POISON (6)

14 6 1
                                    

06. Worst day.

Seorang cowok berkaki jenjang dengan langkah besar, berbadan tegap, dan rahang tegas serta tatapannya yang kosong menatap sebuah gundukan tanah di hadapannya, bola mata dengan warna hazel itu sama sekali tidak menintikan air matanya, hanya tatapan yang sulit di jelaskan.

"Mari kita pulang," sela Pria paruh baya bertubuh pendek darinya yang sejak awal sudah ada di sampingnya, pria tersebut mengelus lembut punggungnya lalu memegang pundak sang Anak.

Rajendra tidak bergeming sama sekali, tatapannya masih terfokus ke gundukan tanah yang masih basah, matanya sesekali melirik papan nisan. "Papa pulang duluan, jangan terlalu lama," lanjut pria paruh baya itu menghela nafasnya pelan, ia adalah ayahnya.

Semilir angin berhembus membuat sebuah pohon dengan dahan yang kering berjatuhan seperti musim gugur, hawa dingin karena hembusan tersebut terasa sedikit mencekam.

Alam seakan tahu bahwa hari ini seseorang akan berduka, Alam pun turut merasakan kesedihan dengan menandakan cuaca hari ini yang tampak gelap seolah mengatakan ia juga ingin ikut menangis, semilir angin yang perlahan lahan semakin membesar hembusannya, tak lama air mulai jatuh membasahi permukaan tanah.

Tetesan air satu persatu hingga ribuan turun membasahi bumi, sebuah memori melebur, mengingat kembali momen kejadian yang berharga itu menggema di dalam kepalanya; hujan semakin deras membuat buliran air mata ikut menetes bersamaan dengan turunnya hujan.

Ia tidak bisa menahan dirinya lagi, ia menjatuhkan kedua lututnya lalu kedua tangannya memegangi kedua lututnya, menundukkan kepala agar tidak ada yang melihat bahwa ia sedang hancur saat ini.

Dadanya terasa sesak, seperti ada sebuah tangan yang menggenggam jantungnya dengan erat, rasanya semakin sesak dan tercabik cabik, seolah menyadarkan bahwa ia telah kehilangan cahayanya.

"kenapa?"

Nafasnya tersengal sengal karena menahan suara tangisannya, ia berdiri dengan tegap, menghapus kasar air matanya dan mengatur deru nafasnya yang tidak teratur.

"Kenapa harus mama?" lirihnya.

20 jam yang lalu...

Kemacetan terjadi di sisi jalan pusat kota dan bertepatan di depan gedung tinggi tempat kerjanya seseorang, seorang pria menerbos masuk dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, matanya membulat saat tangannya menyibak kain putih yang menutupi sebuah tubuh yang sudah pucat pasi yang cukup mengenaskan.

Hatinya sangat sakit melihat wanita yang melahirkan dan membesarkan dirinya terbaring kaku di atas aspal yang dingin dan kasar itu, mengepalkan tangannya dengan perasaan yang bersalah.

Tangannya kembali bergerak menutupi tubuh yang bersimbah darah tersebut dengan kain putih agar tak banyak orang yang melihat tubuh sang ibu, tubuhnya berjongkok meraih tangan sang ibu dan menggenggamnya dengan erat yang perlahan mulai mendingin. mencium berkali kali telapak tangan Sang ibu entah kenapa dirinya benci karena tidak bisa mengeluarkan air matanya saat ini.

Rea menyelinap masuk kedalam kerumunan itu melihat Temannya menggenggam erat tangan milik ibunya, Rea menepuk pelan pundak Rajendra, "Biarin petugas mindahin dulu Jen, lo gak mau kan Tante jadi tontonan disini," ujar Rea.

Rajendra menoleh dan menatap Rea "Re, nyokap gua," ucapnya, Rea terkejut melihat ekspresi di wajah Rajendra membuat dirinya berjongkok dan menarik kepala Rajendra ke bahunya lalu mengelus pelan punggung besar miliknya.

Rea melepaskan pelan genggaman tangan Rajendra lalu mengode petugas untuk memindahkannya, Rea masih mengelus punggung Rajendra bahunya terasa basah.

Sejak kecil Rajendra sulit untuk menangis bahkan saat terluka sekali pun ia tak akan menangis, namun saat dirinya dalam pelukan seseorang Rajendra bisa mengeluarkan air matanya Rea pun tahu dan Mamanya selalu ada saat Rajendra ingin menangis.

Problematic Life [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang