"Kenapa kau menikahinya?"
Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Miyazaki. Rossa, sekretaris kepercayaan Matheo pernah melontarkan pertanyaan tersebut pada suaminya dan kini gema kalimat itu berputar tak henti dalam benaknya. Meski Miyazaki berusaha keras, tak ada ingatan tentang Matheo yang kembali. Seolah setiap kepingan kenangan menghilang dalam kabut yang tak terjamah.
Dalam diam, Miyazaki memutuskan untuk bertindak. Dia tak lagi bisa hanya duduk menunggu jawaban dari Matheo. Pikirannya memutar berbagai kemungkinan, namun hatinya tahu bahwa Matheo tak akan memberitahunya dengan jujur. Ada sesuatu yang disembunyikan—dan Miyazaki harus menemukan jawabannya sendiri.
Selama lima hari terakhir, sejak kunjungan Rossa, Miyazaki mulai menjalankan "operasinya." Dia menyelinap ke sebuah kafe internet, tempat yang tenang untuk menyusuri jejak masa lalunya. Meski rasa asing membayanginya, Miyazaki yakin teknologi bisa membantunya menyingkap tabir kenangan yang terkunci.
Hari ini, secercah harapan muncul. Artikel yang ia temukan di internet mengarahkan langkahnya ke sebuah tempat yang begitu akrab namun terasa jauh—sekolah dasar yang dulu ia hadiri. Bangunan itu kini tampak jauh lebih modern, dengan cat baru dan desain yang lebih futuristik, tetapi di tengah perubahan itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan masa lalu.
Miyazaki berdiri di depan gerbang sekolah, udara dingin musim gugur menyapu kulitnya. Meski begitu, hati kecilnya bergolak, ada perasaan nostalgia yang tiba-tiba melintas, samar namun nyata, seperti kilasan gambar yang belum sempurna. Ingatannya berkedip, sebuah suara tawa kecil, seorang teman lama—sesuatu yang nyaris ia genggam, namun lenyap begitu saja.
Bukan tanpa alasan Miyazaki sering keluar rumah belakangan ini. Beralasan belanja atau mengurus urusan pribadi, semua itu hanyalah kedok agar Matheo tak mencurigai langkah-langkahnya. Dalam diam, Miyazaki sibuk dengan pencariannya, mengais informasi tentang masa lalu yang kabur dari ingatannya.
Hari itu, Miyazaki mendapati dirinya berdiri di depan gedung sekolah yang telah berubah wajah menjadi lebih elit dan berkelas. Suara anak-anak yang berlarian riang terdengar, memenuhi udara dengan tawa yang membangkitkan perasaan nostalgia dalam hatinya. Tatapannya tertuju pada sebuah pohon tua yang menjulang di dekat air mancur. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang terasa akrab. Miyazaki mendekati pohon itu dan menyentuh permukaannya yang kasar. Dalam benaknya, ia melihat bayangan masa kecilnya—duduk di tepi air mancur, memperhatikan ikan-ikan yang berenang dalam air. Senyumnya mengembang tanpa sadar.
Dengan langkah ringan namun hati yang gelisah, Miyazaki melangkah lebih dalam ke gedung sekolah. Namun tiba-tiba, seorang penjaga menghentikan langkahnya, memandangnya dengan alis terangkat, seolah mempertanyakan kehadirannya di tempat itu.
"Selamat pagi, nona. Apa yang dapat saya bantu?" tanyanya dengan suara berat namun penuh sopan santun.
Miyazaki mengangguk dengan tenang meski jantungnya berdetak kencang. "Ya, saya di sini untuk mencari seorang guru... Sudah sangat lama. Saya dulu bersekolah di sini, dan ingin melihat beberapa dokumen lama, jika memungkinkan."
Penjaga itu mengerutkan kening, tampak ragu. "Dokumen seperti apa yang Anda cari?"
Miyazaki tahu ia harus berhati-hati. Dia segera tersenyum, mencoba untuk membuat alasan yang lebih meyakinkan. "Saya sedang mencari data lama... Teman masa kecil yang kini sudah hilang kontak. Saya berharap bisa menemukan beberapa kenangan di sini."
Penjaga itu memandangi Miyazaki dengan sorot mata curiga, namun tidak mengatakan apa-apa untuk sesaat. "Saya mengerti... Tunggu sebentar, saya akan lihat apa yang bisa saya lakukan." jawabnya akhirnya.
Miyazaki tersenyum lega meski hatinya masih waspada. Dia tahu bahwa waktu sedang berlomba dengannya—waktu untuk mengungkap kebenaran yang selama ini tersembunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Hidupmu, Aku yang Menentukan."
Short Story"Semua yang aku katakan adalah mutlak," -He say. "Aku bukan budak yang bisa kau perintah sesukamu!" -She say. "Aku akan menarik semua akses-" -He say. "Aku tak pernah membantah, aku anak yang patuh, kok!" -She say.