"Apa yang mata kita liat belum tentu sama dengan yang terjadi. Kita nggak pernah tau seberat apa cobaan dan masalah yang seseorang hadapi dibalik tawa bahagia dan kesuksesannya."
— Ibu, Sumayah
★★★
Suara riuh mulai terdengar di pelataran sekolah, para peserta yang dinyatakan lolos seleksi paskibra saling memberi ucapan selamat satu sama lain diikuti dengan gelak tawa penuh kebahagiaan. Sementara itu, Hafshah malah terduduk di bibir lapangan. Ia lebih memilih menikmati kelolosan seleksinya dengan menatap lurus ke depan, tepat pada seorang pemuda tampan yang berdiri di tengah lapangan. Pemuda itu tampak sempurna dengan wibawa dan jiwa tanggung jawabnya. Melihat cara pemuda itu melatih dan memberikan arahan kepada para juniornya membuatnya terhisap pesona dalam hitungan detik.
Muhammad Safdar Al-Husainy. Namanya seperti gema yang selalu mengalun indah di pikiran Hafshah.
"Pasti dia dapetin posisi sekarang berkat orang tua yang selalu support setiap usahanya." Hafshah bergumam pelan, seolah mengingatkan dirinya berbanding terbalik dengan Safdar. "Bodoh banget aku malah suka kamu. Secara kasat mata aja kita udah beda." Hafshah tertawa di ujung kalimatnya, mengingat terlahir dari keluarga yang jauh dari kata harmonis. Terbiasa hidup dalam kesepian dan pertengkaran orang tua membuatnya menjaga jarak dengan dunia yang kejam.
Pandangan Hafshah kembali menjelajah lapangan. Hingga ia menemukan Safdar sedang berbincang dengan seorang perempuan. Meski jarak pandang Hafshah jauh, tetapi ia bisa melihat bagaimana interaksi Safdar dengan
Nayanika- seorang gadis cantik berhijab yang mengikuti paskibra di tingkat nasional. Mereka tampak nyaman berbicara, bahkan sesekali Safdar tertawa bahagia setelah Nayanika berbicara."Idamannya pasti yang tertutup dan berprestasi," gumam Hafshah.
Tiba-tiba sebuah suara lembut menyela dari belakangnya.
"Hafshah juga pakai hijab dong biar jadi idaman dia."Hafshah terkesiap dengan denyut jantungnya langsung berpacu cepat. Ia menelan ludah susah payah sebelum akhirnya memberanikan diri menengok ke belakang.
Pemandangan pertama yang Hafshah temukan adalah Bu Maya - guru cantik dengan senyuman manis yang menghiasi bibirnya. Meski wajah Bu Maya menunjukkan kerutan usia, tetapi pancaran wajahnya masih tampak bersinar seperti usia 30-an.
"Eh, Bu Maya? Sejak kapan Ibu di sini?" tanya Hafshah, suaranya sedikit gugup.
Bu Maya tertawa kecil.
"Sejak Hafshah merhatiin Safdar," godanya sembari mengangkat sebelah alis.Hafshah menggaruk-garuk tengkuknya. Sekian detik ia membiarkan wajahnya tertunduk hanya untuk menutupi pipinya yang memerah. Kalau saja bisa, Hafshah ingin menghilang dari bumi detik itu juga.
"Eum .... Eng- enggak kok, Bu. Cuman nggak sengaja liat aja." Hafshah mencoba berdalih. Hal itu justru membuat Bu Maya tertawa, menambah aura cantik terpancar di wajahnya.
Bu Maya menarik napasnya panjang lantas mendudukkan diri di sebelah Hafshah. Jari jemari tangan kanannya yang tak tumbuh sempurna berusaha mengelus lembut pundak Hafshah.
"Hafshah sayang, apa yang mata kita liat belum tentu sama dengan yang terjadi. Kita nggak pernah tau seberat apa cobaan dan masalah yang seseorang hadapi dibalik tawa bahagia dan kesuksesannya." Hafshah menoleh ke samping, hanya untuk menemukan senyuman teduh milik Bu Maya. "Dan ... Hafshah jangan merasa sendiri ya ... di sini ada Ibu yang siap bantu Hafshah, ada Allah juga yang bakal nolong. Jangan berkecil hati ya anak manis." Bu Maya menyingkirkan helai rambut yang menutupi mata Hafshah dengan lembut.Tanpa sadar, bulir air mata jatuh dari pelupuk Hafshah.
"Ibu kenapa baik banget sama Hafshah?" tanyanya."Bagi Ibu, Hafshah udah kayak anak ibu sendiri. Hafshah anak yang baik, cerdas, dan mandiri. Hafshah hebat!" puji Bu Maya. Entah terbuat dari apa hati Bu Maya hingga bisa berbicara dan berperilaku begitu lembut pada Hafshah. Padahal Hafshah hanya sebatas muridnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Safdar Al-Husainy
Teen FictionHafshah memiliki impian sederhana, menjadi makmum dalam hidup Safdar. Ia ingin Safdar menjadi imam yang membimbingnya menuju surga. Nahas, sebanyak apa pun Hafshah mengatakan, "Aku cinta kamu, Safdar!" Safdar tidak pernah meresponnya. Sebab, bagi...