"Pssst! Frey, Alkana tuh!"
Freya menoleh kearah yang ditunjuk Aster. Tak jauh darinya, ia mendapati Alkana yang duduk di bangku panjang depan kelas bersama teman-temannya yang lain. Kedua mata mereka bertemu. Dengan ekspresi malas, Freya melengos, merasa tidak ingin melihatnya lebih lama.
"Biarin," jawab Freya cuek. "Kita lewat sini aja yuk!" ajaknya lalu menggandeng tangan Aster untuk berbelok arah melewati koridor lain selain di depan kelas Alkana.
Aster hanya menurut. Dia sedikit heran dengan perubahan sikap Freya baru-baru ini.
"Kok lo jadi kalem gini sih, Frey?" tanyanya heran. Sebenarnya Aster tahu masalah Freya yang menangis karena Alkana beberapa hari lalu. Tetapi tetap saja dia tidak dapat menerima langsung perubahan Freya yang kembali kalem saat bertemu Alkana.
"Itu tadi Alkana liatin lo tau!"
Freya tak langsung menjawab. Cewek bertubuh mungil dengan rambut yang hari ini diikat dua rendah itu sesekali tersenyum membalas sapaan dari orang-orang yang menyapanya di jalan. Ngomong-ngomong Freya dan Aster sedang dalam perjalanan menuju kantin sekolah.
"Lah, biasanya kan emang kalem gue." Freya menjawab santai. Freya akhirnya sampai di kantin dan dia langsung bergegas menuju ke stand makanan.
"Terus yang kemarin-kemarin itu apa?" tanyanya. Aster terus mengikuti dibelakang Freya dengan kesusahan karena keadaan kantin sekolah yang ramai, penuh sesak. "Lo udah pensiun jadi cegil Alkana nih ceritanya?"
"Bukan cegil itu. Kemarin mah gue begitu karena kepepet doang." Freya melirik Aster dibelakangnya. Cewek itu sudah berdiri di depan stand nasi goreng seafood kesukaannya. "Sekarang kayaknya gue mau nyerah aja deh, Ter."
Tiga hari sudah berlalu setelah kejadian itu, Freya masih tidak ingin berurusan dengan Alkana. Freya kembali menjadi dirinya sendiri yang tidak mengenal Alkana. Cewek itu memilih menjauh dari Alkana. Rasa sakit di hatinya karena perlakuan Alkana belum sepenuhnya pudar. Hari-hari telah berlalu dengan sia-sia dan waktu menuju festival semakin dekat. Perasaan frustasi dan bingung tidak pernah lepas dari Freya karena masalah band-nya yang tidak kunjung menemukan titik terang. Beban berat seakan terus menghimpitnya.
"Kok lo ngikutin gue sampe sini sih, Ter? Mau pesen nasi goreng juga? Tumben banget lo?" Freya mendadak mengganti topik pembicaraan. Dia memandang Aster yang ikut mengantri di sampingnya sambil mengipasi wajahnya dengan tangannya sendiri. Sungguh, Freya merasa hari ini panas sekali.
Aster menyengir kuda. "Hehe lagi pengen aja kok. Eh tapi gue nitip pesennya ya, Frey. Males banget gue ngantri disini," ujarnya. Itulah alasan Aster yang tidak pernah membeli nasi goreng di sini karena terlalu ramai.
"Makanya! Mending lo cari minuman aja sana! Gue nitip ya, es teh lemon satu."
Aster mengangguk setuju dengan ide Freya. Cewek berambut pendek itu bergegas melangkah pergi ke stand minuman setelah berpamitan dengan Freya.
Freya mendengus frustasi. Perutnya sudah lapar, tapi masih ada empat atau lima antrian lagi untuk mencapai gilirannya. Freya menunduk, menghalau sinar matahari yang menembus kaca jendela kantin dan menyorot tepat di wajahnya. Sambil menunggu, ia menggoyangkan kakinya dengan gelisah, berharap agar antrian ini cepat bergerak.
Freya sedikit terkejut merasakan tepukan ringan di pundaknya. Dengan refleks dia menoleh, menemukan seorang cowok dengan tindik kecil di telinganya yang memberikan sedikit kesan bad boy dari cowok itu. Wajah yang sebelumnya tampak kelelahan dan terengah-engah itu akhirnya tersenyum saat matanya bersitatap dengan Freya.
"Akhirnya Frey, ketemu juga lo!" seru cowok itu bernapas lega.
"Loh, Kak Marco? Kenapa kak?" tanya Freya sedikit bingung. Cowok itu adalah kakak kelasnya. Freya cukup mengenalnya karena dulu saat SMP mereka berdua pernah satu ekskul modeling.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Fighter
Ficção AdolescenteArafreya Rimbulaya. Cewek friendly, cantik, idaman semua orang di SMA Casagitha. Vokalis band D'Clafour yang sedang naik daun. Bencana menimpanya setelah baru saja sekejap mata dia merasakan rasanya melambung tinggi. Band-nya hampir saja satu langka...