Prolog [Regresi ke 3]

359 50 7
                                    

     Entah harus berterimakasih atau mengutuk, Vallen kembali pada waktu yang salah. Ini adalah satu hari sebelum kabar kalau ibunya tengah hamil, dan satu hal yang Vallen sadari jika setiap regresinya akan mundur satu bulan.

     Menghela nafas berat, dia harus dapat memandang lebih jauh. Kehidupan pertamanya membuat trauma mendalam bagi Vallen, dan regresi pertamanya membuat Vallen hancur sehancur-hancurnya.

     Ada satu fakta yang membuat Vallen enggan membuka mata dalam regresinya yang kali ini. Ternyata dia bukan anak kandung orang tuanya yang sekarang, bahkan di cap sebagai anak haram.

     Namun pada akhirnya Vallen mengalah dia memilih menerima fakta, sekarang Vallen telah menyerah menjadi bungsu kesayangan. Walau begitu bukan berarti dia benar-benar mengubur keinginan nya itu.

     Vallen merenggut ketika melihat handphone miliknya yang tergeletak dengan game mobile online yang masih menyala, suara teman-teman yang berteriak di speaker terdengar jelas membuat Fallen terkekeh geli.

     "Maaf bre, gw kebelet pipis tadi." Vallen berucap sembari mulai memainkan handphone miliknya. Menggenggam erat sebelum akhirnya mendengar suara rekan satu timnya.

     "Alah bacot! cepet buff ayink, udah pada mau mati ini!" ujar Luca dengan nada marah.

     "Aeilah! oke-oke nihh," Vallen menekan salah satu skill Karakter yang dia mainkan.

     Setelah memainkannya selama kurang lebih lima menit, tim mereka dinyatakan kalah telak. Membuat teman satu tim dengan Fallen pundung padanya.

     Vallen menarik napas pendek pendek, dia benci untuk mengakuinya tapi ia membutuhkan kehadiran Luca sore ini sebelum kabar ibunya tengah mengandung si adik. Satu-satunya teman yang tetap bersama Fallen bahkan ketika dia dalam kegelapan, satu-satunya teman yang hadir dan tertawa bersamanya ketika melihat di adik yang berusia tiga tahun—Alan menari dalam siksaannya.

     Alan itu kutukan bagi Vallen.

     Seperti cangkir hukuman yang harus ia minum suka ataupun tidak. Cangkir berisi racun yang membuatnya diabaikan, membuatnya terasing, membuatnya hancur, membuatnya dilecehkan, membuat raga dan psikisnya disiksa begitu kejam, Vallen tak ingin masa-masa itu kembali karena itu Vallen tak berniat membunuh adiknya kali ini

     Dia akan pergi.

     Dia akan pergi bersama Luca—karib Vallen. Walaupun cara Luca memandang Vallen tidak seperti teman, itu bukan masalah bagi Vallen selama Luca tidak melangkah lebih jauh.

     Yah, laki-laki itu memang menyebalkan tapi di pihak lain vallen membutuhkannya. vallen menggembungkan pipi dan menguatkan hati untuk membuka mulut dan membujuk Luca yang masih marah.

     "Luca ... Maaffin Vallen, ya? Vallen janji deh nanti kalo pipis hpnya dibawa ke toilet."

     "Dengan mudah?" Luka bahkan tak repot mendekatkan wajahnya ke layar handphone yang tengah melakukan video call dengan orang yang diasukai.

     "Yaudah ... Luca maunya apa? Vallen turutin deh, tapi maapin Vallen yaaa~"

     "Gw mau Lo tinggal bareng gw, bisa?" Luca tak menyangka pertanyaan itu akan meluncur keluar dari mulutnya.

     "Boleh, nanti Vallen siap-siap ya ... Luca jemput Vallen ke rumah, oke?" Vallen menengadah  dan menyimpulkan dengan cepat.

     "Lah? lo yakin? maksud Gw itu hidup bareng, sampe mampus. Bukan nginep satu-dua hari! Lo ngerti gak sih?" Tanya Luca curiga.

     Kini vallen menatap luka dengan tatapan yang begitu asing dan dingin. "Gw mau ngomong, tapi bedua aja."

     Tatapan dingin yang di salah artikan oleh Luca membuat Luca memandang Vallen sendu, "Oke. Gw jemput Lo jam 7—"

     "Sekarang!"

     Pandangannya hampa, pedih, dan sakit itu membuat Luca tertegun, dia tak sanggup bergerak dari tempatnya dan tak mengerti apa yang membuat vallen menatapnya dengan begitu traumatis.

     "Oke, gw kesana sekarang."

     Pip!

     Jam 15: 12 hari Sabtu. Ibunya pasti sekarang tengah berada di toko pakaian bersama ayahnya. Tinggal satu jam lagi maka ibunya akan pingsan dan dibawa ke rumah sakit—kabar buruk. Kabar ibunya hamil adalah kutukan bagi Vallen, dia harus pergi.

     Dengan tergesa-gesa Vallen pergi ke brangkas miliknya, mengambil semua yang fi dalamnya ke koper. Tak lupa membawa dua set pakaian berserta jaket, setelahnya dia segera melangkah pergi.

     Abang pertamanya pasti masih di tempat kuliah, Abang keduanya mungkin sedang di perjalanan pulang jadi dia harus cepat. Hingga sampainya di depan pintu dia disambut oleh ayahnya yang baru saja masuk.

     "Adek? lagi apa?"

     "E-e-eh? Vallen mau main kerumah Danar, kata adiknya Danar mau main rumah-rumahan. Terus adek jadi membawa koper, tapi adek mau bawa koper sendiri." Vallen berbohong sembari berjalan menjauh.

     Rasa takut dipukuli oleh ayahnya masih teringat jelas dalam otaknya, rasa sakit ketika banyak penis yang menerobos analnya membuat Vallen melengkungkan bibir kebawah. Dia takut. Dia cemas. Ayahnya yang menonton bahkan menyebarkan video dia yang disodomi oleh sepuluh orang itu membuat kaki Vallen bergetar.

     Melihat perubahan ekspresi dan sikap tak biasa dari wajah putra bungsunya membuat Andrew menatap Vallen dengan dahi berkerut, tidak mengerti perubahan sikap mendadak putra bungsunya. Dia merasa ada sesuatu yang salah, namun tak sepenuhnya yakin apa yang menyebabkan Vallen bereaksi begitu cemas. Andrew mencoba mendekat, langkahnya hati-hati, seperti tengah mendekati binatang liar yang ketakutan.

     “Dek, Ayah nggak akan marah. Santai aja, ayo sini,” ucap Andrew dengan suara yang ia coba lembutkan.

     Namun, begitu Vallen melihat ayahnya bergerak mendekat, dia langsung mundur selangkah sembari memeluk pegangan koper yang dia bawa dengan erat. Ketika Andrew mencoba lagi untuk lebih dekat, Vallen tiba-tiba berteriak dengan suara melengking, “Ayah bau!”

     Andrew langsung berhenti di tempat. Dia memandang dirinya sendiri, lalu mencium-ciumi tubuhnya. “Bau?” gumamnya dengan bingung, wajahnya menunjukkan keheranan. “Masa, sih? Baru tadi Ayah mandi, kok,” pikirnya, mencoba mengingat kapan terakhir kali dia mencuci badan.

     Andrew hanya bisa menatap punggung Vallen yang semakin menjauh. Dia tidak berpikir terlalu jauh; benaknya malah terpaku pada satu hal: mungkin benar dirinya bau. “Apa tadi lupa pakai deodoran? Tapi biasanya juga enggak, orang aku gak bau badan.” bisik Andrew pada diri sendiri, melupakan sejenak reaksi Vallen yang tampak tidak biasa.

     Vallen terus melangkah dengan cepat, memanfaatkan kebingungan ayahnya untuk keluar dari rumah tanpa halangan lebih jauh. Dia tahu waktu terus berjalan, dan ia tidak yakin ingin kembali ke sana. Bagi Vallen, bau ayahnya bukanlah alasan yang sebenarnya, tapi lebih kepada semua trauma yang terpendam.

     Andrew hanya berdiri terpaku di depan pintu, menggaruk kepalanya yang tak gatal, sama sekali tidak menyadari betapa dalam luka yang dipendam oleh putra bungsunya itu. Di balik senyum hangat yang biasa ia tunjukkan, Vallen membawa beban berat yang bahkan Andrew tak pernah tahu.

Bungsu Keluarga Kaya || RegresiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang