Cinta Pada Pandangan Pertama

0 0 0
                                    

Secerah apapun langit bersama matahari, akan lebih cerah lagi rasanya jika kita yang bersama.

SalahJatuh

~•••~


Angin pagi membawa sinyal pada Mawa yang masih sibuk bersemedi di depan lemarinya yang terbuka untuk bersiap-siap. Handuk kimono juga melindungi tubuhnya yang telah selesai dari acara mandinya. Saat ini, ia bukan dibuat pusing sebab ragu ingin memakai baju apa, tapi ia tengah memikirkan apa yang akan ia santap nanti di kampus. Uang belanja serta gaji telah lenyap sudah ditelan biaya kuliahnya.

Helaan nafas muncul dari hidungnya yang tidak mancung, ia menatap meja belajarnya yang telah terletak sebungkus roti yang ia ambil dari kafe tadi malam. Malang sekali nasibnya yang sebatang kara di rantau orang ini.

Ponselnya yang juga tergeletak di tempat yang sama ikut berbunyi tanda pesan memasuki gawai itu. Lagi-lagi ia kembali menghela nafas dan menuju di mana benda pipih itu berada, membiarkan lemari terbuka dengan pintu yang bergoyang-goyang.

Sampai di tempat ponselnya berada, ia diperlihatkan dengan pesan dari orang yang ia temui tadi malam. Ya, pria tampan berlaptop mahal itu. Mawa tersenyum saat mengingat percakapannya dengan pria itu tadi malam. Dia bernama Xavir, dan yang paling tidak menyangka dia juga satu kampus dengan Mawa. Xavir adalah junior tingkatnya. Mengejutkan sekali bukan?

From Xavir: Ngampus jam berapa, Wa?

Memang agak tidak sopan, tapi Mawa sadar jika formal seperti ini lebih asik.

From Xavir: Kalau jam 9 kita bareng aja.

Sayangnya aku pergi ke kampus jam 10, yang artinya lebih lama satu jam dari xavir.

From Mawa: Gue ngampus jam 10. Gimana, dong? Duluan aja.

Mawa menatap jam dinding yang menggantung di samping ranjang. Jam 8 lewat 30. Jika untuknya, saat ini waktunya masih banyak. Berbeda dengan xavir yang hanya tersisa kurang dari 30 menit.

From Xavir: Yha, gagal, deh.

Aku tersenyum, Xavir unik dan membuat nyaman, tapi perlu diketahui, Mawa tidak akan menyeret Xavir ke perasaannya.

~•••~

Kampus Mawa akhirnya berakhir tepat di jam dua belas. Semua umat muslim berbondong-bondong menuju masjid kampus untuk menunaikan shalat Dzuhur.

Dari kejauhan lima meter, Mawa menemukn Gadia yang membuka sepatunya di teras masjid kampus. Tanpa pikir panjang, Mawa berlari untuk menuju Gadia yang terlihat begitu serius membuka kaos kakinya.

"Gadia." yang dipanggil pun menoleh dengan senyuman tercetak indah di kedua sudut bibirnya.

"Habis ini langsung pulang?" tanya Mawa berbasa basi.

"Nggak, habis ini aku mau rapat sama anggota himpunan yang lain."

"Gue mau juga lah, ikut himpunan."

"Yaudah ikut aja nanti. Kami juga lagi rapatin anggota baru yang masuk. Jadi kalau kamu masuk bisa sekalian. Kalau nggak sekarang kamu harus nunggu anggota jadi banyak dulu trus di rapatin lagi."

"Emang boleh gue main nimbrung aja?" Mawa meresa sangsi dengan penuturan Gadia.

"Tapi kan ini mau dirapatin, Wa." dengan gerakan yang tenang Gadia menyusun sepatunya yang baru dilepas ke tepi teras.

"Iya juga, ya?" Mawa terkekeh singkat lalu berdiri diiringi Gadia untuk melaksanakan shalat Dzuhur.

~•••~

Hampir empat tahun Mawa tidak merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta lagi. Hatinya rasanya mati, tidak lagi berfungsi untuk menerima orang baru yang mencoba untuk hadir. Bukan tanpa sebab, Mawa hanya sedang berusaha sembuh dari luka sebelumnya. Di mana ia merasa jika cinta tidak akan pernah menghinggapinya lagi. Ia coba menutup hatinya rapat, menolak semua ajakan orang yang mencoba mengisi hatinya. Mawa sadar, tidak baik menyeret seseorang ke dalam perasaan yang tidak ingin dibina.

Sekarang, mungkin hal itu tidak lagi Mawa pegang sebab hatinya telah berfungsi kembali saat ia menatap penuh perasaan pada seseorang yang kini berbicara—di depannya—di aula kampusnya. Ia merasa hatinya telah hidup kembali dari matinya yang begitu lama. Baginikah rasanya setelah hampir empat tahun tidak lagi jatuh cinta?

Matanya yang dihiasi bulu mata yang lentik itu menatap pergelangan tangan kirinya yang dihuni oleh satu gelang hitam. Hampir empat tahun yang lalu, ia berjanji memakainya selalu agar orang tahu bahwa ia tidak ingin beberurusan dengan perasaan.

Inikah waktu yang tepat membuka gelang hitam usang ini? Benarkah perasaannya saat ini benar-benar akan dibalas? Atau ia akan diberikan rasa sakit untuk kedua kalinya. Mawa memegang dadanya, ia telah jatuh cinta kembali setelah hampir empat tahun. Jatuh cinta pada seseorang yang namanya saja baru saja Mawa ketahui.

"Lo dengerin ketua ngomong, kan, Wa?" Mawa menatap lembut Gadia di sampingnya. Hanya anggukan kecil yang ia berikan, pertanda bahwa hal itu tidak lah benar juga tidaklah salah.

Gadia kembali diam lalu menatap ke depan, banyak sekali anggota yang saat ini menghadiri rapat. Tidak seperti biasa yang hanya berisi kurang dari dua puluh orang. Mawa yang sejak tadi ia perhatikan tetap menatap pergelangan tangannya yang terdapat sebuah gelang hitam di sana. Acuh, Gadia kembali mendengarkan ketuanya yang sejak tadi terus memberikan syarat serta tugas untuk setiap anggota himpunan.

"Baik, sampai di sana saja pembukaan serta isi dari rapat kali ini. Kepada anggota yang akan bergabung dipersilahkan memperkenalkan diri." sang ketua kembali duduk di kursi yang kini berada di depan semua anggota.

"Maju ke depan ya, Kak?" tanya salah seorang anggota baru.

"Dari sana saja," ucapnya lembut lalu memberikan sedikit senyuman.

Lebih dari sepuluh orang anggota yang memperkenalkan diri, semua di antara mereka banyak dari junior Mawa. Dan kini sampailah giliran Mawa yang menjadi anggota terakhir yang memperkenalkan dirinya.

"Perkenalkan namaku Mawanda Lisa dari jurusan bahasa Korea BP 2022." Mawa mengakhiri perkenalan dirinya lalu menoleh ke arah ketua. Pendangannya beradu, menciptakan desiran aneh serta asing di sana. Senyuman tercetak dari sang ketua yang membuat Mawa meminta, 'Bolehkah ia memilikinya?'

~•••~

Matahari yang masih terlihat tidak lagi sepanas waktu dzuhur tadi. Jam yang menunjukan pukul tiga sore telah menggantikannya dengan panas yang tidak lagi menciptakan rasa perih ketika berjalan di bawah teriknya. Kampus kembali ramai ketika semua anggota himpunan meninggalkan aula dan menuju tujuan masing-masing. Jika yang masih melanjutkan kelas mereka kembali ke dalam kembali, maka Mawa yang telah selesai memilih pulang untuk beristirahat.

"Lo masuk himpunan emang nggak kerja lagi?" walaupun baru kenal sekitar seminggu yang lalu, Mawa sudah menceritakan Pada Gadia bahwa ia bekerja di salah satu kafe yang lumayan ramai di kota ini.

Di sampingnya masih tercetak tubuh Gadia yang sempurna karena ia ingin pulang bersama Mawa menggunakan sepeda motornya.

"Sekarang tuh gue mau kerja dari jam enam sore sampai jam sebelas."

"Makin cepat dong jadinya?" mawa mengangguk. "Trus gajinya di kecilin juga?" Gadia kembali bertanya. Kini berbeda, Mawa malah menggeleng menanggapinya.

Perjalanan pulang Mawa saat ini terasa istimawa sebab ia tidak lagi berjalan kaki. Kini, di atas motor Gadia ia menutup mata merasakan angin menjelang sore yang damai. Angin sore saja mungkin tidak akan membuatnya sebahagia ini. Masih ada satu faktor yang menjadikan ia terlihat berbeda dari biasanya. Yaitu Ketua himpunannya yang telah membuat ia kembali jatuh cinta.

~•••~

Bersambung

Salah Jatuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang