03

113 21 7
                                    

Lapangan sepak bola outdoor SMA Casagitha pagi menjelang siang ini cukup meriah. Pertandingan bola antara kelas XI-1 dengan tim senior XII-1 cukup memanas dengan tim Alkana yang unggul tipis satu poin dari sang lawan. Pertandingan tanpa rencana ini berlangsung begitu saja karena kedua kelas tersebut sama-sama free-class di jam olahraga. Alhasil, mereka semua sepakat untuk bertanding sepak bola bersama.

Alkana begitu fokus menggiring dan mengoper bola ke arah anggota timnya. Sorak sorai penuh semangat dari para murid perempuan yang menonton dari tribun melambung tinggi, semakin menambah euforia di lapangan. Apalagi saat Alkana tiba-tiba kembali mencetak point gol dengan tendangan yang sempurna membuat cewek-cewek semakin heboh berteriak.

"GOOOLLLLL!!!!"

"Mantab coy, 3-1!" Lio bertos ria dengan Alkana. Cowok berperawakan tinggi itu merangkul pundak Alkana dengan bangga lalu membawanya pergi ke pinggir lapangan setelah pertandingan selesai.

"Gokil, bro! Alkana semua yang udah cetak skor," kata Elkan menggebu-gebu. Cowok dengan tampang macam aktor material itu bertepuk tangan.

Samuel menepuk-nepuk pundak Alkana. "Temen gue nih! Keren banget emang!"

"Keknya si Alkana udah janjian sama tuh gawang deh, makanya gampang banget di bobol.  Iya kan, Al?" tanya Samuel bercanda.

Alkana hanya mengangguk saja. Malas meladeni.

"Kagak." Lio menggeleng. "Itu mah emang udah jago aja si Alkana," ujarnya sambil menatap Samuel tak setuju. "Main sepak bola bisa, voli bisa, basket juga bisa. Olahraga lain pun ngga kalah, semua Alkana mah bisa! Apalagi? Emang ada yang ngga bisa?"

Alkana adalah definisi sempurna dari murid incaran yang disukai para cewek pecinta cowok keren yang jago akademik maupun atlet dengan vibes bad boy yang memikat. Pesonanya tidak bisa ditolak.

"Ada," ungkap Elkan sok misterius. "Ada yang ngga Alkana bisa!" Cowok itu menggiring Lio dan Samuel untuk mendekat, lalu merangkul keduanya membentuk lingkaran dengan kepala mereka yang menunduk dengan dahi yang menyatu. Seakan ingin berbisik membahas sesuatu yang rahasia.

Alkana hanya bisa memutar bola matanya malas melihat kelakuan absurd teman-temannya. Cowok itu mendesah, dia meraih ponsel di saku celana lalu memeriksa aplikasi pesan, berharap menemukan sesuatu yang lebih menarik. Sesekali, dia melirik mereka dengan wajah datar, seolah mempertanyakan semua drama kecil itu. Haruskah dia juga ikut?

"Apa?" tanya Lio dan Samuel tak sabar. Mereka jadi ikut penasaran.

"Alkana itu ngga bisa——" Elkan menjeda ucapannya untuk membuat Lio dan Samuel penasaran.

"Apa sih, apaa??!!" desak mereka serempak penuh harap dengan rasa ingin tahu.

Elkan menarik napas. "Ngga bisa dimiliki. Bwahahahaha!" tawanya sampai bahu cowok itu terguncang. Elkan menirukan kata-kata murahan yang biasa diucapkan oleh barisan ciwi-ciwi pecinta Alkana yang setiap hari tak pernah absen didengarnya.

Lio dan Samuel mendengus. Keduanya menjitak kepala Elkan bergantian dengan perasaan dongkol.

"Aduh, aduh maaf!" Elkan mengusap kepalanya masih dengan tawa yang belum bisa terhenti. "Bercanda ges! Alkana emang bisa main bola sama aneka bola-bola lain. Tapi lo berdua harus tau. Ada satu bola yang Alkana ngga bisa!"

"Apa?" tanya Lio dan Samuel sudah malas.

Walaupun sudah tidak berminat menanggapi tapi mereka berdua mengingat bahwa Elkan lebih lama mengenal Alkana. Mereka sudah saling mengenal sejak kecil, berbeda dengan Lio dan Samuel yang baru mengenal Alkana saat masuk SMA. Jadi, kemungkinan besar memang masih banyak yang belum Lio dan Samuel tahu dari Alkana. Mereka berdua benar-benar ingin tahu apa kelemahan Alkana.

Dream FighterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang