5. Beating Heart

8.6K 709 11
                                    


Zara

“Kamu makan malam di sini saja. Masih hujan di luar.” Ucapan Bu Sheila menimbulkan pertentangan di dalam hatiku.

Ada rasa canggung saat menerima ajakan tersebut. Kalau keadaan memungkinkan, rasanya ingin menolak. Namun hujan semakin deras. Sudah satu jam sejak jadwal les Joji berakhir dan aku masih berada di rumah ini menunggu hujan reda agar bisa pulang.

Bukan Joji atau Dissy yang membuatku enggan, melainkan Pak Dante. Aku tidak bisa lupa kebodohan yang kulakukan beberapa menit lalu.

Saat mengiringi Joji dan Dissy dengan piano, konsentrasiku terpecah ketika menyadari kehadiran Pak Dante. Dia tengah berbicara dengan Bu Sheila. Entah apa yang mereka bicarakan. Sosoknya yang berada tidak jauh dariku seperti magnet yang menarikku untuk menoleh ke arahnya. Pada akhirnya aku menyerah.

Di saat itulah Pak Dante memutuskan untuk menoleh ke arahku. Seperti maling yang tertangkap basah, dia memerangkapku yang sedang menatapnya. Aku berharap semoga dia tidak bisa melihat tatapan penuh pengharapan di mataku.

Dari hari ke hari, semakin sukit mengingkari kehadirannya. Meski aku sudah berbusa-busa menyatakan penyangkalan di depan Gadis, jauh di dalam hati, aku mengakui telah jatuh suka kepadanya.

Silly crush.

Tidak smeua perasaan harus disampaikan. Ini salah satunya. Malah menurutku, perasaan ini harus segera disingkirkan sebelum berkembang lebih jauh.

“Ajak Zara buat makan, yuk.” Aku mendengar Bu Sheila berseru kepada Joji.

Tidak lama, Joji menghampiriku. “Zara, ayo makan. Aku lapar.”

Aku tidak mungkin pergi begitu saja, dan tidak mungkin juga bergeming di tempat sementara keluarga ini makan malam. Akhirnya, aku mengikuti Joji yang menarikku menuju meja makan.

Aku sampai bersamaan dengan Pak Dante yang keluar dari ruang kerjanya. Dia menatapku sedikit lebih lama saat melihatku duduk di meja makan, sebelum mengangguk singkat dan mengambil tempat di ujung meja.

“Makasih buat makan malamnya,” ujarku berbasa basi.

Bu Sheila mengibaskan tangannya. “Kamu pasti lapar, sepanjang sore menghadapi kedua anak ini.”

Mataku menatap Joji dan Dissy bergantian. Energi mereka yang tak ada habisnya menjadi tantangan yang cukup berarti untukku.

“Papa, mau disuapin,” ujar Dissy.

Seolah ada yang membelai hatiku saat melihat Pak Dante dengan lembut menyuapkan makam malam untuk Dissy. Hot daddy vibe yang membuat gelenyar di dalam tubuhku terasa tidak nyaman.

Stupid, Zara. Ini pasti karena aku sudah lama tidak berhubungan dengan lawan jenis, karena hal kecil yang dilakukan Pak Dante terlihat memukau di mataku. Mungkin juga karena hubungan terakhirku berakhir mengecewakan, sehingga aku dengan mudah membentuk fantasi di dalam benakku.

“Papa, Jessia mau nonton konser Princess Disney. Aku juga mau nonton,” seru Joji.

“Konser?”

Joji mengangguk antusias. “Boleh ya, Pa.”

Aku mendengarkan dalam diam. Berusaha untuk tidak kentara, aku melirik Pak Dante. Dia terlihat khawatir, dan berusaha keras menutupi kegusarannya.

“Kapan?” tanyanya.

“Bulan depan. Boleh ya, Pa.”

“Aku juga mau.” Dissy menimpali.

Pak Dante memijat keningnya. Bagi sebagian orang, permintaan Joji mungkin terdengar biasa saja. Bukan hal besar. Namun aku bisa mengerti mengapa dia jadi gusar. Dia tidak mungkin menolak permintaan Joji, tapi mengiyakan juga bukan hal yang mudah. Sebagai orang asing saja, aku bisa melihat kesibukannya yang tidak kenal waktu. Menjadwalkan menongton konser bulan depan tidak sesederhana itu.

The TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang