4. Tempat itu

16 2 0
                                    

Manusia itu kerap memandang sebuah peristiwa sebagai bentuk hukuman atau ujian, sampai lupa bahwa Yang Maha Kasih dengan segala cinta-Nya sangat mampu mendatangkan hadiah manis, yang kadang-kadang memang harus diawali dengan air mata.

Adsyia.

~~~

Mau sebaik atau sesempurna apa pun rencana manusia, tidak akan pernah bisa melawan tulisan takdir dari Sang Maha Penentu. Kiran tidak tahu apa yang ia alami sekarang itu sebuah hukuman atau ujian, hanya saja ia menerimanya dengan merasakan riuh gemuruh dari batinnya.

Empat tahun kehidupan impiannya seolah tidak pernah ada, luluh lantah bersama dengan perjalanan yang ia tuju sekarang. Perjalanan pulang yang seharusnya tidak semenyakitkan sekarang.

Perjalanan ke tempat itu, tempat dirinya dibesarkan penuh bahagia yang kemudian menjadi tempat ia dihancurkan sedemikian rupa.

Mata Kiran memejam berat saat sudah tampak bangunan besar dengan tulisan Pesantren Ar-Rahman di atas gerbang masuknya. Mereka sudah sampai. Sungguh sangat buruk bagi Kiran.

"Sehabis turun kamu langsung ganti baju, ya, Zuhra. Ustazah temani," ucap Ustazah Hana yang tidak ditanggapi oleh Kiran.

Gadis tersebut masih memejamkan mata sambil bersandar pada jendela mobil. Jujur saja, ia ingin pingsan saat ini juga agar dibawa ke rumah sakit saja alih-alih harus masuk ke rumahnya lagi.

Kiran ingin menjerit dan menangis seperti anak kecil saja sekarang, sungguh akan ia lakukan andai saja ia kehilangan kewarasannya.

Gerbang dibuka membuat mobil Abi Hasan benar-benar sudah masuk ke area Pesantren disusul oleh mobil Zahrah yang dikendarai Izzah. Dua kendaraan itu mendapat perhatian dari para santri dan santriwati yang berada di sekitar.

"Zuhra?" Ustazah Hana memanggil nama Kiran karena ucapannya tadi terabaikan oleh gadis itu. Ia memandang Kiran bingung bercampur ragu.

Ia tahu bahwa ini juga berat bagi Kiran, tapi ini harus untuk Kiran.

"Iya, Ustazah." Barulah Kiran menjawabnya dengan senyum terpaksa. Sekarang ia hanya bisa pasrah, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut saja.

"Ada Ustazah, Zuhra. Kamu jangan ngerasa sendiri, oke?" Kalimat itu diucapkan dengan senyum menenangkan. Sayangnya tidak benar-benar bisa menenangkan Kiran.

Ia membalasnya hanya dengan anggukan singkat dan senyum tipis.

Pondok pesantren Ar-Rahman menjadi pondok pesantren kedua yang cukup terkenal di kotanya. Bangunannya tentu luas menampung banyak anak dari para orang tua yang menaruh percaya pada pengurusnya, berharap bahwa anak mereka akan menjadi sosok terpelajar dan terdidik agama jika anak mereka pulang nanti. Kepercayaan itu sangat jarang sia-sia, karena bangunan biru bercampur putih tersebut sudah menghasilkan banyak ustaz dan ustazah, ponpes Ar-Rahman pun menjadi jembatan bagi santrinya yang ingin mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Ada banyak alumni di sana yang berkuliah di Universitas Al-Azhar bahkan Universitas Tripoli.

Salah satunya Ali Ubaid.

Kiran tumbuh di ponpes ini, tepatnya di samping kanan bangunan. Ada rumah kayu milik Abi dan Uminya. Meski mereka berdua adalah pengurus utama, hal itu tidak membuat kehidupan mereka bergelimang harta.

Keluarga kecilnya hidup di sana dengan kehidupan sederhana. Kesederhanaan itu bagi Kiran adalah kebahagiaan besar, rumah kayu dua tingkatnya ia sebut istana tapi hanya sampai dua orang itu datang. Zahrah dan Izzah yang Kiran sebut sebagai penjajah.

Soal Abi Hasan, ia juga termasuk pengurus ponpes tersebut. Abinya dan Abi Hasan yang sama-sama membangun juga mengelolanya dari kecil, hingga bisa sebesar sekarang. Bukan berkat mereka tentu, tapi karena kehendak Allah. Hal itu membuat Abi Hasan sudah seperti Abi bagi Kiran, tapi hanya 'seperti' karena nyatanya saat sosok Abi tiada di hidupnya, Kiran tidak pernah menemui Abi Hasan untuk membagi duka yang ia pendam. Juga tidak mencari sosok Abi pada Abi Hasan.

Hanya Abi Hasan yang selalu berusaha menanyakan keadaan Kiran. Gadis berusia belasan tahun itu tetap tak ingin terbuka untuk lukanya, tentang kekecewaan juga kehilangan yang ditakdirkan untuk ia rasakan di masa remajanya.

Jadi setelah kematian kedua orang tuanya, Abi Hasan juga Umma Zahrah yang beralih menjadi pengurus agar ponpes itu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kiran tidak tahu betul tentang itu, karena ia kabur tepat sebulan setelah Abinya tiada.

Sebuah keberanian luar biasa.

Baru saja mereka ingin keluar dari mobil, gerimis kecil turun membasahi yang detik kemudian berubah menjadi hujaman air lebat dari langit. Kiran memandang rintiknya dengan pikiran yang berkelana, entah hujan ini mengerti dan ikut berduka cita dengan perasaan Kiran atau malah menjadi pertanda ketidaksukaan atas datangnya Kiran di tempat ini.

Kiran dengan segala perasaan dramatisnya sampai lupa bahwa hujan turun ya karena kehendak Sang Pencipta yang sedang ingin membasahi bumi miliknya, tidak ada kaitannya dengan dirinya sama sekali.

Manusia memang seperti itu jika sedang galau.

Langit bergemuruh, hatinya pun berkecamuk dan sekarang perutnya semakin keras menggerutu. Sebuah paket lengkap yang sudah cukup menjadi alasan bagi Kiran untuk berteriak kencang.

"Alhamdulillah," gumam Ustazah Hana, mendongak untuk memandangi langit dari jendela mobil. Ia sedang bersyukur atas rahmat yang dijatuhkan Allah dari langitnya. Perbedaan kontras antara respon Kiran dan wanita di sebelahnya membuat Kiran merasa sangat berdosa

Maaf Ya Allah, hambamu yang satu ini lebih banyak ngeluhnya. Kiran membatin.

Tidak lama setelah itu mereka disambut oleh beberapa pengurus ponpes yang sigap membawa payung, satu per satu mereka dipayungi mulai dari Abi Hasan sampai ke Kiran. Mereka seperti sedang dievakuasi.

Suara hujan juga dinginnya hawa sore ini cukup menenangkan Kiran, tapi hanya sampai Zahrah mengulurkan tangannya.

"Ayo kita ke rumah, Nak," ucap Zahrah membuat Kiran kembali pada badai di hatinya. Hanya ia dan Allah saja yang tahu seberapa enggannya Kiran untuk menginjakkan kaki di rumahnya sendiri.

Kiran memundurkan dirinya sebagai bentuk penolakan, "Boleh enggak Kiran tidur di kamar santriwati? di mana aja bisa, asal jangan di rumah dulu," ucapnya menunduk merasa tak enak. Kiran begini-begini juga masih punya sopan santun.

Suasana tiba-tiba menjadi dingin. Mungkin lebih dingin dari hawa hujan sore ini. Kiran tak mendapati jawaban apa-apa membuat dirinya menatap Zahrah dan Abi bergantian.

"Tolong biarin Kiran, Umma ... Buya." Akhirnya ada Izzah yang berani memecah keheningan itu juga hawa dingin yang Kiran rasakan. Oh iya, Abi Hasan dipanggil Buya oleh para santri juga santriwati bahkan orang lainnya, hanya keluarga dan Kiran yang menyebut pria itu dengan sebutan Abi.

"Maksud Izzah, Kiran pasti butuh waktu untuk benar-benar nyaman sama rumahnya. Alhamdulillah, kan Kiran sudah mau pulang. Setidaknya dia masih di sini dan akan terus di sini," tambahnya meyakinkan.

Kiran mengaku bahagia dengan pembelaan itu, hanya saja kata terakhir Izzah menjadi sangat menakutkan baginya.

"Baiklah, Kiran tidak usah pulang dulu. Tapi Kiran tidur di kamar Ustazah Hana, ya Nak?" Final Abi Hasan yang diangguki antusias oleh Kiran.

"Terimakasih Abi, dan maaf Umma." Kiran tidak sejahat itu untuk mengabaikan ekspresi kecewa Zahrah.

"Tidak apa-apa, Nak," jawab Zahrah membelai puncak kepala Kiran.

Akhirnya mereka bubar dengan Kiran yang mengekor di belakang Ustazah Hana. Ia tersenyum sangat kecil untuk merayakan kemenangan kecilnya, setidaknya ia tidak pulang ke rumah itu malam ini.

Semoga juga malam esok.

Permulaan yang cukup baik bagi Kiran.

Selesai.

Halaman KiranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang