-1-

18 3 2
                                    

Langit berubah warna, memercikkan semburat jingga dan merah muda seakan-akan kanvas alam sedang dilukis oleh tangan tak kasat mata. Awan-awan yang terserak di cakrawala tampak menyala seperti bara api yang meredup perlahan, sementara sinar terakhir mentari memeluk bumi dengan hangat. Ketika cakrawala mulai menelan mentari, dunia terasa tenggelam dalam keheningan yang damai, mengingatkan bahwa segala sesuatu, tak peduli seindah apapun, akan berakhir pada waktunya.

Di balik jendela rumah sakit, semburat terakhir matahari terbenam perlahan menghilang, membawa serta sisa-sisa cahaya ke dalam gelapnya malam. Di atas ranjang putih bersih itu, seorang gadis perlahan membuka matanya, tatapannya kabur, seolah-olah berusaha mengingat dunia yang telah lama ditinggalkannya. Cahaya redup dari langit yang memudar menyentuh wajahnya, menonjolkan pipi pucat yang tak lagi menyimpan rona kehidupan. Dia menarik napas dalam, suara monitor berdetak lemah di sampingnya, mengiringi detak jantungnya yang seolah baru saja kembali ke dunia. Waktu seakan berhenti; dua bulan lamanya terbaring dalam kritis terasa seperti sekejap mimpi panjang yang tak berujung.

Perlahan, kesadarannya mulai menyatu dengan kenyataan. Rasa sakit yang samar terasa di seluruh tubuhnya, namun pikirannya tak mampu fokus pada satu rasa saja. Pandangannya tertuju pada langit yang mulai gelap, sementara benaknya berusaha merangkai kembali potongan-potongan ingatan yang hancur berantakan. Ribuan pertanyaan melintas di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan itu berdesakan di dalam pikirannya, namun bibirnya terlalu lemah untuk mengucapkannya. Gadis itu tetap terbaring, merasakan keheningan yang berat, seolah-olah seluruh dunia mengamatinya dalam diam, menunggu langkah pertamanya setelah kembali dari ambang batas antara hidup dan mati.

"Akhirnya kau bangun juga."

Gadis itu masih terbaring, berusaha memahami dunia di sekitarnya, tak sadar ada sosok pria yang berdiri di sudut ruangan dengan sikap tenang. Tangan pria itu terlipat di dadanya, jas hitam slim-fit yang elegan melekat sempurna di tubuh tinggi dan atletisnya, menonjolkan posturnya yang menjulang. Wajahnya tampak begitu tenang, nyaris datar, namun matanya—sepasang mata karamel yang menakjubkan—menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Ada kilatan cahaya tipis di sana, tersembunyi di balik sorot tajam yang dia lontarkan. Rambutnya tertata rapi, seolah tidak ada satu helai pun yang berani keluar dari tempatnya, menambah kesan sempurna seorang pria yang terbiasa hidup dalam kesempurnaan gaya dan kemewahan. Hidung mancung dan rahang tegasnya menambah pesona khasnya, membuatnya tampak seperti pria dari dunia yang lebih megah—seperti model yang keluar dari majalah fesyen di Milan atau Paris, kota-kota yang memuja keindahan.

Di hadapannya, gadis itu dengan polos menatapnya, matanya yang hitam bulat, lebar, dan indah memancarkan kebingungan dan kepolosan. Tidak ada pengakuan di sana, seolah pria itu adalah seseorang yang sepenuhnya asing baginya. Rambut panjang hitamnya terurai, meski terlihat kusut setelah berminggu-minggu terbaring, tetapi tetap mempertahankan kilaunya yang alami. Wajahnya lugu, tanpa makeup, namun tetap memancarkan kecantikan alami yang tak terbantahkan—kecantikan yang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat seperti Firenze atau Roma, di mana kecantikan klasik menjadi standar. Hidungnya yang mancung sempurna menjadi aksen yang melengkapi wajahnya, membingkai ketidaktahuannya saat dia terus menatap pria asing di depannya.

Gadis itu mengerutkan kening, bibirnya terbuka ragu-ragu sebelum akhirnya dia bertanya, “Siapa kamu?” Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan, namun nada kebingungan di dalamnya begitu nyata. Matanya yang hitam indah itu menatap lurus ke pria di sudut ruangan, mencari penjelasan yang tak kunjung datang. Dalam benaknya, dia tidak mengenali wajah pria itu—seolah baru pertama kali melihatnya. Setiap detik terasa lambat, seperti ada jarak yang tak terjembatani di antara mereka, meskipun hanya beberapa meter memisahkan tubuh mereka.

Pria itu terkejut, ekspresinya berubah sejenak sebelum kembali ke wajah dinginnya. “Apa maksudmu bicara seperti itu?” katanya dengan nada yang sedikit ketus, suaranya rendah namun penuh dengan rasa jengkel. Dahinya berkerut, menandakan ketidaksabarannya, seolah tidak bisa menerima bahwa gadis di depannya tidak mengenalnya. “Leluconmu tidak lucu.” Tatapan tajamnya terus tertuju pada gadis itu, seolah mengharapkan perubahan ekspresi yang menunjukkan bahwa ini semua hanya candaan belaka.

"Hidupmu, Aku yang Menentukan."Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang