Pintu diketuk perlahan, menandai kehadiran seorang wanita cantik berambut sebahu yang memasuki ruangan. Ruang kerja yang didominasi oleh nuansa modernitas dengan meja kayu besar di tengah dan dinding kaca yang menampilkan panorama kota di kejauhan. Gadis itu adalah sekretaris dari seorang pria berpengaruh, Dante Matheo Aren, CEO dari salah satu perusahaan terbesar di Italia. Di tangannya ada tumpukan berkas—hasil dari pekerjaannya yang rapi dan efisien. Sebagai sekretaris, tugasnya mencakup lebih dari sekadar menyusun jadwal atau menyampaikan pesan; ia memastikan setiap detail administrasi, komunikasi, dan perencanaan strategis perusahaan berjalan mulus, mendampingi bosnya dalam menghadapi dunia bisnis yang keras dan penuh intrik.
"Bagaimana kabarmu, pak bos? Semoga kau tidak berselisih dengan istri kecilmu pagi ini," ujar Ysabelle sambil tersenyum lembut, sebuah senyuman yang baginya telah menjadi bagian dari rutinitas ketika berhadapan dengan Matheo. Ada keakraban dalam cara ia bicara, meski statusnya tetap terjaga.
Pria berpostur tegap yang dikenal dengan reputasinya sebagai pengusaha dingin dan perfeksionis, tengah sibuk di balik layar komputernya. Layar yang dipenuhi angka, grafik, dan laporan keuangan seolah menelan seluruh fokusnya. Di balik ketenangan itu, tersembunyi beban seorang pemimpin yang harus menjaga perusahaan dengan nilai aset yang tak terhitung.
“Dimana dokumen yang aku minta?” Suaranya tenang namun tegas, menembus keheningan ruangan tanpa memalingkan pandangan dari monitor di hadapannya.
“Di sini.” Rossa dengan cekatan meletakkan tumpukan dokumen di atas meja. Setelah itu, ia bergerak dengan luwes, duduk di tepian meja Matheo, tangannya bertumpu untuk bersandar sementara tubuhnya sedikit condong ke arahnya. Gerakannya penuh percaya diri, meski tidak berlebihan, seolah-olah setiap gerakannya memang sudah menjadi bagian dari dinamika mereka sehari-hari.
Namun, Matheo tidak mengalihkan perhatian. Tangannya terus bergerak menandatangani berkas-berkas penting—kontrak bisnis yang harus segera diselesaikan, laporan keuangan yang perlu ditinjau, serta strategi perusahaan yang memerlukan tanda tangannya. Baginya, pekerjaannya adalah prioritas, dan gangguan di luar urusan bisnis jarang mendapat perhatian lebih.
Rossa masih memandang Matheo, sedikit kesal karena tak ada tanda-tanda dari pria itu untuk menatapnya sejenak. Namun, ia tetap mempertahankan senyumnya yang seolah sudah terpahat di wajahnya. “Kau terlalu kaku sebagai pria, kau tahu,” ujarnya akhirnya, berusaha mencuri perhatian dengan nada bercanda, namun tetap tak ada tanggapan.
“Aku tahu,” sahut Matheo dengan nada datar, menyerahkan dokumen yang sudah ditandatangani kembali kepada Rossa. “Apakah aku punya waktu luang siang ini?”
Rossa tersenyum, meski tetap menjaga profesionalitasnya. “Tentu, aku bisa melonggarkan jadwalmu sedikit. Ada sesuatu yang ingin kau lakukan?”
Dengan gerakan pelan, ia mengangkat telunjuknya, menyentuh lengan Matheo seolah berharap sentuhannya bisa memancing reaksi. Mungkin sedikit kehangatan, atau setidaknya sekilas perhatian dari pria itu.
“Bagus,” ujar Matheo tanpa basa-basi. Ia segera merampungkan pekerjaannya, tangannya bergerak cekatan di atas keyboard komputer desktopnya, menyelesaikan laporan terakhir sebelum menutup semua dokumen digital. Satu klik tegas menandai akhirnya, kemudian layar monitor besar di hadapannya meredup, seakan ikut menutup hari kerjanya.
Matheo meraih jas panjangnya—jas formal yang selalu tergantung rapi di punggung kursi atau disampirkan di pundaknya dengan elegan. Jas itu adalah lambang kesuksesannya, sebuah pernyataan bahwa setiap detail dalam hidupnya—termasuk penampilannya—tak pernah lepas dari sentuhan kemewahan.
“Aku akan makan siang bersama istriku. Jangan ada gangguan selama aku pergi.”
Sesaat setelah Matheo melangkah keluar ruangan, tak ada sapaan perpisahan atau sekadar pandangan ke belakang. Rossa memasang wajah jengkel, mendengus pelan sambil mendecakkan lidah begitu sosok pria itu menghilang dari pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Hidupmu, Aku yang Menentukan."
Short Story"Semua yang aku katakan adalah mutlak," -He say. "Aku bukan budak yang bisa kau perintah sesukamu!" -She say. "Aku akan menarik semua akses-" -He say. "Aku tak pernah membantah, aku anak yang patuh, kok!" -She say.