Ch. 9

16 8 0
                                    

"Ape? Kenape, Cok?" Bisik Marchie.

"Mika ngerasa bersalah sama Rumi. Keknya Rumi kesakitan banget." Arion masih terisak sedih. Beralih memeluk Exu yang langsung melebarkan lengannya dan menepuk pelan pundak Arion.

"Gapapa, gapapa. Besok-besok pake kondom ya." Peringat Exu.

"Menantu sama cucu mami gimana? Aman kan?" Jantung Edlyn rasanya sudah turun hingga perut, anak sulungnya saja yang tidak kuat ternyata.

"Aman, lagi sama dokter. Mika udah keburu lemes di dalam. Kaki Mika kek agar-agar." Keluh Arion. Rumi yang mengejan, Rumi yang disayat pisau, Rumi yang berusaha lebih keras. Tapi Arion yang lemah seperti ini.

"Yang, besok kamu kalau ngga kuat normal. Kita langsung operasi aja ya? Aku yang ngga kuat liat kamu." Bisik Riji pada Selia. Melihat seorang Arion sampai menangis separah itu, tidak menutup kemungkinan jika Riji pasti akan pingsan jika berada di dalam sana.

Mengacungkan jempolnya, Selia mengangguk tak masalah. Terserah, yang terpenting ia dan anaknya selamat.

**

"Anak cantik mami udah mendingan?" Memasuki ruang inap Rumi, Edlyn menyerahkan tasnya pada Alden yang langsung siap menangkapnya kapan saja.

Mengangguk, Rumi hanya bisa berbaring untuk saat ini. Rasanya sakit, benar-benar sakit! Entah harus bagaimana Rumi menjelaskan rasa perihnya ini.

Mata Edlyn terpaku pada dua balutan berwarna merah muda dan juga biru langit itu. Wajah tertidur yang terlihat tenang dengan pipi gembilnya membuat Edlyn gemas setengah mati.

"Ini cucu mami?" Edlyn mendekat, memperhatikan lebih teliti wajah bulat itu dengan senyum merekah lebar.

"Yang biru Davanka Yasa, yang merah muda Zivaa Hira." Arion memberi tahu nama anaknya pada sang mami.

Iya, anak mereka kembar. Maka dari itu Arion menangis sesenggukan sedari tadi. Arion sudah menawarkan untuk operasi, tapi Rumi menolak. Bersikeras ingin normal walau nafasnya sudah setengah-setengah.

"Kembar geees." Elya memekik tertahan. Memeluk Echi dan juga Selia yang berada paling dekat dengannya.

"Keluarganya Rumi ngga ada yang dateng ya?" Bisik Glen. Memperhatikan seluruh penjuru ruangan dan hanya ada mereka di dalam sini. Keluarga Arion dan teman-teman Arion.

"Jangan sebut-sebut itu. Anggap aja Rumi anak yatim-piatu." Garin balas berbisik. Sedikit-banyak sudah tahu mengenai permasalahan Rumi dan keluarganya yang membuat Garin mengelus dada.

"Makan sama minum yang banyak ya. Kamu mau makan apa? Nanti mami bikinin." Mengusap sayang kepala Rumi, Edlyn sudah paham bagaimana rasanya setelah melahirkan.

"Ayam woku, Mi." Dengan tidak tahu malunya, Arion mencolek bahu Edlyn. Menatap penuh harap pada wanita tercantiknya yang langsung membuang muka lagi.

"Ah, males mami." Tolak Edlyn.

"Habis nangis itu, Mi. Bikinin aja." Exu merasa kasihan, dengan niat setengah mengolok karena kapan lagi mereka bisa melihat Arion menangis? Kapaan? Salto belakang setelah ditabrak mobil saja dia masih santai.

"Iya, tenaga Mika udah habis ni." Demi Woku, apapun akan Arion lakukan. Termasuk mengiyakan olokan Exu.

"Bukan kamu yang ngelahirin kok malah kamu yang kehabisan tenaga?" Tidak paham lagi Edlyn dengan anak sulungnya ini. Rumi saja yang bertaruh nyawa masih bisa terlihat santai itu.

"Jadi moral support juga butuh tenaga atuh."

Menggeleng tidak paham, Edlyn beranjak mundur. Membiarkan teman-teman anaknya untuk mendekat dan melihat keponakan mereka. "Iya, nanti mami bikinin." Ujar Edlyn.

**

"Berterima kasih ga lu ama gua?" Menunjuk batang hidung Arion dengan jemarinya, Echi berdiri tepat di depan papa muda itu.

"Ngapain gua berterima kasih ama lu?" Sinis Arion.

"Heh, guguk. Asal lu tau ya, segimana tremornya gua bawa bini lu ke rumah sakit bareng Elya. Jan ampe gua patahin tulang leher lu ya." Peringat Echi. Tidak tahu diri sekali tua bangka satu ini.

Tak menghiraukan ucapan Echi, Arion merogoh kantong celananya dan mengeluarkan satu kartu debit yang terselip bersama sekian banyak kartu lainnya.

"Nih. Beli apapun yang lu mau. Makanan, segala macam. Terima kasih udah nganterin bini gua dengan selamat sentosa."

Menatap kartu di dalam genggaman tangannya, Echi melirik Selia yang langsung terbelalak kaget.

"Kaya kita." Bisik Selia.

"Mas." Panggil Rumi.

"Kenapa, Sayang?" Arion mendekat, mengusap sayang kepala Rumi yang masih lemas pasca melahirkan.

"Tolong anterin adek ke toilet." Pinta Rumi.

"Ayo. Sini mas papah."

Sepeninggalan Arion dan Rumi yang menghilang di balik pintu toilet, ada anak-anak mereka yang tengah dikerumuni oleh manusia-manusia tak jelas berstatus temannya.

"Gembul banget, astaga." Mia memekik setengah gemas. Menggigit lengan Mako yang berdiri di sebelahnya dengan tenang dan hanya bisa menghela nafas.

"Nak, semoga ngikut kelakuan emakmu ya. Jangan kelakuan bapakmu. Ngga bener itu." Bisik Funin seraya menusuk-nusuk pipi Dava dan juga Ziva dengan telunjuknya.

"Pengen aku gendong." Gemas Key. Meremat kedua tangannya dan menahan diri untuk tidak menggigit lengan Gin yang berdiri tepat di sisi kanannya.

"Gendong aja." Riji berujar tak peduli. Bukan anaknya ini, santai saja.

"Takut nanti tulangnya remuk."

**

"Mas, adek kapan boleh pulang?" Tanya Rumi. Memegang lengan Arion dengan langkah tertatih dan nafas yang sedikit terengah.

"Palingan besok atau lusa kalau adek udah baik-baik aja." Menatap wajah Rumi yang sudah menekuk sedih di dalam lingakaran lengannya.

Menatap Arion penuh harap, Rumi mengerjapkan matanya pelan memohon pertolongan. "Besok aja boleh?"

"Kenapa gitu?" Apa istrinya merasa tidak nyaman dengan ruang inapnya yang mungkin saja masih terasa kecil?

"Kasian yang mau lihat si kembar, nanti susah kalau harus ke rumah sakit dulu. Nanti mereka ngga bebas." Memberi alasan yang paling masuk akal, hanya itu yang dapat otak Rumi pikirkan sejauh ini.

"Mas ngga janji ya, kalau kata dokter udah boleh. Kita pulang. Kalau belum, kita tetap di sini. Nanti mas minta anak-anak buat dateng ke rumah aja." Berdiri di depan pintu kamar mandi, Arion tidak ingin pembahasan ini kembali berlanjut setelah mereka berdua selesai dengan urusan Rumi. Cukup sampai di sini saja.

"Di rumah aja boleh? Adek ngga nyaman di sini." Menahan tangan Arion, pokoknya Rumi ingin pulang.

"Kenapa?"

"Keingat bunda."

Mengulum bibirnya, jika itu alasan Rumi, apa yang dapat Arion katakan lagi? Bagaimana Arion meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja? "Nanti kita lihat dulu ya, Sayang."

Memilih untuk menyudahi percakapan mereka, semakin diperpanjang, ujung-ujungnga mereka hanya akan berdebat saja jadinya.

"Sekarang masuk dulu, nanti kita bahas lagi. Mas ngga mau adek sama si kembar kenapa-napa." Mengacak surai legam Rumi, Arion tersenyum lembut. Apapun untuk istrinya, semua akan Arion lakukan.

"Lagian tetap di sini juga keluarga adek ngga bakal ada yang dateng."



__

:")
My babyyyy

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

By My sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang