4 Agustus 1945
Pada malam itu, sangat sunyi tak ada suara sedikitpun bahkan burung yang Karin dengar sering berkicau, tak lagi terdengar di pendengarannya.
Entah sekarang jam berapa, dikamar itu tak ada jam dinding ataupun jam weker, ia enggan untuk keluar. Entah enggan karena malu, atau malas, hanya Karin yang tahu alasannya.
Ia menggenggam kebaya yang dikenakannya erat mengingat sisa memori yang terjadi tadi siang, ia sedikit bernafas lega ketika mengingatnya kembali. Sebentar ia menggeleng gelengkan kepalanya, berusaha melupakan kejadian tadi.
Ia rasa kejadiannya terlalu cepat, bahkan niat awal yang ia tuju demi perjalannya ke Batavia tak lagi ia ingat. Ooh.. Sepertinya Karin sedikit ingat, ia hanya mengikuti saran dari Ajingga.
"Ajingga.." bibir Karin bergumam.
Saran Ajingga yang ia anggap akan sangat lberguna untuknya, dengan alibi mendapatkan sembako baru untuk keluarga di desa, ia mengikuti saran Ajingga.
Namun, dengan tiba tiba lengan putihnya digenggam kuat oleh beberapa orang tak dikenal membawanya menuju sebuah truk sedang yang di dalam sana juga ada gadis yang sepantaran dengannya.
Tak ada tenaga untuk menolak, tubuhnya mati rasa karena kelaparan. Karin naik, dan tak lama truknya berjalan. Matanya tak kuat untuk tetap terjaga, namun samar samar ia melihat pria dengan mata boba itu tersenyum dari kejauhan, ya Ajingga.
Pria yang Karin percayai, karena terus bersama sejak kecil, tumbuh bersama. Bahkan hingga menginjak masa baligh-nya dan kemudian merasa ia memiliki rasa lebih untuk Ajingga.
Selain tubuhnya, hatinya juga mendadak mati rasa. Ia pasrah saat itu, dan sekaranglah dimana nasib Karin ditangguh.
"Ssstt.ssttt....Karin.."
Matanya yang hendak tertutup karena rasa kantuk, sontak terbuka lebar. Ia melihat ke arah sudut kamar, apakah itu tuannya yang memanggil?
"Tuan?" Karin bangkit dari ranjangnya, hendak berjalan menuju pintu kamar mengecek keadaan ruang lain.
"Karin... sstt.. di jendela." Karin dengan cepat berlari kecil menuju jendela, dan membukanya.
"Ah.. Aji?"
"Hehe.. hai.." Ajingga tersenyum manis, sangat manis, hingga Karin juga membalas senyumannya.
"Ayo kabur." Ajingga menggenggam lengan Karin, sedikit memaksa. Karin sedikit memajukan tubuhnya, melirik ke sekitar teras rumah Yoshi, tampak sepi.
"Kamu yang mengirim saya kesini kan? Sana pergi." Karin melepaskan genggaman Ajingga, dan hendak menutup kembali jendela kayu tersebut. Sebelum ditahan oleh Ajingga.
"Tidak.. tidak.." Ajingga menghela nafas.
"Kamu salah paham, Karin. Dengarkan penjelasan saya dulu-"
"Tidak, kamu dan ayahmu sama saja, penjual wanita! Pergi."
"Jangan berteriak." sela Aji sedikit panik.
"Tidak mau." Ajingga semakin menahan jendelanya dengan kuat. Dengan posisi tubuh yang agak Karin bayangkan seberapa sakitnya. Dikarenakan jarak tanah dan jendelanya lumayan tinggi.
"Saya sakit hati. Saya menyukai kamu sejak lama, dan ini balasan kamu? Menjual saya ke orang asing."
"Kamu menipu saya, lihat saya sekarang." ucap Karin dengan suara bergetar menahan tangis. Kepercayaannya sudah sangat dalam pada Ajingga, namun Ajingga tega.
"Ayah menjanjikan saya sekolah di-"
"Kamu jadikan saya taruhan begitu?" Karin menatap Ajingga dengan mata memerah.
Baru Ajingga hendak menjawab, Karin menutup jendela tidak sengaja dengan keras dan membelakangi nya.
"Pergi."
"Karin saya juga menyu-"
DOR!
Suara ledakan senjata, membuatnya terkejut setengah mati. Jantungnya berdegup kencang. Dengan gelisah, ia membuka jendela kamarnya.
Tak ada Aji yang masih memanjat disana, darah sedikit mengenai jari Karin karena memegang jendela dari sisi Ajingga.
Karin menurunkan pandangannya, dan menutup mulutnya. Tangisan yang ia tahan, turun deras membasahi wajah polosnya.
"Aji!"
Matanya naik kembali, disana ada Yoshi, pria tinggi itu menatap ke arahnya. Mereka saling bertukar tatapan sebelum Karin menyudahinya.
Karin meremat jari jemarinya, dan turun dari jendela kamarnya ke arah tanah tanpa alas sandal.
Yoshi yang awalnya tak bergeming, namun melihat aksi Karin. Ia berjalan mendekat.
"Anda membunuhnya!" Karin berteriak, dengan kepala Ajingga di pangkuannya.
"Dia orang asing,"
"Kau yang orang asing! Aji temanku.." Karina berucap lirih diakhir.
"Itu salahnya, dia tidak sopan." Yoshi terdengar membela diri.
"Kalian satu negara kejam!"
"Penjajah! Penjahat!!" Karin berteriak kencang, dengan tangannya memukul tanah di sekitarnya.
"Dasar tidak tahu malu, aku seperti ini juga karena kalian yang semena mena terhadap kami, orang pribumi!"
"Ini tanah kami, milik kami. Kalian semena mena, dengan mudah kalian membunuh orang tak bersalah! Anda akan dibakar dineraka!!"
Yoshi mendengar sederet kalimat itu dengan baik, dan tak merespon. Sebelum tubuhnya tergerak karena tubuh gadis didepannya mulai luruh dan tak sadarkan diri.
_Ajingga Subandono_
(1924-1945)
tbc🧍♀️
KAMU SEDANG MEMBACA
Encounter [Yoshi x Karina]
Romance[END] Di latar penjajahan Jepang pada 1942-1945, ada kisah dimana mereka bertemu dengan niat yang berbeda diwaktu yang sangat singkat, ya Jenderal Kanemoto Yoshinori dan wanita pribumi, Sri Karin Ningsih.