Ch. 1

129 21 5
                                    

"Ruuum."

Terduduk dari tidurnya, hal pertama yang Arion cari adalah istrinya. Wanita berisi yang saat ini tengah membawa kecebongnya.

Tiga detik menanti dan Arion belum juga mendengar sahutan dari Rumi. "Wah! Bukan mimpi ini! Mati aku!"

Berlari ke luar kamar dan langsung menuruni tangga untuk menuju lantai satu. Jika di dapur masih tidak ada, Arion akan langsung menceburkan diri ke dalam kolam, lihat saja.

"Ruuum! Kalau ngga jawab aku lompat nih!" Ancam Arion. Sudah bersiap berlari menuju halaman belakang, sebelum suara Rumi mulai ia dengar memasuki gendang telinganya.

"Iya. Ada apa?"

"Kenapa mas ditinggal di kamar?"

"Ya masa mas adek bawa masak? Mau adek gendong di belakang punggung gitu?" Tanya Rumi heran. Membiarkan Arion yang masih berdiri di sampingnya dengan tangan yang masih bersidekap dada.

"Jangan ditinggal-tinggal lagi. Mas takut." Protes Arion. Berjalan ke depan Rumi dan langsung masuk ke dalam pelukan wanitanya.

"Jangan erat-erat, nanti dedeknya kegencet." Peringat Rumi. Mengusap punggung lebar Arion yang hanya mengangguk merespon ucapannya.

"Kamu udah ngga sayang mas lagi, kamu lebih sayang sama kecebong ini." Dengan raut wajah sedih, Arion menatap Rumi yang berada tepat sejajar dengan bahu lebarnya.

Kekehan singkat Rumi berikan. Apa katanya? "Harus sayang, kan ini anak adek."

"Anak kita." Ralat Arion. "Emang kamu apa? Bisa membelah diri gitu?"

Tangan Rumi naik untuk mengecek suhu tubuh Arion, masih panas atau sudah membaik. Jika belum, sepertinya memang harus ke rumah sakit saja mereka ini.

"Mas udah sembuh." Menahan tangan Rumi dan memilih untuk membawa ranting kayu itu ke depan bibirnya untuk ia ciumi.

Alis Rumi terangkat naik dengan wajah keheranannya. "Kalau gitu kenapa ngga masuk kerja?"

"Masih agak sakit dikit." Membuang muka, Arion bersenandung pelan dengan tangan yang langsung melingkari pinggang ramping itu.

"Kalau udah sembuh langsung masuk aja, kasihan Kak Gin sama Kak Harris, nanti keteteran."

"Ngga bakal, udah expert mereka itu." Gin? Harris? Ditinggalkan sendirian juga tidak akan masalah bagi mereka. Sudah sangat terlatih temannya itu, santai saja.

"Ngga boleh gitu, kan mas ada tanggung jawab juga di sana."

"Iya iya ini masuk. Adek bosen ya deket-deket mas terus?" Dengan bahu yang merosot turun, Arion menatap Rumi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Engga, mas harus bertanggung jawab dong. Nanti kalau bayinya ikut ngga bertanggung jawab, mau nyalahin siapa?" Merapikan anak rambut Arion yang sudah berantakan, Rumi tersenyum tipis.

Seingat Rumi, Arion tidak semanja ini kemarin. Apa karena ia sakit? Atau karena bawaan hamil Rumi? Atau karena mimpi waktu itu?

Terlepas dari itu semua, ya lucu saja menurut Rumi.

"Nanti adek anterin bekal." Hibur Rumi. Menepuk pelan pundak Arion dengan senyum tipisnya.

"Ngga mau bekal, maunya peluk."

"Iya, nanti adek anterin bekal sekalian peluk."

"Janji?"

"Janji."

"Okeh!"

**

"Aduuuh, bayi besar adek Rumi sudah masuk kerjaaa."

Baru saja membuka pintu ruangan, Arion sudah disuguhi dengan suara menyebalkan dari Gin. Belum lagi tawa melengking Harris yang menjadi backsoundnya.

"Utututu~"

"Diem ah. Lagi sakit nih pangeran." Sembur Arion. Duduk di mejanya dan menatap bergantian antara Harris dan juga Gin.

"Mika mau nanya." Menyatukan tangannya di bawah dagu, Arion menatap instens Harris dan Gin secara bergantian.

"Apa?"

"Akhir-akhir ini Mika ada deket sama cewe ngga?" Arion masih tidak percaya pada dirinya sendiri. Seperti tidak bisa membedakan antara mana saja yang bagian dari mimpinya, dan mana saja yang merupakan kenyataan hidupnya.

"SELINGKUH LU YE?!" Teriak Gin. Menunjuk Arion tepat pada batang hidungnya yang langsung disanggah oleh yang bersangkutan.

"KAGA, KOCAK!"

"Terus? Kenapa pertanyaannya kek orang ngga ada otak gitu?" Heran Harris. Baru libur dua hari dan otak Arion sepertinya sudah bermasalah.

Masa depan perusahaan terancam ini.

Menggeleng, Arion kembali fokus pada pertanyaannya. "Jawab dulu, ada apa engga?"

"Beneran selingkuh kau ya? Terus kau takut ketahuan, makanya nanya orang-orang dulu bau bangkainya udah kecium apa belum." Gin dan semua rasa kecurigaannya langsung kembali menggebu-gebu. Kasus ini kasus.

"Engga, Sialan. Mika mimpi. Mimpinya kek berasa nyata gitu." Berbisik, Arion melirik dua temannya dengan senyum canggung. Padahal hanya mimpi, tapi Arion merasa berdosa sekali.

"Mimpi selingkuh ni anak. Trus mau direalisasikan." Tuduh Gin.

"Kaga, Anjeng!"

"Masih pagi ini, udah anjeng-anjeng aja kalian." Bersandar pada kursi kebesarannya, Harris menatap dua temannya yang tengah beradu argumen.

Membara sekali pagi Harris.

"Si Gehenna nih." Melempar Gin dengan pulpennya, Arion melirik sinis pria bersurai gelap tersebut.

"Ya elu ngga jelas." Teriak Gin. Habis sudah kesabaran Gin yang seluas samudera ini.

Menghela nafas, Arion rasa juga tidak akan ada habisnya perdebatan ini. Mengangguk samar sebelum akhirnya memilih untuk menceritakan hal yang membuatnya gusar. "Jadi Mika mimpi selingkuh sama si Fara, entah gimana si Fara bisa kerja di sini. Ngegantiin staf keuangan kita yang keluar kemarin."

"Lah? Kan dia emang udah kerja di sini. Lawak ni orang." Memukul pelan meja kerjanya, Gin sudah tidak tahan. Keluarkan ia dari sini!

Dengan mata membola kaget, Arion bertanya tak percaya. "Lah? Beneran?"

"Lu bukan mimpi, Yon. Lu insomnia." Menggeleng dramatis, Gin segera memutar kursinya untuk membelakangi Arion. Lelah, Gin ingin istirahat saja. Energinya sudah terkuras.

"Lah, Kocak! Anemia." Suara Harris langsung terdengar nyaring menyanggah diagnosa Gin. "Eh?"

"Ya lawak! Amnesia, Goblok!" Mengusap dadanya, makin demam Arion setelah ini, lihat saja. Sudah salah, bersuara paling keras pula.

"Aduh, Mika pengen pulang aja. Makin sakit Mika ini."




__

Halow?

By My sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang