-2-

12 3 0
                                    

"Aku tidak mau!" tolak Naomi sambil menggeleng tegas. Suaranya penuh penolakan, mengulang pernyataan yang sama untuk kesekian kalinya. Wajahnya menunjukkan ekspresi cemberut, seolah-olah dunia di sekelilingnya tidak adil. Tangan yang terlipat di depan dada mencerminkan ketegasan dan kekuatan hatinya, seakan menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengubah pendiriannya.

Theo menatap Naomi dengan sorot mata tajam, berusaha menahan kekesalan yang semakin sulit dikendalikannya. "Keputusanku sudah final," katanya, suaranya rendah namun tegas. "Aku ingin kita menikah sesegera mungkin." Keningnya berkerut dalam, seolah tak ada ruang lagi untuk kompromi. "Pernikahan ini sudah tertunda lebih dari tiga minggu, kau tahu?" Suaranya sarat dengan frustrasi, membawa ketegangan yang menggantung di udara.

Naomi menghembuskan napas dengan kesal, suaranya meninggi saat kembali membentak, "Kau terus mengulangi pertanyaan yang sama. Aku perlu memulihkan dulu kondisiku!" Langkahnya terhenti ketika Theo dengan cepat meraih lengannya, genggamannya erat, membuatnya terkejut.

Theo menarik napas perlahan, berusaha tetap tenang meski matanya yang berwarna karamel menunjukkan kilatan amarah yang tersembunyi. "Kau mendengarku," katanya dengan suara yang datar dan tak bergetar sedikit pun. "Aku tak suka dibantah." Meski suaranya tenang, nada tegasnya tak bisa diabaikan, seakan setiap kata mengandung peringatan. Mata tajamnya menyipit, menatap Naomi dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka terasa menegang.

Naomi menatap Theo dengan frustrasi yang tak bisa disembunyikan, suaranya bergetar karena emosi. "Mengapa kau begitu menuntut?" tanyanya, penuh ketidakpahaman. "Aku perlu memulihkan ingatanku dulu. Aku bahkan tidak mengenalmu sekarang." Ia menarik lengannya dengan keras, berusaha membebaskan diri dari genggaman Theo, dan akhirnya berhasil melepaskan diri.

Theo, yang kini berdiri tegak menjulang di hadapannya, hanya menghela napas panjang. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana, seolah mencoba meredakan ketegangan di tubuhnya. "Aku mengerti kegelisahanmu," jawabnya dengan nada yang sedikit lebih lembut, meski tetap penuh dominasi. "Oleh karena itu, kau membutuhkan diriku." Meski ia mencoba tenang, sosoknya yang tinggi membuat Naomi merasa terintimidasi, sementara ia sendiri tampak kecil di depannya, seolah dunia mereka memiliki dinamika kekuasaan yang tak bisa dihindari.

Keheningan yang mencekam mengisi ruangan, seolah waktu berhenti sejenak di antara mereka. Theo menarik napas panjang, lalu menghela pelan, matanya masih menatap Naomi yang penuh perlawanan. Dengan gerakan lembut yang kontras dengan ketegangan di udara, ia mengusap kepala Naomi, mencoba menenangkannya meski tahu upayanya mungkin sia-sia.

Naomi, yang masih kesal, mendengus kecil. Wajahnya yang tadinya penuh amarah kini berubah menjadi cemberut, bibirnya mengerucut dengan ekspresi jengkel. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik, langkahnya berat dan disengaja, menghentakkan kakinya di lantai dengan setiap langkah menuju kamar tidur. Bunyi hentakan itu menggema di ruangan, menandakan rasa frustrasi yang belum usai. Hal itu diakhiri saat dia membanting pintu hingga tertutup dengan suara yang keras.

"Cewek gila."

Tiga hari yang lalu, Naomi diizinkan pulang oleh dokter untuk melanjutkan pemulihan dari rumah. Meskipun ingatannya masih kabur akibat amnesia, setidaknya dia tak lagi harus terkurung dalam dinginnya kamar rumah sakit. Kini gadis cantik itu, Naomi Miyazaki, mengenakan gaun sederhana namun anggun, terbuat dari bahan lembut yang meluncur ringan di tubuhnya, dengan potongan longgar yang membuatnya merasa nyaman. Warnanya netral, mungkin krem atau pastel, memberikan kesan tenang dan bersahaja, sempurna untuk suasana rumah yang menenangkan. Kini, dia menjalani masa pemulihan di mansion milik Theo, sebuah rumah megah yang mencerminkan status dan kekayaan pria keturunan Italia itu.

Mansion Theo terletak di atas lahan luas, dengan arsitektur bergaya modern yang anggun dan elegan. Bangunan tiga lantai itu dikelilingi oleh taman indah dengan air mancur di depan, sementara dinding luar terbuat dari marmer putih yang berkilau ketika terkena cahaya matahari. Interiornya dipenuhi oleh sentuhan seni Italia klasik: chandelier kristal besar menggantung di tengah ruang tamu yang luas, lantai dari kayu mahoni yang dipoles sempurna, serta jendela-jendela kaca tinggi yang membiarkan cahaya alami masuk, menciptakan suasana yang lapang namun mewah. Setiap sudut mansion ini berbicara tentang kemewahan, dari furnitur buatan tangan hingga koleksi seni yang tergantung di dinding.

Sementara itu, pemuda itu tampak sangat berbeda. Sebagai seorang CEO ternama, Dante Matheo  Aren, selalu tampil dengan penuh percaya diri dan gaya yang berkelas. Kali ini, dia mengenakan jas mahal dengan potongan sempurna yang memeluk tubuhnya secara elegan. Jas hitamnya terbuat dari kain yang halus dan berkualitas tinggi, memberikan kilau lembut di bawah cahaya ruangan. Kemeja putih yang dikenakannya kontras dengan warna jas, menyempurnakan penampilannya yang formal namun tetap tampan. Penampilannya selalu tak bercela, dengan potongan jas yang seolah dirancang khusus untuk menonjolkan ketampanannya yang maskulin. Setiap gerakannya mencerminkan kemapanan dan kekuatan, sosok pria yang terbiasa memegang kendali di dunia bisnis.

Di dalam kamar tidurnya, keturunan Miyazaki itu berbaring telentang di atas kasur, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Ruangan yang sunyi hanya mempertegas rasa hampa yang ia rasakan. Dengan helaan napas panjang, dia mencoba lagi—sekali lagi—untuk mengingat masa lalunya. Ia memaksa pikirannya untuk menemukan sesuatu, apa pun, tapi setiap kali ia mencoba merangkai ingatan yang kabur itu, hanya kekosongan yang muncul.

Tak ada bayangan yang jelas, tak ada suara, tak ada momen yang bisa ia pegang. Keningnya mulai berkerut, dan rasa sakit yang tajam mulai menjalar di kepalanya. Denyutan itu semakin kuat, seolah-olah pikirannya menolak untuk dipaksa mengingat. Keturunan Miyazaki itu mendesah lelah, satu tangan terangkat untuk menekan pelipisnya yang berdenyut, frustrasi karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk menembus kabut yang menyelimuti masa lalunya.

"Damn it..."

Setelah beberapa menit dalam keheningan, ketukan lembut terdengar di pintu, membuyarkan lamunannya. Miyazaki seketika menyadari bahwa itu adalah Matheo. Instingnya mendorongnya untuk berbaring membelakangi pintu, memeluk bantal dengan erat untuk menyembunyikan wajahnya. Perasaannya masih berkecamuk, kesal karena perdebatan sebelumnya, dan berpura-pura tidur adalah satu-satunya cara untuk menghindari konfrontasi lebih lanjut.

Di baliknya, aroma kue stroberi yang masih hangat memenuhi ruangan, mengusik indra penciumannya. Kue itu tampak menggoda, dan keinginan untuk berbalik dan melihat kue itu menggelitiknya. Namun, rasa malas untuk menunjukkan ketertarikan yang berlebihan menahan langkahnya untuk bergerak, dan ia tetap diam, terjebak dalam ketidakpastian.

Sementara itu, Matheo menikmati setiap potongan kue stroberi yang ia ambil dari pelayannya, yang telah memasak kue itu sekitar dua jam lalu. Ia mengunyah dengan lambat, menyanjung rasa setiap suapan, dan membiarkan dentingan sendoknya yang menimbulkan suara lembut menggema di ruangan. "Aku rasa kue ini akan lebih enak jika ditambahkan susu atau cokelat lagi," ujarnya dengan nada santai, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi cukup keras untuk didengar Miyazaki.

“Yah, sepertinya seseorang bahkan tidak tertarik pada benda manis ini,” kata Matheo dengan nada menggoda, saat ia berbalik untuk pergi. Namun, tiba-tiba ujung belakang jasnya ditarik pelan, membuatnya berhenti sejenak. Ia menoleh dari sudut matanya dan melihat Miyazaki, pipinya merona merah, sedang menatap lantai dengan ekspresi cemberut yang membuat hatinya berdesir. Tangan kecilnya menggenggam ujung jas Matheo, seolah enggan melepaskan momen itu.

“Kau pria jahat" Gadis itu bergumam, suaranya pelan namun penuh penekanan, sementara matanya tetap terfokus pada lantai. Meski nada suara Miyazaki mengandung rasa kesal, ada nuansa kerentanan yang tak bisa diabaikan.

Matheo memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Miyazaki, dan dengan lembut, ia mengangkat dagu gadis itu agar bisa menatap matanya. Sebuah tatapan saling terjalin di antara mereka, memadukan keheningan dengan ketegangan yang tak terucapkan. Dalam momen itu, Matheo menyadari betapa rentan dan tak berdayanya sang Miyazaki, membuat ekspresi datarnya berubah menjadi senyuman licik yang mengundang rasa ingin tahu.

“Lihatlah dirimu,” katanya, “sangat rentan dan tak berdaya, hm?” Dengan satu tangan masih memegang piring yang berisi kue, ia menyerahkannya kepada Miyazaki, seolah menawarkan kesempatan untuk menikmati sesuatu yang manis.

Namun, saat Miyazaki hendak menyendok kue itu ke dalam mulutnya, Matheo bergerak cepat. Dalam sekejap, ia melahap kue itu langsung dari tangan Miyazaki, senyumnya tak bisa disembunyikan. Ia tertawa tertahan, menikmati ekspresi terkejut di wajah Miyazaki yang seolah hendak membentak, pipinya kembali memerah karena marah.

Tapi sebelum Miyazaki sempat mengeluarkan kata-kata protes, Matheo menggenggam tangan Miyazaki dengan lembut, membawanya berdiri dan bergerak menuju dapur. “Aku tak mungkin membiarkan calon istriku makan dari sisa milikku,” ujarnya masih dengan nada datar, seolah merespons setiap emosi yang bergetar di antara mereka. Keduanya melangkah menuju dapur, mengabaikan rasa jengkel Miyazaki yang hendak mengamuk.

"Hidupmu, Aku yang Menentukan."Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang