Rasa Dari Xavir

0 0 0
                                    

Sebagian perasaan telah tertanam hebat pada satu nama. Tapi ketika perasaan itu salah arah, pasti yang telah tertanam akan menyebabkan bekas. Bekas lubang yang kapan saja bisa menganga. Jadi, hati-hatilah dengan hati.

SalahJatuh

Sebagian orang mungkin merasa jika malam ini adalah malam paling dingin. Akan tetapi berbeda dengan Xavir. Di bawah lampu kemuning teras rumah, ia memilih menatap halaman rumahnya yang dipenuhi bunga dengan berbagai jenis. Bundanya yang masih muda begitu sangatlah mencintai segala macam jenis bunga di dunia. Xavir bahkan ikut heran pada dirinya. Laki-laki sepertinya begitu suka menatap bunga tersebut dari teras rumah.

Angin tiba-tiba berembus, bulu di tangannya ikut berdiri sebab merasakan hawa yang dingin. Tetapi, ia tetap memilih di luar, menatap halaman sambil membayangkan wajah seorang gadis yang selalu membayanginya dua hari ini.

Jatuh cinta pada pandangan pertama adalah hal yang ia rasakan ketika mengunjungi salah satu kafe yang banyak disebut-sebut sebagai kafe dengan pengunjung yang ramai serta pelayanan dan menu yang baik. Namun anehnya, ia tidak merasakan jika kafe itu seperti cerita orang banyak. Ia malah merasakan jatuh cinta pada seorang waiters sederhana yang menunggunya dari toilet kafe waktu itu.

Xavir bukan pede, tapi ia yakin tidak akan ada yang menolak pesonanya. Dia tidak jelek, kulitnya putih dengan mata yang teduh. Hidunya mancung dengan bibir yang tipis. Tingginya mungkin kurang dari 170, tapi ia masih bisa mengimbangi jika ia lebih tinggi dari gadis itu. Dan bagaimana ia berhasil mengambil hati sang gadis untuk pulang bersama, ia tahu jika dia bernama Mawanda Lisa yang berkuliah di kampus yang sama dengannya.

Senyuman tiba-tiba muncul di bibir tipisnya. Mendekatinya adalah hal yang saat ini menjadi misi Xavir. Lalu dengan kesempatan yang strategis ia akan menyatakan cinta serta mengikat Mawa sebagai kekasihnya.

"Udah berapa bait puisi lo buat?" suara berat seorang pria memasuki gendang telinga Xavir yang masih menahan hawa dingin dengan pandangan menghunus ke arah halaman.

"Ngapain gue buat puisi?"

Belum sadar, Xavir menatap sosok kakak laki-lakinya yang menjulang tepat di samping kursi teras yang terbuat dari kayu jati asli. Dia adalah Dilan. Tapi bukan pacarnya Milea.

"Biasanya, kalau orang yang termenung itu lebih diidentik membuat puisi."

"Nggak, kok." Xavir kembali menatap lurus dan mengabaikan Dilan yang masih di posisi yang sama.

"Trus lo ngapain duduk di cuaca yang dingin bagaikan kutub ini."

Saat Xavir kembali menatap Dilan, ia dapati ternyata pemuda itu tengah mengenakan jaket tebal yang ia beli sebelum berangkat ke Paris setahun lalu. Di rumah, Xavir selalu merasa kesepian setiap pagi hingga siang karena Dilan yang pergi bekerja sebagai pegawai bank di kota tercinta.

Anak Bunda hanya ia dan Dilan. Jadi, setiap kali ia di rumah, hanya rasa bosanlah yang menghinggapinya. Kadang Xavir selalu bertanya pada temannya di mana tempat yang asik mengisi waktu-waktu yang membosankan. Bahkan semua kafe di kota ini pun telah ia kunjungi. Terakhir ia malah jatuh cinta dan merasa berbunga-bunga.

"Gue lagi cari kehangatan," ungkapnya kemudian memalingkan wajah dari Dilan.

"Cari kehangatan tuh bukan di sini, noh di bawah selimut lo yang motif bunga-bunga."

Xavir memutar bola matanya, haruskah Dilan mencari marahnya saat ini? "Gue udah nggak pake tuh selimut lagi. Bunda aja yang jahat ngasih motif yang nyeleweng."

Dilan tertawa keras. Ia ingat bagaimana bundanya dengan semangat ke pasar mal untuk mencari selimut bermotif bunga hanya untuk diberikan pada Xavir yang berwajah tampan sekaligus cantik jika dipandang dengan seksama. Kalau tidak, ya tidak.

Salah Jatuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang