang keluar dari hidung mancung Hafshah. Tatapannya lurus ke depan, pada jembatan yang terhampar luas di hadapannya. Hari sudah mulai gelap, lalu lalang kendaraan mulai senyap.
"Sepi." Gumaman itu berhasil lolos dari bibir Hafshah diiringi dengan senyum miring. Pikirannya melanglang mengingat bayangan kemarahan Bunda dua hari lalu. Waktu ketika dia menolak pergi ikut Bunda. Dia memilih tetap tinggal bersama Ayah, laki-laki yang selalu menemaninya sejak Bunda pergi 10 tahun lalu.
Tiba-tiba Hafshah tertawa seorang diri. Mengingat kenyataan bahwa Ayah malah pergi meninggalkannya. Ayah bilang, "kamu harusnya ikut Bunda, Sah. Bukan malah milih sama Ayah yang miskin. Kamu tau sendiri Ayah nggak punya biaya buat sekolah kamu. Sedangkan Bunda kamu? Dia kaya, dia bisa memberikan apa yang kamu mau."
Kala itu Hafshah tetap menggeleng kuat.
"Enggak, Yah. Hafshah cuman mau sama Ayah."Ayah terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya dia menarik napasnya panjang.
"Ayah capek menghidupi kamu, Hafshah. Daripada kamu maksa tinggal sama Ayah, mending Ayah yang pergi. Kamu tinggal aja di rumah ini sendiri!"Hafshah pikir Ayah hanya bergurau. Tetapi, nyatanya sudah dua hari Ayah tak kunjung pulang. Hafshah tak tahu apa yang menjadi alasan Ayah pergi meninggalkannya. Padahal selama satu tahun dia duduk di bangku SMA, dia membayar memakai uang hasil kerja menjadi penyanyi cafe. Tak sedikitpun memakai uang dari Ayah. Dia hanya ingin Ayah menemani hidupnya, itu saja.
"Aku bunuh diri aja kali ya? Toh udah nggak ada yang peduli," gumam Hafshah seraya berjalan mendekati jembatan. Tatapannya kosong, matanya sembab, wajahnya pucat pasi. Sudah sehari penuh nasi tak masuk ke perutnya, air tak lewat ke tenggorokannya, dan tidur tak kunjung menghampirinya. Alasannya hanya satu : memikirkan ke mana perginya Ayah?
Perlahan Hafshah melangkahkan kakinya ke pinggiran jembatan, merasakan angin dingin menusuk kulitnya. Satu kakinya sudah bersiap naik pada pegangan jembatan. Namun, jantungnya berdegup kencang, seakan-akan memohon untuk berhenti. Napasnya tercekat, tatapannya kosong. Sementara pikirannya berlarian membayangkan kerasnya teriakan Bunda, suara penolakan Ayah, dan hari-harinya yang dirundung sepi.
"Allah, apa hidupku memang nggak berharga bagi Ayah dan Bunda?" Satu tetes air mata jatuh, mengalir perlahan ke pipinya yang sudah basah oleh hujan.
"Allah, biarkan aku mati. Hidup yang aku jalani selalu nggak adil. Ayah dan bundaku juga nggak pernah peduli. NGGAK ADA GUNANYA AKU HIDUP, ALLAH!"
Hafshah tertunduk. Membiarkan bulir-bulir air luruh dari pelupuk matanya. Beberapa saat Hafshah memejamkan dan menarik napasnya panjang sebelum akhirnya kedua kakinya naik ke atas pegangan jembatan. Kedua tangannya masih berpegang erat pada besi-besi jembatan. Kepalanya menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada satupun orang yang akan menggagalkan rencananya. Setelah dirasa aman, Hafshah melepaskan satu tangannya membuat tubuhnya menggantung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Safdar Al-Husainy
Teen FictionHafshah memiliki impian sederhana, menjadi makmum dalam hidup Safdar. Ia ingin Safdar menjadi imam yang membimbingnya menuju surga. Nahas, sebanyak apa pun Hafshah mengatakan, "Aku cinta kamu, Safdar!" Safdar tidak pernah meresponnya. Sebab, bagi...