Prolog

153 40 61
                                    

Langit terlihat mendung. Tetesan demi tetesan air mulai turun dari atas langit. Benar, hari ini hujan turun membasahi tanah yang tandus hingga dapat tercium aroma khasnya ketika beradu dengan tanah kering.

Seorang gadis berseragam SMA dengan tinggi tubuh 147 cm berjalan dengan tergesa-gesa di pinggir trotoar dengan tas yang ia taruh di atas kepala—supaya bisa menghalaukan kepalanya dari air hujan. Sekilas, wajah gadis itu terlihat. Wajahnya putih namun jika dilihat dari jarak dekat, mereka akan tahu jika wajah gadis itu terdapat jerawat dan tanda jerawat di sekitar wajahnya.

Dari arah belakang gadis itu berada, tiba-tiba sebuah sepeda motor dengan dua pengendaranya melaju cukup cepat. Tak sempat Telia menoleh, tubuhnya terkena cipratan air yang menggenang di jalanan.

Seorang lelaki yang memakai helm full face hitam berboncengan dengan seorang perempuan di belakang joknya dan masih mengenakan seragam sama seperti Telia. Telia mengenal mereka. Mereka adalah teman sekelasnya.

"Ya kasian yang jalan sendirian. Makanya cari cowok biar ada yang nganterin!" ucap Geha, perempuan yang di bonceng, menyeru Telia dengan nada mengejek sambil memberi kedua jari jempolnya ke arah bawah dan memperlihatkan pada Telia.

"Anjir lo. Gue doain nyampek rumah lo diputusin sama pacar lo!" balas Telia berteriak. Meski ia memiliki tubuh yang terbilang pendek diusianya yang memasuki 18 Tahun, tapi ia mempunyai satu ciri khas istimewa yang ada dalam dirinya. Apa itu? Yaitu sesuatu yang ada dalam pita suara. Ya. Suaranya yang sangat cempreng. Ia juga memiliki karakteristik yang susah ditebak. Contohnya Telia pendek tapi suka mengajak orang gelut.

"Ih iri bilang!" balas Geha berteriak juga. Sosoknya mulai semakin jauh dari pemandangan Telia.

"Mata lo iri! Dasar beha patungan!" Meski sudah menjauh, Telia masih membalas ucapan Geha meski tau tak akan didengar. Mungkin karena ia terlanjur kesal. Ya. Telia sedang kesal hari ini. Penyebabnya adalah karena kedua temannya yang biasa berjalan beriringan dengannya sudah pulang di antar oleh pacar mereka masing-masing meninggalkan dirinya yang masing single parents ini. Padahal tadi mereka sudah janjian akan pulang bersama.

Hujan bukannya semakin reda malah semakin deras membuat Telia menurunkan tasnya dan lebih memilih memeluknya karena ia rasa percuma menghalau jika badannya sudah basah semua.

Langkah kakinya berhenti. Telia menatap awan mendung di langit. Di sekitarnya yang sepi dari orang-orang, Telia berteriak lantang, "Tuhan! Orang sesabar gue pokoknya jodohnya harus spek idaman ciwi-ciwi kalau bisa kayak oppa Korea. Tapi harus cintanya sana gue doang!" Teriak Telia dengan lantang di tengah derasnya hujan.

"Jodoh gue tinggi badannya harus 180 an. Terus orangnya putih kekoreaan. Punya jakun, hidung mancung, bibir seksoy, alis runcing rapi, tatapannya dalem, suaranya deep voice, perutnya punya bentuk delapan pack dan dadanya bidang. Penampilan dan tataan rambut yang keren! Harus yang ganteng meski muka gue yang kayak opet sipapasi sipasi papa! Cuek sama cewek lain tapi kalau sama gue jangan! Umurnya lebih tua dia dari pada gue tapi bukan aki-aki, ya! Orangnya pinter dalam hal apapun dan otaknya encer alias cerdas biar bisa cairin otak gue yang udah mulai kadaluarsa sama mata pelajaran ini! Jangan lupa dia harus sama-sama jomblo kayak gue juga. Dan orangnya harus sabar buat gue yang gampang kepancingan emosi ini!" pintanya tidak tau diri dan tidak sadar diri.

"Hehe... gue sabar kok Tuhan. Cuma jangan dipancing doang," gumamnya setelah sadar ada yang keliru dari ucapannya tersebut.

"Oh, iya, Tuhan. Jodoh gue yang holkay ya. Kalau sekarang dia lagi miskin, tolong buatkan plottwis kalau dia sebenarnya anak tunggal orang kaya yang sepuluh turunan gak bakal habis itu duitnya!" doa Telia yang semakin tidak tau diri.

"Amiiin!"

JDER!

Tiba-tiba saja suara petir terdengar sangat nyaring di atas langit yang terdengar di sekitar sepenjuru beserta kilatannya di antara awan gelap itu. Tentu saja hal tersebut membuat Telia terkejut setengah mati sambil memegang dadanya.

"Buset. Gue doanya udah baik-baik malah jawabnya kayak orang mau kena azab." Telia berulang kali mengusap dadanya. Istigfar.

JDERRR!

"Aaaaa!" Telia berteriak histeris. Napasnya tak beraturan akibat suara petir yang sangat nyaring hingga memekakkan gendang telinganya dan dengan sambaran petir yang hampir mengenainya.

Telia menghela napas. "Untung meleset." Telia terkekeh sejenak. Tak lama kemudian, sebuah suara retakan terdengar dari arah belakangnya—membuat ia langsung membalikkan tubuhnya. Mata Telia terpaku dan tubuhnya terasa kaku bak patung kala pohon besar yang ada di belakangnya mulai runtuh dan sialnya langsung mengarah padanya. Dalam hitungan detik, pohon tersebut ambruk menimpa tubuh mungilnya. Telia terdampar dengan tubuhnya yang tertimbun  batang dan rerantingan pohon. Tubuhnya terasa berat dan sakit yang luar biasa.

"Tu-tuhan. Gue gak m-mau tau pokoknya s-siapa pun j-jodoh gue, ta-tarik dia juga bareng gu-gue. E-enak aja dia. Gu-gue udah relain nungguin dia sa-sampek sakaratul maut masih ga-gak nongol-nongol." Napasnya sudah terengah-engah. Perlahan matanya menutup dengan sempurna.

Rain Brings StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang