Pada akhirnya kesabaran itu lenyap, tepat setengah jam yang lalu ketika lelaki bernama Samuel mengatakan bahwa ia masih dalam perjalanan dan hingga saat ini lelaki itu bahkan belum juga tiba; tak ada tanda-tanda bahwa ia akan tiba.
Hampir dua jam terbuang sia-sia hanya untuk menunggu seseorang yang bahkan entah dimana saat ini.
Saat ini, Kavela dan Arga memutuskan untuk pergi ke tempat tujuan mereka 'berdua'-- kecewa? Tentu saja, dan Argalah yang paling kecewa pada hari ini.
Bahkan saking muaknya, lelaki itu memilih menonaktifkan ponselnya; menghindari lelaki bernama Samuel. Anggaplah ini sanksi dari apa yang telah dia lakukan; mengingkari janjinya, dan membuatnya menunggu hal yang percuma.
"Lo yakin nggak mau coba hubungin dia dulu, Ga?" tidak, Kavela tak berusaha membela siapapun. Karena pada dasarnya ia pun tau bahwa ini mutlak kesalahan Samuel.
"Buat apa?-- tadi udah gue telfon. Dan jawaban dia-- 'gue masih dijalan, nanti gue jelasin'--" Arga menggantungkan ucapannya sejenak, cekalannya pada roda kemudi semakin erat. Menandakan amarah yang meluap-luap.
"Apa susahnya jelasin?! Apa susahnya lo bilang ke kita kalo lo emang gak bisa dateng?!-- kita nunggu dia loh Kav, dan dia--" Arga menelan salivanya tercekat, tak mampu melanjutkan ucapannya.
Kavela memutar tubuhnya sedikit condong ke samping; memeluk Arga sebisanya, berusaha memberi ketenangan pada lelaki itu.
Nafas yang memburu, dada yang naik turun tak beraturan membuat Kavela merasa miris, Kavela dapat melihat dengan jelas bagaimana perasaan kecewa itu sangat mendominasi.
Hari ini, hari yang seharusnya berjalan dengan baik. Hari dimana Arga akan memberikan kejutan kepada teman-temannya, hari dimana seharusnya Arga dapat memamerkan sesuatu kepada teman-temannya. Namun sayangnya, hari ini tak berjalan sesuai kemauannya; Arga.
Terkadang apa yang kita inginkan tak bisa kita dapatkan, terkadang apa yang kita harapkan tak berjalan seperti yang kita bayangkan. Terkadang menerima jauh lebih sulit.
Kavela mengeratkan pelukannya.
"Marah, Ga. Jangan ditahan, nanti lo punya dada sesek" ucap Kavela.
Kekecewaan memang datang tanpa pemberitahuan, namun kita hanya di beri pilihan untuk menerima dengan kelapangan.
Pertemanan memang tak selamanya menyenangkan, namun harapan untuk selalu baik-baik saja itu tak bisa disangkal.
Entah berapa kali Samuel berlaku demikian, mengingkari janji tanpa belas kasihan. Lelaki itu nampaknya tak memikirkan perasaan kawan-kawannya, terlebih lagi Argana.
Tak ada yang berlebihan, sikap Samuel memang sudah patutnya di beri balasan.
~~~
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit untuk mereka tiba di tempat yang dimaksudkan oleh Argana. Lelaki itu melepas seatbeltnya, turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu milik Kavela. Tentu saja lelaki itu membukakan pintu untuk Kavela.
"Silahkan ratu" Arga, lelaki itu berucap dengan senyuman yang merekah. Seolah lupa bahwa beberapa menit yang lalu ia baru saja menangisi dua kawannya.
Kavela turun dengan anggun, belaga anggun lebih tepatnya. "Terima kasih pengawal" balas Kavela dengan kekehan diakhir kalimat.
Arga tersenyum meledek sebelum akhirnya mengulurkan tangannya, bersiap menggenggam tangan lentik sang perempuan.
Kavela menerima uluran tangan itu, "romantis doang pacaran kagak" sindir Kavela.
Arga hanya menggeleng acuh, tak ingin terlalu menanggapi ke asbun an Kavela.
Kavela tersenyum, melepas genggaman tangan Arga dan merangkul lengan Arga; berusaha lebih dekat dengan Arga secara fisik.
Arga kembali menggeleng tak habis fikir, tak melepas rangkulan Kavela pula. Hanya diam dengan bibir yang tak berhenti tersenyum.
"Gue mau kenalin elo ke temen gue, dan gue minta tolong banget untuk kali ini lo coba akrab sama dia karena gue bakal banyak-banyak repotin elo setelah ini" Kavela menaikkan sebelah alisnya bingung, tak faham dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Argana.
"Ha? Maksudnya?" tak ayal permintaan Arga membingungkan Kavela, karena lelaki ini cukup selektif dalam mengenal kan pria padanya.
Dan lihatlah sekarang, lelaki itu malah memintanya untuk 'akrab?' tak salah kah?.
"Lo akan tau nanti" balas Arga masih dengan sifat sok misterius menyebalkannya.
Arga membawa langkahnya menuju pintu bangunan didepan nya, melangkah lebih cepat dari sebelumnya. Seolah ada sesuatu yang menggebu-gebu, yang ingin segera ditunjukkannya pada Kavela.
"Cafenya belum buka, Ga" ucap Kavela menahan lengan Arga.
"Iya gue tau" balas Arga nampak acuh; tak peduli.
Arga mendorong pintu di depannya, melepas rangkulan tangan Kavela di lengannya dan memilih menggenggam tangan Kavela dengan erat.
"Lo telat dan lo masih bisa mesam-mesem kaya orang sinting?" bukan, kalimat sarkasan itu tak keluar dari bilah bibir Arga. Melainkan orang asing yang baru saja berdiri dihadapkan mereka.
"Sorry" balas Arga nampak tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.
Lelaki itu memutar matanya jengah, berjalan ke salah satu kursi di sana. "Ambil minum sendiri"
Arga mengangguk singkat sebelum akhirnya memutar tubuhnya ke arah Kavela, "duduk sama dia dulu ya, gue bikinin minuman bentar-- oh atau mau makan juga?" Kavela menggeleng, masih tak faham dengan situasi yang ada saat ini.
Arga mengangguk, memegang kedua pundak Kavela dan mendorong perempuan itu untuk berjalan ke arah kursi yang baru saja di duduki oleh lelaki asing tadi.
"Nitip bentar, jangan di apa-apain" ucap Arga memperingatkan.
Lelaki itu mengangguk seraya membuka ponselnya. "Jangan main hp dongo, temenin dia dulu ngen" lelaki itu menatap Arga malas; hendak memprotes, namun diurungkan entah karena apa. Karena Kavela tak berani menoleh kanan kiri sedikitpun.
Setelah melihat Kavela sudah duduk nyaman segeralah Arga pergi, meninggalkan Kavela dengan temannya.
"Siapa nama lo?" tanya lelaki itu sembari meletakan ponselnya diatas meja.
Kavela yang pada mulanya tertunduk dengan spontan mendongak, "gue?" tanya Kavel menunjuk dirinya sendiri.
Lelaki itu menghela nafas panjang, "emang ada siapa lagi selain lo?" balas lelaki itu ketus.
"Sikap lo ketus amat buset! Gue cincang juga nih titid lo" gerutu Kavela dalam hati.
Kavela tersenyum canggung, "Kavela" Kavela mengulurkan tangannya lebih dulu. Berusaha terlihat baik-baik saja walaupun dalam hati ingin memakan lelaki angkuh di hadapannya.
"Nuel" balas lelaki itu menerima uluran tangan Kavela. "Immanuel, tapi biasanya di panggil Nuel" tambah lelaki itu memperjelas.
Kavela mengangguk, melepas jabatan tangan itu. "Siapanya Arga?" tanya lelaki bernama Immanuel itu.
"Istri gue" balas Arga yang entah datang dari mana.
Kavela dengan spontan memutar kepalanya, menatap Arga dengan kedua mata yang melotot kesal. "Oh" Immanuel mengangguk-angguk paham, membuat Arga tertawa geli setelahnya.
"Nanya-nanya mulu, wartawan lo?" sarkas Arga masih di selingi dengan tawa di akhir kalimat.
"Wartawan masa Pajajaran! Puas lo!" kesal lelaki itu.
Arga tertawa geli dan setelahnya memilih untuk ikut duduk bersama keduanya, dan kali ini ia memilih untuk duduk bersebelahan dengan Kavela.
![](https://img.wattpad.com/cover/374876856-288-k998877.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
3 0 9 1
Teen FictionSemua luka memang menyakitkan, namun tak ada yang lebih menyakitkan dari terbukanya luka lama. Dunia selalu punya cara untuk membuat kita merasa semakin tersiksa, contohnya dengan mengembalikan orang lama dengan situasi yang berbeda.