Jeno kembali tepat pada pukul enam pagi dimana kondisi rumah masih terasa sepi bagaikan tidak berpenghuni. Langkah nya mulai memasuki rumah, rumah mewah itu masih rapih dengan semua tataan tanpa ada sedikitpun yang berubah.
Dimana Jaemin? Itu pikirnya.
Jeno melirik sedikit kearah kamar Jaemin, pintu kamar itu sedikit terbuka dan menjadi kesempatan Jeno untuk melihatnya.
“Dia masih tertidur di jam segini?"
Jeno mengetuk pintu itu dengan kuat agar Jaemin segera bangun dari mimpi indahnya.
“Ah astaga!” Kepala Jaemin sakit.
“Masih ada etika ketika saya pulang kamu masih tetap tertidur dengan nyaman di atas ranjang?" Jaemin mendesah pelan mendengar ocehan Jeno barusan.
"Tidur nyaman katamu?” Jaemin berbalik tanya.
"Ya, seperti yang saya lihat."
"Ya benar! Aku tertidur dengan sangat nyaman karena tidak ada kamu di dalam rumah mewah ini.” Jaemin berbohong, ia malas berdebat makin panjang kalau ia berkata tidurnya karena sebuah pil tidur.
“Bangun, bereskan seisi rumah.”
Jeno pergi begitu saja membuat Jaemin sangat kesal kepadanya.
"Bajingan kamu, Jung Jeno!"
Jaemin mencoba bangun dari tidurnya, badannya cukup merasa lebih enak dari biasanya. Tidur dibantu dengan pil tidur tidak seburuk itu rupanya.
Setelah selesai membersihkan diri, Jaemin keluar kamar dan melihat seisi rumah yang masih rapih tanpa ada nya yang barang yang berserakan.
“Apa yang harus aku bereskan kalau rumah mewah ini saja masih rapih seakan tidai berpenghuni.” Gumam Jaemin yang masih menatap ke isi rumah.
Pusing memikirkan hal tidak penting, Jaemin memutuskan untuk membuat mie goreng ala dirinya. Mengambil beberapa bahan dan mie di dalam kulkas lalu memasaknya.
Ting.. tong..
Suara bel rumah berbunyi, dengan rasa malas Jaemin mematikan kompor dan beralih membukakan pintu rumah.
“Siap—Nenek Yun?”
Yang datang pada pagi ini adalah Nenek Yun, entah apa tujuannya datang berkunjung kerumahnya yang jelas Jaemin sangat takut.
"Jeno sudah berangkat?" Tanya Nenek Yun setelah masuk ke dalam rumah pemberian anaknya tersebut.
"Sudah, Nek."
Nenek Yun memang Nenek yang sangat berkelas, terlahir dari keluarga terpandang memang sangat berpengaruh.
"Saya tidak mencium adanya bau masakan dari dapur, kamu terlambat bangun?" Jaemin menundukkan kepalanya. "Benar?"
"Iya, Nek."
"Memang tidak ada gunanya cucu saya menikah dengan kamu, Jaemin. Keluarga saya sangat terpandang tapi cucu kedua saya harus bersanding dengan pasangan yang jauh berbeda dari kastanya." Ucap Nenek Yun membuat Jaemin seakan tidak ada harga dirinya.
"Keluarga aku juga terpandang, Nek."
"Di Jepang, bukan di Indonesia!" Bantah Nenek Yun.
"Jadi tujuan Nenek kemari hanya untuk menghina diriku? Apa Nenek tidak lelah menghina diri ku terus terusan?" Nenek Yun tidak melirik Jaemin sedikitpun.
"Kalau boleh jujur saya juga enggan untuk menikah dengan cucu mu, Nek." Jawaban Jaemin membuat Nenek Yun geram.
"Akan saya pastikan kalau kamu tidak akan pernah mendapatkan keadilan di dalam keluarga Jung!" Tegas Nenek Yun lalu beranjak pergi begitu saja dari rumah mewah tersebut.
"Sejak awal aku datang ke keluarga Jung, aku tidak pernah mendapatkan keadilan." Jaemin tersenyum miris membayangkan nasib nya saat ini.
—
Jeno kembali kerumah setelah mengurus beberapa berkas di perusahaan, kembalinya ia kerumah tidak ada yang menyambut kedatangannya. Biasanya Jaemin ada di dapur mengotak-atik berbagai bahan masakan sampai ia sendiri muak melihatnya dan hari ini Jaemin tidak ada di dapurnya.
Kemana dia?
"Na Jaemin." Panggil Jeno dengan suara baritonnya namun tidak ada jawaban.
Jeno pun memilih ke lantai atas ke kamar sebelah untuk melihat keberadaan Jaemin.
Ceklek..
Pintu kamar Jaemin terbuka memperlihatkan si Namja yang duduk di depan jendela kamarnya dengan kaki yang di tekuk melipat ke bangku.
"Sudi kamu masuk kemari?" Tegur Jaemin tanpa mau menolehkan pandangannya ke belakang.
"Apa salahnya?" Tanya Jeno.
"Ini kamar orang yang tidak pernah di hargai kehadirannya, jadi untuk apa kamu sudi masuk kemari?" Jeno mengerutkan keningnya. Bingung, itu yang Jeno pikirkan.
"Apa maksudmu, Na Jaemin?"
"Bisa kamu ganti marga ku menjadi Jung?"
"Marga mu Na, sampai kapan pun akan tetap Na." Tekan Jeno dalam menjawab persoalan marga.
"Kenapa?"
"Tatap mata saya jika kamu sedang berbicara!"
"Masih sudi melihat wajahku?"
"Na Jaemin!"
"Jeno~ya.."
Jaemin menghela nafas berat, sangat berat sekali. Rasanya di dadanya terdapat banyak sekali balok besar sehingga ia susah untuk bernafas dengan tenang.
"Hm?"
"Mari berpisah."
Jeno menganga tidak percaya, apa maksud dari perkataan Jaemin barusan? Benarkah ia meminta berpisah di usia pernikahan yang terbilang muda ini?
"Jaga ucapanmu, Jaemin."
Jaemin bangkit dair bangkunya untuk mengarah kearah Jeno.
"Untuk apa kita pertahankan kalau hanya saling menyakiti satu sama lain?!"
"Siapa yang menyakitimu?!" Jeno kepalang emosi.
"Kamu! Kamu yang menyakiti aku JUNG JENO!" Jaemin berteriak saat menyebut nama Jeno.
"Jangan berteriak, Na Jaemin!"
Jaemin memejamkan kedua matanya, ada rasa sakit di hati yang tidak bisa ia ucapkan saat ini. Sakit mendengar bentakan yang Jeno berikan di sela sela perdebatan kecil mereka.
"Kenapa kamu membentak ku?"
"Karena kamu meninggikan nada bicara." Jawab Jeno.
"Ayo, Jen."
"Apa?"
"Sudahi pernikahan yang menyiksa ini, aku lelah.."
Jeno malas menanggapi, ia pun pergi keluar meninggalkan Jaemin yang mulai terisak dalam tangisnya.
"Jeno.."
Pecah tangisan Jaemin, ia terduduk di lantai yang dingin dengan hujan yang ikut serta sedih melihat nasib nya.
"Kamu tau kalau penyuka mu sedang terluka. Terimakasih telah menyembunyikan isakan tangisku, hujan."
Hujan semakin deras di iringi dengan angin kencang membuat Jaemin semakin menangis.
Sedangkan Jeno memilih tidak peduli dan mulai menyibukkan dirinya berkutat bersama berkas berkasnya.
Hi. ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Wounds and Pain || NOMIN
General Fiction[ON GOING] Bagaimana makna pernikahan yang setiap orang bilang menikah adalah suatu hal paling menyenangkan? DISCLAIMER‼️ • BXB • 100000000% FIKSI. • Bahasa Baku • Lil bit ANGST! • M-PREG