3. Plan a Seed

4.5K 441 5
                                    

Zara

“Oh, hai, ada Zara.”

Sapaan itu membuatku terdiam di tempat. Percuma semua self talk yang kulakukan sepanjang perjalanan ke rumah ini, nyatanya aku langsung terdiam seperti patung saat menginjakkan kaki di sini.

Tidak biasa-biasanya aku mengajar Joji di akhir pekan. Sabtu ini pengecualian. Kemarin Joji pergi bersama neneknya sehingga jadwal les dipindah ke pagi ini.

Bohong jika aku tidak menginginkan kehadiran Pak Dante. Meski berusaha mengingkarinya, jauh di dasar hati ada harapan dia berada di rumah pagi ini. Namun aku tidak pernah membayangkan akan berhadapan dengannya di saat dia hanya mengenakan celana training.

Dan membiarkan dada lebarnya yang ditumbuhi rambut mengisi ruang pandangku.

“Joji masih pergi jajan sama neneknya. Kamu bisa tunggu sebentar?” tanyanya.

Lidahku yang kelu tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, jadi yang bisa kulakukan hanya mengangguk.

Pak Dante membelakangiku, dia sibuk dengan tanah dan tanaman yang akan ditanamnya di taman kecil di samping rumah. Selama ini aku pikir taman itu merupakan hasil kerja keras neneknya Joji, tapi fakta baru yang kutemukan pagi ini membuatku membelakakkan mata.

Seorang komisaris polisi yang biasanya terlihat intimidatif, pagi ini begitu domestik saat berkebun. Sisi baru yang ternyata berbahaya untukku, karena membuatku semakin sulit mengendalikan perasaan.

Seharusnya aku mengalihkan pandangan ke arah lain, ke mana saja asal bukan memandangi Pak Dante. Namun seolah ada magnet yang membuat mataku tidak bisa berslih ke tempat kain. Setiap pergerakannya terekam dengan jelas oleh mata dan disimpan di dalam ingatan.

Bagaimana saat otot ounggungnya berkedut ketika mengangkat karung berisi tanah lalu menuangkannya di taman. Juga ketika lengannya yang kekar begitu piawai saat memindahkan tanaman yang rapuh ke dalam pot. Pun setiap tetes keringat yang bercucuran di keningnya, mengingat pagi ini matahari lumayan ganas.

Aku merasakan hawa panas di sekitarku, tapi aku yakin penyebabnya bukan karena matahari. Melainkan karena sosok pria terlarang yang sangat menggoda pendirianku.

Entah bagaimana awal mulanya perasaan itu muncul. Awalnya aku berpikir ini hanya ketertarikan fisik. Siapa pun yang melihatnya, akan kesulitan untuk mengalihkan pandangan dari wajah tampan dan tubuh kekar itu. Namun, ada banyak pria tampan di sekitarku. Terlebih di kehidupan lamaku. Namun tak ada seorang pun yang bisa membuatku mati kutu. Bahkan Kenji pun tidak memiliki dampak yang sama besarnya dengan yang ditimbulkan Pak Dante.

Setelah dipikir-pikir, perasaanku jadi tidak menentu saat melihat interaksi Pak Dante dan anak-anaknya. Asumsi lainnya muncul, mungkin perasaan itu hanya sebatas refleksi dari kerinduan akan kasih sayang ayah yang dulu selalu kuterima tapi direnggut begitu saja dariku.

Aku teringat percakapanku dan Gadis. Alasan yang kukemukakan bukan isapan jempol belaka. Memang, bukan Pak Dante yang menggeledah rumah lalu menangkap Papa. Namun aku bisa membayangkan apa tanggapannya jika tahu kejadian tersebut. Begitu mudah untuk menghakimi dan aku selalu menjadi korban penghakiman hanya karena kejadian yang menimpa keluargaku. Aku memang tidak begitu mengenal Pak Dante, tapi aku telanjur membentengi hati agar tidak lagi disakiti.

Sayangnya pagi ini, benteng tersebut hampir hancur berjatuhan.

“Zara?” Panggilan itu menyentakku. Seketika aku tersadar dari lamunan.

Pak Dante tidak lagi mengurus tanaman. Dia berdiri di teras, tidak jauh dariku. Perhatiannya tertuju kepadaku. Aku menunggu dalam diam, sepertinya dia bertanya sesuatu dan aku terlalu larut dalam lamunan sampai-sampai tidak mendengar pertanyaannya.

The TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang