Bab Tiga : Jiwa Telia yang Bersemayam

89 41 39
                                    

Bab tiga: Jiwa Telia yang Bersemayam

Seorang pria berjaket hitam kulit dengan setelan celana Jens-Nya berjalan di lorong-lorong rumah sakit. Langkah dengan arah ia berjalan terkesan dengan penuh tujuan dan maksud mengapa dirinya bisa berada di sini, di rumah sakit tersebut. Beberapa kali ia membelokkan jalan, mengartikan seberapa jauh tempat seseorang yang ingin ia datangi. Tak lama lagi ia akan sampai ke ruang yang dicarinya, yaitu ruang ICU. Dan sebelum itu ia juga sepertinya akan melewati segerombolan anak-anak SMA di lorong tepat di depan ruang inap nomor 201, yang jaraknya tak jauh dari ruangan ICU.

Sekelompok anak-anak SMA yang melihat pria itu melintas menatap penuh kesan pria yang beraura karismatik itu meski berpenampilan layaknya lelaki berandalan. Tubuhnya tinggi dan eksotis dengan potongan rambutnya yang dipangkas dengan bagian bawah samping kepala yang bercorak. Pria itu ternyata memiliki tindik di salah satu telinganya. Benar-benar pria beraura kuat. Apalagi tatapannya yang datar, membuat kesan dingin tersendiri bagi siapa yang melihatnya.

"Oh My Gosh! Dia siapa?!"

"Gue kira om-om itu bakal datang ke ruangan kita, ah ternyata gue salah ngira," ucap lesu salah satu gadis yang kecewa saat pria itu ternyata hanya melintas saja.

"Eh? Ngapain Om itu jalan ke arah ruangan Si buluk?" Suara itu berasal dari sekelompok gadis-gadis.

Geisha terkekeh melihat pria itu. "Paling cewek itu sudah jadi jalangnya dia?" celetuknya dengan kata-kata merendahkan Tania, ia lalu tertawa.

Sedangkan keempat lelaki yang berdiri di sekitar gadis-gadis itu nampak melihat pria tadi dengan pandangan penuh kebingungan, kecuali satu lelaki, yakni Afdil yang melihat sosok pria itu cemas.

"Lo kenal dia, Dil?" tanya salah satu lelaki di samping Afdil yang melihat raut cemas Afdil.

Afdil yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya.

"Sial! Om itu sebenarnya siapa dia dan apa hubungannya sama cewek itu?" batin Afdil, masih melihat punggung tegap milik pria tersebut yang mulai masuk ke ruangan Tania.

"Ya sudah, ayo kita pergi," ajak temannya lagi.

"Elsa? Lo darimana saja sih. Ke toilet doang lama," ucap Geisha, saat melihat temannya datang dari arah belakangnya.

Elsa dengan kikuk pun menjawab," Maaf, gue tadi susah BABnya."

Geisha memutar bola matanya ke samping. "Yaudah kita pulang. Nggak usah balik ke sekolah, kita bolos hari ini."

Mereka mengangguk, termasuk Elsa yang sempat melirik pintu ruangan Tania. Lalu membatin, " Untung gue lekas kembali, kalau enggak, udah pasti gue ketahuan." Ia menghela napasnya. Tangannya mengepal.

***

Yahya Wijaya, nama pria tersebut. Pria yang kini sudah berada di ruangan Tania, yaitu ruang ICU yang dimana terdapat banyak alat-alat medis seperti monitor, defibrilator, dan sejenis selang seperti selang makanan, infus, dan ventilator. Ruangan ICU ini hanya berbunyikan suara yang berasal dari monitor.

Yahya, pria itu nampak membulatkan matanya saat melihat selang pernapasan milik Tania yang terlepas begitu saja—hingga membuat Tania mengalami kejang-kejang. Segera ia menghampiri brankar Tania dan dengan cekatan memasangkan kembali alat ventilator tersebut. Selepas memasang kembali selang tersebut ke hidung Tania, Yahya menggeram marah. Tangannya mengepal kuat, memperlihatkan urat-urat nadinya dan juga lehernya. Giginya bergemelatuk saking kesalnya. Bahkan, dadanya terlihat naik turun tanda bahwa dia sedang marah. Sorotan matanya menajam menatap kondisi Tania yang sudah tak mengejang-ngejang seperti sebelumnya.

Yahya berniat pergi dari sana untuk segera memanggil dokter lagi. Sebelum pergi, pria bertindik di salah satu telinganya itu melirik ke arah Tania. Kedua alisnya mengerut kala jemari tangan Tania mulai bergerak-gerak. Mata Tania yang terpejam itu juga sepertinya akan segera terbuka. Karena melihat kondisi Tania yang akan siuman, ia mengurungkan niatnya dan kembali ke posisi sebelumnya, yaitu berdiri di samping brankar. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke kantong celana, ia terus menatap wajah Tania.

Akhirnya mata cantik yang berbulu mata lentik yang terpejam itu terbuka meski dengan perlahan. Telia yang sekarang sudah bersemayam di tubuh Tania benar-benar merasakan kesulitan sekedar untuk bergerak, tapi sekarang ia berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, mungkin karena ia terlalu lama terbaring di sini. Saat pandangan mulai terlihat jelas, sesosok pria asing dapat ia lihat sedang menatapnya. Telia bingung.

"Si-siapa lo?" Tangan Telia menunjuk ke muka Yahya. Sedikit susah ternyata hanya sekedar bergerak seperti ini.

"Jangan banyak gerak kalau masih sakit. Tubuh ini masih butuh istirahat," ucap Yahya saat melihat gadis itu memaksa merenggangkan tangannya.

Yahya berbalik badan, berniat keluar sebentar namun sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya. Ia menoleh ke belakang.

"Kita kenal?" tanya Telia dengan suara serak. Ia yakin, pria di sampingnya ini pasti mempunyai hubungan dengan pemilik asli raga ini.

"Akan om panggilkan dokter untuk memeriksa keadaanmu," jawab Yahya. Yahya sepertinya tidak ingin berbicara lebih banyak lagi mengingat kondisi Tania yang harus lebih banyak istirahat setelah bangun dari komanya.

Telia melepaskan tangannya. Memijit keningnya yang terasa pening. Ia mengangguk, memperbolehkan pria yang belum ia kenal ini untuk melakukannya seperti yang dikatakan.

Yahya pun berjalan keluar dan tidak lupa menutup pintu.

Telia menatap langit-langit ruang ICU. Masih dalam suara monitor sebagai penghilang sunyi di ruangan itu. Telia menghela napasnya berat. Ia berusaha mengangkat kedua tangannya dan melihat tanganTania.

"Cewek setan sialan. Gue bantuin, kenapa malah gue dikorbanin anjirr. Ah setan nggak tahu terima kasih!" Andai saja sekarang kondisinya dalam keadaan baik, mungkin suaranya akan semelenggar sampai ke luar ruangan.

"Hidup gue sebelumnya juga udah capek, malah hidup lagi dengan dibekasi beban orang lain," keluhnya.

"Pria tadi itu omnya Tania kah?" tanya Telia pada dirinya sendiri.

Atensinya melihat sesosok pria berjas putih alias seorang dokter yang mungkin dialah dokter yang tadi pria atau omnya Tania panggil.

"Selamat siang, Tania," sapa dokter itu ramah. Senyuman terlukis indah di bibirnya yang melengkung. Kaca mata yang bertengger di hidung pria itu menambah aura kesan menawan dan pandangan bahwa dokter itu adalah dokter yang profesional.

"Siang juga, Doteng," balas sapa Telia tak kalah ramah. Meski dirinya terbaring, dapat ia lihat seberapa tampannya pria yang berprofesi sebagai dokter tersebut.

Fahri, dokter muda itu mengerutkan keningnya. Sembari memeriksa pernapasan dan denyut nadi leher Tania menggunakan stetoskop dengan bagian earpieces yang terpasang di telinganya. Fahri bertanya, " Doteng? Apa itu Tania?"

"Dokter ganteng." Tania menjawabnya dengan malu-malu membuat Fahri yang melihatnya terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ada-ada saja kamu."

Telia tertawa mendengar respon dokter tersebut. Disaat mereka masih asik dalam suasana obrolan, tiba-tiba pria yang Tania yakin kalau pria itu adalah omnya Tania datang menghampiri mereka. Telia tak masalah dengan hadirnya yang tiba-tiba muncul itu, tapi sepertinya pria ini yang mempunyai masalah. Entah mengapa tatapan bagaikan mata elang itu seperti sedang menginterogasi mereka saat ini. Suasana seketika berubah sejak pria ini masuk.

Yahya menatap Telia lalu bergulir melihat sosok Fahri.

"Om kenapa?" Meski canggung karena baru pertama kali pertemuan, ia berusaha sebaik mungkin untuk bersandiwara dengan pura-pura mengenalnya.

Pria itu masih diam tak menjawab membuat Telia menegukkan ludahnya susah payah. Ia pikir, apa ia salah mengira tentang pria di depannya ini.

"Jika sudah selesai, sekarang bagaimana kondisinya?" tanya Yahya—masih memandang sosok Fahri datar.

Fahri yang merasa tak nyaman karena ditatap seperti itu pun berusaha tersenyum ramah.

"Karena pasien sudah siuman dan kondisinya mulai stabil, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan untuk pemulihan pasien."

Yahya mengangguk.

Rain Brings StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang