Part 9: Hari-hari berikutnya di rumah sakit terasa panjang dan melelahkan. Arka berada di samping Cahaya setiap saat, berusaha memberikan dukungan emosional yang dibutuhkannya. Namun, semakin banyak waktu berlalu, semakin jelas bahwa Cahaya tidak hanya mengalami luka fisik, tetapi juga dampak emosional dari kecelakaan itu.
Dokter menjelaskan bahwa Cahaya mengalami gegar otak yang cukup serius dan perlu waktu untuk pulih sepenuhnya. Arka mendengarkan semua penjelasan dengan cemas, tetapi hatinya dipenuhi harapan. "Kau akan pulih, Cahaya. Kita akan menghadapi ini bersama," katanya dengan penuh keyakinan.
Namun, saat Cahaya mulai berjuang untuk pulih, Arka melihat perubahan dalam dirinya. Cahaya menjadi lebih pendiam, sering kali terbenam dalam pikirannya sendiri. Dia berjuang untuk berbicara dan beradaptasi dengan lingkungan baru di rumah sakit. Arka merasa hatinya hancur saat melihat Cahaya yang biasanya ceria kini terkurung dalam kesedihan.
Suatu malam, saat Arka duduk di samping ranjang Cahaya, dia melihat mata Cahaya yang penuh kecemasan. "Arka, apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah aku akan kembali menjadi diriku yang dulu?" Cahaya bertanya, suaranya bergetar.
"Ya, kau akan kembali. Kita akan melakukannya bersama-sama," Arka menjawab, berusaha memberikan semangat. "Ingat, kita punya impian yang harus kita capai. Kita tidak bisa menyerah sekarang."
Cahaya menatapnya dengan penuh keraguan. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa kembali seperti dulu? Bagaimana jika aku kehilangan semua yang kita bangun bersama?"
Perasaan putus asa yang mendalam meresap ke dalam hati Arka. Dia tidak tahu apa yang harus dijawab. "Kau tidak akan kehilangan apapun, Cahaya. Kita masih memiliki satu sama lain. Kita akan menemukan cara untuk menghadapinya."
Namun, seiring berjalannya waktu, Cahaya semakin sulit untuk beradaptasi. Dia merasa terasing dari dunia yang pernah dia cintai. Ketika dia akhirnya diperbolehkan pulang, dia merasa terjebak dalam tubuhnya sendiri, berjuang untuk menemukan kembali semangat yang pernah dimilikinya.
Di rumah, Arka berusaha untuk terus mendukungnya, tetapi Cahaya sering kali tampak kehilangan arah. Dia tidak ingin melukis, tidak ingin bernyanyi, dan semua hal yang dulu membuatnya bahagia kini terasa berat. Arka merasa putus asa, tidak tahu bagaimana cara membantunya keluar dari kegelapan yang menyelimuti.
Malam-malam di rumah menjadi sunyi, dan setiap kali Arka mencoba berbicara dengan Cahaya, dia hanya mendapatkan jawaban singkat atau tidak ada jawaban sama sekali. Suasana hati Cahaya semakin memburuk, dan Arka merasa terjebak dalam ketidakberdayaan.
Suatu malam, saat Arka duduk di samping Cahaya, dia memutuskan untuk bertanya dengan hati-hati. "Cahaya, apa yang kau rasakan? Apa yang membuatmu merasa seperti ini?"
Cahaya terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara pelan, "Aku merasa seperti semua yang terjadi adalah kesalahanku. Jika aku tidak pergi... jika aku tidak mengejar impianku, mungkin semua ini tidak akan terjadi."
"Jangan berpikir seperti itu! Kecelakaan itu bukan salahmu. Kau tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri. Kita semua berjuang dengan cara kita masing-masing," Arka mencoba meyakinkan, tetapi hatinya terasa berat saat mendengar kata-kata Cahaya.
"Arka, aku tidak tahu apakah aku bisa kembali menjadi diriku yang dulu. Aku merasa sangat jauh dari semua itu," Cahaya mengungkapkan, air mata mulai mengalir di pipinya.
Arka meraih tangannya, berusaha memberikan dukungan. "Kau tidak sendirian. Aku akan selalu ada di sisimu, tidak peduli seberapa sulitnya. Kita akan berjuang bersama."
Namun, meskipun Arka berusaha untuk memberikan harapan, Cahaya semakin terperosok dalam kecemasannya. Dia merasa terasing dari dunia yang pernah dia cintai, dan setiap usaha Arka untuk membantunya hanya membuatnya merasa semakin berat.
Hingga suatu malam, saat Arka terbangun dari tidurnya, dia mendapati Cahaya tidak ada di sampingnya. Panik melanda hatinya saat dia mencarinya di seluruh rumah. Saat dia akhirnya menemukan Cahaya di tepi tebing tempat mereka dulu berbagi impian, jantungnya berdegup kencang.
"Cahaya, apa yang kamu lakukan di sini?" Arka berlari menghampirinya, merasa cemas.
Cahaya berdiri di tepi tebing, menatap ke arah laut yang bergelora di bawah. "Aku hanya... merasa terjebak, Arka. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi semua ini," jawabnya dengan suara penuh kesedihan.
Arka meraih tangannya, berusaha menariknya menjauh dari tepi. "Jangan, Cahaya. Jangan melakukan ini. Kita bisa mencari jalan keluar bersama. Hidup kita jauh lebih berharga daripada ini."
Cahaya menatap Arka dengan mata yang penuh air mata. "Tapi aku merasa seperti semua itu telah hilang. Apa gunanya melanjutkan jika aku tidak bisa kembali menjadi diriku sendiri?"
Air mata mengalir di pipi Arka saat dia merasakan putus asa Cahaya. "Kau masih ada, Cahaya. Kita masih punya satu sama lain. Jangan menyerah pada harapan."
Namun, saat itu, Cahaya terlihat semakin rapuh. Dia berusaha menarik tangannya dari genggaman Arka. "Arka, aku... aku tidak tahu lagi apakah aku bisa terus melanjutkan. Semua yang kita impikan terasa begitu jauh."
Arka merasa hatinya hancur saat melihat Cahaya dalam keadaan seperti itu. "Kau tidak sendiri, Cahaya. Kita bisa menghadapi dunia ini bersama. Aku mencintaimu, dan aku tidak akan membiarkanmu pergi."
Namun, dalam sekejap, Cahaya melangkah mundur, dan Arka merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya menghilang. Dia berusaha meraih Cahaya, tetapi dia terpeleset dan jatuh ke dalam pelukan Arka. Dalam momen itu, Arka tahu bahwa dia harus berjuang untuk menyelamatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dalam kegelapan
Romance"Cahaya dalam Kegelapan" menggambarkan momen-momen manis yang dihabiskan Arka dan Cahaya di taman kota, di mana mereka berbagi tawa, cerita, dan impian. Melalui lukisan-lukisan yang mereka ciptakan, Arka menjelajahi keindahan hidup yang sering terab...