2. Uwais Al-Qarninya Ibu

168 7 0
                                    


"Meski dunia nggak peduli, tapi yang maha esa akan selalu menemani setiap langkah kita."




★★★







"Ibu sudah mengizinkan Safdar ikut paskibra sampai ke tingkat nasional. Sekarang, Ibu boleh minta sesuatu dari Safdar?" tanya Ibu sembari meletakkan sebakul nasi di meja makan. Sementara itu, Safdar meletakkan buku biologi di sampingnya. Pagi ini, ia sudah bersiap dengan seragam abu-abu putih.

"Apa sih yang nggak buat Ibu? Apa pun yang Ibu mau, selagi itu baik, pasti Safdar lakuin," jawab Safdar. Baginya, Ibu adalah segalanya—napas sekaligus hidupnya. Setiap kata yang diucapkan Ibu selalu menjadi pendorong semangat, membuat Safdar berusaha lembut dan penuh kasih saat berbicara dengannya.

"Sekarang kan kamu sudah kelas 12. Jadi, kurang-kurangin ikut paskibra. Kalau bisa, ya, jangan ikut lagi. Biar fokus belajar saja buat persiapan masuk kuliah kedokteran," saran Ibu.

Safdar mengangguk.
"Nggih, Bu. Safdar bakal fokus belajar kok. Paling sesekali jenguk adik kelas yang lagi latihan paskib," kata Safdar. "Safdar pasti akan berusaha semaksimal mungkin, Bu, biar bisa masuk UGM jurusan kedokteran," lanjutnya, yang membuat Ibu tersenyum.

Sepintas, orang mungkin berpikir Ibu terkesan memaksakan kehendak. Ibu ingin Safdar mewujudkan mimpinya menjadi Dokter. Sementara itu, Safdar memiliki impian lain: menjadi Tentara.

"Nak, tapi kamu beneran nggak apa-apa masuk kedokteran?"

Safdar mengerutkan kening. "Kenapa Ibu nanya gitu?"

Ibu menarik napas panjang. "Ibu takut kesannya memaksakan. Apalagi cita-citamu kan pengin jadi Tentara." Ibu menatap lurus ke depan, tepat pada bingkai foto kecil Safdar bersama pasukan tentara. Di sana, Safdar terlihat berbinar dengan senyum bangga. Ibu tahu, seberapa besar kekaguman Safdar pada para prajurit.

"Ibu masih ingat waktu kamu kecil, nggak bisa tidur kalau nggak pakai baju tentara. Ibu juga ingat, kamu selalu senang banget tiap kali ketemu Tentara, dan maksa minta foto bareng mereka. Padahal Ibu malu banget waktu itu." Ibu tertawa kecil, meski tanpa sadar air mata sudah mengalir di pelupuknya.

Safdar bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Ibu.
"Kan itu pas Safdar kecil, Bu. Sekarang Safdar udah dewasa." Safdar menepuk pundak Ibu pelan, hanya untuk membuat Ibu menoleh. "Dulu, Safdar memang pengin banget jadi tentara karena tugas tentara itu mulia, melindungi bahkan menyelamatkan negara. Tapi, dokter kan juga sama, Bu. Profesi mulia karena menyelamatkan banyak nyawa."

"Tapi ...."

Safdar menggeleng pelan. "Udah, Bu, jangan pikirin itu. Safdar senang kok belajar fisika, biologi, apalagi kimia. Dan yang paling penting, Safdar bakal lebih senang lagi kalau bisa mewujudkan impian Ibu, jadi Dokter." Safdar menggenggam tangan Ibu dengan erat. Tangan yang kata orang tidak sempurna, tangan yang membuat Ibu gagal masuk kedokteran, tangan yang pernah mendapat julukan 'disabilitas'. Tapi bagi Safdar, tangan itu sempurna—penuh perjuangan hebat dan cinta tanpa syarat.

"Tapi kamu juga punya mimpi sendiri, Nak. Nggak seharusnya Ibu minta kamu mewujudkan impian Ibu," kata Ibu lagi. Safdar menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Ibu nggak salah punya mimpi jadi dokter. Ibu juga nggak salah daftar kuliah kedokteran. Cuma keadaan dan takdir aja yang berbeda sama apa yang kita inginkan, Bu. Dan sekarang ...." Safdar tak kuasa menahan tangisnya, air matanya selalu luruh tiap kali berbincang soal itu. "Sekarang waktunya Allah kasih kesempatan buat Safdar mewujudkan impian Ibu." Safdar tersenyum, dan Ibu langsung memeluknya erat.

"Meskipun dunia dan seisinya ninggalin Ibu, Ibu nggak pernah risau, Nak. Punya anak seperti kamu aja udah buat Ibu bahagia banget, Sayang," tutur Ibu dengan penuh ketulusan dari lubuk hati terdalam. Lalu hanya dengan begitu saja Safdar langsung memeluk Ibu dengan erat. Ia tak mau membiarkan Ibu membawa mimpinya seorang diri. Jika Ibu tak bisa menggapainya, maka dengan senang hati ia akan mewujudkannya. Demi Ibu.

Safdar Al-Husainy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang