CHAPTER 8

29 3 0
                                    

Sagara POV :

Pada hakikatnya sama, jatuh cinta hanya akan membawa kita pada luka. Semakin besar cinta itu tumbuh, maka besar lukanya pun akan sama. Semakin besar kita berusaha melupakan, maka sakitnya akan semakin terasa.

Hidup hanya prihal menerima, menerima segala yang diberikan untuk kita. Apa daya manusia?-- makhluk yang katanya 'sempurna', namun menyimpan seribu banyak luka karna kerapuhannya.

"Natalia Jovelyn Koleta..."

Tak sekali dua kali aku mendengar keturunan Adam dan Hawa yang berkata bahwa "Tuhan selalu tau batas kemampuan umatnya, dan Tuhan akan memberi cobaan sesuai batas kemampuan umatnya; tidak lebih".

Namun sampai sekarang aku masih bertanya-tanya 'kemampuan menurut siapa yang dimaksud?'.

"...Saya memilih engkau menjadi istri saya."

Menurut kita; pribadi masing-masing? Atau menurut sang pencipta; Tuhan?

"...Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup."

Lalu bagaimana dengan yang memilih mengakhiri hidup karna menyerah dengan masalah hidupnya?— jika seperti itu maka siapa yang salah?— kita yang ternyata lemah? Atau Tuhan yang ternyata salah?

Temanku pernah berkata, "Mau lo ngeluh dan protes kaya gimanapun pada akhirnya yang bisa lo lakuin cuman nerima dan jalani semuanya sambil nangis doang. Karna kalo lo milih nyerah dan bunuh diri yang ada lo malah mateng di neraka".

Terdengar tak masuk akal namun pada nyatanya apa yang keluar dari mulutnya pun tak ada salahnya.

"Hieronimus Emilianus Sagara Artharendra. Saya memilih engkau menjadi suami saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, diwaktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup"

6 tahun berlalu, kukira semua akan berlangsung lebih baik dari sebelumnya. Sayangnya aku salah, semua masih sama. Bedanya sekarang aku lebih tak bernyali saja.

"Mama tau ini berat, jadi mama minta tolong untuk kamu pikirkan lagi akan lanjut atau tidak. Jangan pasrah, mama tau kamu keberatan. Coba sekali lagi kamu ngomong ke papa, siapa tau hatinya luluh"

Membicarakan masalah ini bersama papa hanya akan membuat suasana rumah menjadi semakin panas. Lagi pun keputusan akhir dari per masalahan ini sudah ditentukan, dan aku yakin papa tak akan mau negosiasi lagi. Ditambah lagi semua persiapan sudah selesai, lantas berbicara untuk apa lagi?-- bukankah semuanya sudah disiapkan?.

"Udah sejauh ini ma, kalo Sagara batalin yang ada papa malah makin mencak-mencak. Lagian apa yang di omongin papa waktu itu juga ada bener nya, anak kayak aku nggak punya pilihan selain nurut sama orang tuanya, dan anak kayak aku juga nggak ada hak apa-apa untuk nuntut apapun ke orang tua. Bohong kalo Sagara bilang Sagara baik-baik aja, tapi di sini mama juga tau kalo Sagara nggak bisa apa-apa selain nerima"

Hening sejenak, kulihat mama hanya menunduk lemah. Menangis sepertinya, merasa bersalah mungkin?-- aku sendiri kurang paham.

Aku bingung, bingung dengan kondisi rumah ini.

Jika memang sudah tak bisa bersama, kenapa tidak berpisah?-- bukankah akan lebih menyakitkan bertahan karena keterpaksaan?

Lagi pun anak hanya satu; aku.

Apa yang membuatnya keduanya sangat berat untuk berpisah?-- finansial?

Setahuku mama bukan dari keluarga yang kekurangan, dan aku yakin papa tak akan setega itu untuk menelantarkan mama.

Rumah tangga memang rumit, namun jika dijalani dengan orang yang tepat mungkin akan sedikit menyenangkan.

~~~

Kedatangan Kavela pada siang ini masih menjadi tanya besar untukku, ada sedikit rasa tak percaya bahwa perempuan itu benar-benar datang kemari.

Melihat respon nya malam itu yang terlihat acuh tak acuh membuatku yakin bahwa perempuan itu tak akan sudi untuk datang pada siang hari ini. Namun rupanya aku salah, karena sekarang perempuan itu tengah duduk manis di kursi umat membaur dengan tamu undangan lainnya.

Ada sedikit rasa bersalah karena keegoisanku malam itu yang nekat mengajaknya bertemu beralasan ingin meminta maaf dan berbicara penting.

Karena jelas bahwa alasan itu hanyalah akal-akalanku saja.

Tepat setelah aku memeluk mama malam itu, tiba-tiba papa datang. Memberi kabar bahwa tanggal pernikahanku telah ditentukan, dimajukan dari tanggal yang seharusnya karena suatu kepentingan yang aku sendiri sebagai mempelai tak tau apa itu

Untuk pernikahan ini semuanya kuserahkan pada mama dan papa, aku sama sekali tak ikut campur apapun kecuali urusan yang memang tak bisa diwakilkan seperti kanonik; tahap persiapan pernikahan pasangan Katolik yang di mana tahapan itu berupa wawancara pribadi antara calon mempelai dengan pastor paroki.

Setelah mendengar itu aku putuskan untuk menemui Kavela untuk yang pertama kalinya setelah perpisahan panjang. Aku tau bahwa tindakan ini tak bisa dibenarkan dan terdengar sangat bajingan.

Namun aku butuh, aku butuh meluapkan rasa rinduku sebelum benar-benar melepas masa lajang ku.

Saat itu aku tak tau harus beralasan apa, dan aku yakin bahwa Kavela tak akan mau menemuiku tanpa alasan yang jelas.

Setelah obrolan tak bermutu dengan papa, aku memutuskan untuk keluar rumah sekedar meredakan rasa kecewa dan amarah.

Malam itu aku pergi ke rumah Kavela, aku tau perempuan itu mungkin tak ada dirumah. Karena itulah aku berani menghampirinya ke rumah.

Ku tatap ponselku kosong, membuka room chatku dengannya yang masih berisi lengkap pesan kami dari awal bertemu sampai akhirnya memilih berpisah tanpa sepatah kata apapun.

Aku masih ingat betul bagaimana Argana berkali-kali menelfon dan mengirimiku pesan hanya untuk memaki-maki ku. Mengatakan bahwa aku bajingan tak tau diri yang brengsek nya melebihi para iblis.

Pesan dan panggilan telfon itu tak ada yang ku angkat maupun balas.

Chat dari Kavela pun terpaksa ku abaikan dengan alasan yang aku sendiri tak tau mengapa harus melakukannya.

Sampai saat ini hal itu masih menjadi penyesalan terbesarku. Hal yang seharusnya bisa di bicarakan baik-baik pada akhirnya menjadi serumit ini karena kebodohanku.

Benar kata orang, penyesalan akan selalu datang diakhir. Tepat dimana ketika kita sadar bahwa tak ada yang bisa dilakukan selain menyesali keputusan bodoh.

Malam itu, aku putuskan membuang jauh-jauh kewarasanku. Ku pasang muka tembok dengan kembali menghubunginya dan meminta bertemu. Setelah beberapa kali dibalas dengan ketus, akhirnya perempuan itu menerima ajakanku. Dan kami memutuskan untuk bertemu di gereja saja.

Awalnya ia ingin berangkat sendiri-sendiri, namun dengan tak tau diri aku malah meminta untuk kami berangkat bersama saja. Sepertinya ia muak dengan sikap tak tau diriku sehingga tanpa pikir panjang ia langsung menyetujui permintaanku.

Rasa peningku berkurang sedikit setelah mengobrol dengannya melalui ponsel.

Malam itu aku pulang dengan perasaan tenang karena akhirnya aku diberi kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

3 0 9 1 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang