Pagi itu, sinar matahari Italia yang lembut menyusup masuk melalui tirai kamar pribadi keturunan tunggal Miyazaki, menyelimuti ruangan dalam kehangatan yang tenang. Waktu baru menunjukkan pukul delapan, dan gadis cantik keturunan Jepang itu masih terlelap di atas tempat tidurnya, pelan-pelan menggeliat dalam mimpi-mimpinya yang manis. Rambut hitamnya yang sedikit bergelombang terurai anggun hingga pinggul, kontras sempurna dengan kulitnya yang lembut dan wajah manis yang tampak begitu damai. Mata hitamnya, yang biasanya menyala dengan kelembutan, kini tersembunyi di balik kelopak yang tertutup, sementara bulu matanya yang lentik beristirahat di wajahnya yang tenang.
Ia memeluk bantal dan boneka kesayangannya dengan erat, seakan enggan melepaskan kehangatan tidur. Sekilas, ada tawa tipis yang tersirat di bibirnya, membawa kesan bahwa Miyazaki masih terbuai dalam euforia mimpi indahnya.
Namun, keheningan itu seketika terpecah saat pintu kamar terbuka perlahan. Sosok Matheo, tegap dan penuh wibawa, berdiri di ambang pintu. Tingginya yang 189 cm tampak seperti patung kesempurnaan yang memancarkan aura elegansi. Matanya, karamel yang memikat, menyapu pemandangan itu-Miyazaki, calon istrinya, terlelap dengan kepolosan yang menawan. Dengan tangan disilangkan di depan dada, Matheo berdiri seolah memahat waktu. Jas mahal yang membalut tubuhnya sempurna menambah kesan formalitas yang tak tersentuh, seakan setiap helai rambutnya pun tunduk pada aturan kesempurnaan yang ia ciptakan.
Matheo menghela napas berat, melepaskan segala kepenatan yang terasa menghimpitnya. Tangan besarnya terulur, memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Ketegangan jelas terlihat di garis wajahnya. Tanpa basa-basi, ia meraih selimut yang menutupi tubuh keturunan Miyazaki dengan gerakan kasar, melemparnya begitu saja ke lantai tanpa ragu.
Ketika tangannya hendak meraih boneka yang dipeluk erat oleh calon istrinya, gadis itu secara spontan memeluknya lebih kencang, seolah boneka itu adalah pelindung terakhirnya dari dunia nyata. Wajah Miyazaki mengerutkan kening, bibir manisnya yang mengerucut memancarkan ketidaksukaannya yang polos.
"Apa yang sedang kau lakukan? Jangan ganggu aku," ketus Miyazaki dengan suara masih berat oleh sisa tidur, wajahnya ia benamkan lebih dalam ke bantal, menghindari cahaya pagi.
Matheo, dengan ekspresi semakin tidak sabar, menyipitkan mata. "Kita sudah terlambat, bocah. Segera bangun atau aku harus memaksamu dulu?" Nada suaranya terdengar tegas, nyaris mendidih.
Miyazaki hanya mendesah pelan, tanpa membuka matanya. "Kemana? Aku merasa aku tak punya janji denganmu." Suaranya terdengar serak, setengah sadar, seolah dunia di luar sana belum cukup penting baginya. Sikap tenangnya terus menawan, meski Matheo semakin gusar dengan waktu yang terus berlari.
"Kau lupa janjimu dua hari lalu? Kita akan pergi ke toko untuk mengukur ulang gaunmu." Matheo menyilangkan tangan di depan dada. Dia berdiri tepat di depan kasur Miyazaki yang masih berbaring sambil memeluk bonekanya.
"Gaun?" Miyazaki mendongakkan kepalanya untuk menatap ke arah calon suaminya yang sedang berdiri menjulang di atasnya, memberikan kesan dominasi yang tak dapat diruntuhkan.
Kembali ke dua hari sebelumnya...
Dua hari sebelumnya, malam turun bersama hujan yang mengguyur jendela kamar Naomi Miyazaki. Udara terasa sedikit dingin, namun penghangat ruangan membuat kehangatan menyelimuti mereka. Di atas kasurnya, Miyazaki berbaring dengan nyaman, menikmati kue cokelat kering dan permen sambil bermain game konsol di laptopnya. Suara musik yang lembut mengalir melalui earphone-nya, membuat dunia luar terasa jauh.
Di sebelahnya, Matheo sibuk dengan laptopnya, bekerja tanpa henti, mengurus bisnisnya yang tiada habisnya. Namun, sesekali ia melirik ke arah Miyazaki yang begitu tenggelam dalam dunianya sendiri, fokus pada permainan yang ada di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Hidupmu, Aku yang Menentukan."
Short Story"Semua yang aku katakan adalah mutlak," -He say. "Aku bukan budak yang bisa kau perintah sesukamu!" -She say. "Aku akan menarik semua akses-" -He say. "Aku tak pernah membantah, aku anak yang patuh, kok!" -She say.