Chapter 1 [Bab 1; love me]

324 53 8
                                    

Vallen melangkah cepat menuju gerbang, berharap bisa meninggalkan rumah tanpa ada yang menyadari. Saat dia keluar, dia melihat Mas Jono, sopir keluarga mereka, sedang duduk di bangku dekat garasi sambil merokok. Mas Jono langsung berdiri begitu melihat Vallen dengan koper di tangan.

Vallen menggigit bibirnya sejenak, berusaha menahan rasa gugupnya. "Mas Jono, adek mau main sampai malam. Bilang ke Ayah atau Ibu kalau Vallen mungkin nginep, oke?"

Mas Jono tersenyum, mengangguk tanpa banyak bertanya. "Siap, Den! Biar Mas Jono yang ngomong nanti. Mau ke rumah siapa, Den?"

Vallen menghela napas lega, senang bahwa Mas Jono tidak bertanya lebih lanjut. "Ke rumah temen aja, Mas. Nggak jauh kok," jawabnya sambil mencoba tersenyum.

Mas Jono menatap Vallen dengan penuh perhatian. "Ya sudah, hati-hati di jalan, ya, Den. Kalau ada apa-apa, kabarin Mas Jono."

Vallen mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Langkahnya cepat, dia meninggalkan halaman rumah, berusaha menepis rasa gelisah yang masih mengganjal di dadanya. Dia tahu bahwa Luca akan segera datang menjemputnya. Meninggalkan rumah ini bukan keputusan yang mudah, tapi Vallen tahu bahwa ini satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari masa lalu yang terus menghantuinya.

Sementara itu, Mas Jono memperhatikan Vallen yang semakin menjauh, dan tanpa disadari, rasa penasaran muncul dalam dirinya. Namun, ia memilih untuk tetap diam. Baginya, tugasnya hanyalah memastikan Vallen aman, meskipun ia tak tahu rahasia apa yang dibawa putra bungsu itu.

Vallen tidak ingin memiliki adik. Vallen tidak ingin rasa sayangnya terbagi. Vallen benci Alan.

"LUCA!" dari belokan Luca terlihat mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi lalu melambat disekitar Vallen.

"Luca, anterin Vallen ke tempat jual emas dulu ya? Vallen mau jual-jual." Vallen berucap sembari mendekati Luca yang hendak bersuara.

"Lo beneran? apa gw masih mimpi, ya?" Luca memandang Vallen bingung, "Vall, kalo gw bilang gw suka sama elu ... Reaksi elu bakal gimana?"

"Suka! Vallen juga suka Luca!"

"Kontol, bangun Lo Luca! Bangun! Mana mungkin si Vallen yang jahatnya kebangetan ngomong begitu!!" Batin Luca, "Oh ... Yaudah, ayo naik Luca anter."

Vallen mengangguk lalu menyimpan kopernya di depan, terselip diantara kaki Luca. Setelah dirasa cukup pas, Luca mulai melajukan motornya menjauh dari rumah besar yang diidam-idamkannya.

"Setidaknya kalo ini mimpi minimal gw harus nikah terus kawin sama ayank gw, kan? tapi kelamaan gak sih ... Apa langsung buka-buka terus ngep aja ya? Tapi ntar gw disangka Mokondo-modal kontol doang. Oh! Kita pindah rumah ke tempat impian ayank Alen terus-terus bikin kenangan indah, bulan madu dulu, nikah, kawin, terus-terus-" Luca berpikir random sembari tersenyum-senyum sendiri tanpa sadar Vallen duduk gelisah.

Jarak antara Luca dan Vallen berjauhan, Vallen tidak ingin menyentuh pria manapun lagi. Dia tidak mau. Takut. Vallen takut.

Setelah beberapa menit dalam keheningan, hanya suara deru motor yang terdengar, Vallen menatap jalanan di depannya dengan pikiran yang berkecamuk. Ia sudah terlalu jauh melangkah untuk bisa berbalik lagi. Rasa takut dan cemas menyelimuti dirinya, tapi ia harus tetap tenang-jangan sampai ketahuan seperti regresi keduanya.

"Vall, lo nggak apa-apa kan?" tanya Luca tiba-tiba, memecah keheningan.

Vallen tersentak, seolah terbangun dari lamunannya. "Hah? Iya, nggak apa-apa," jawabnya singkat, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.

Namun, Luca bisa merasakan ada sesuatu yang salah. "Lo yakin? Dari tadi diem aja, biasanya juga anying-anying goblok ke gue. Kalau ada yang gangguin pikiran lo, ngomong aja ke gue. Lo tau kan gue selalu ada buat lo?"

Vallen tersenyum tipis, meski hatinya terasa semakin berat. Luca memang selalu baik padanya, tapi ada hal-hal yang tak bisa ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk Luca. Terutama Luca. "Iya, gue tau. Makasih, Lu."

Motor mereka akhirnya berhenti di depan toko emas yang kecil dan agak terpencil. Luca mematikan mesin dan menatap Vallen, seolah memberi kesempatan terakhir untuk berubah pikiran.

"Lo yakin mau jual ini, Vall?" tanya Luca, sedikit ragu.

Vallen mengangguk tegas. "Gue butuh duit, Lu. Ini satu-satunya cara."

Tanpa berkata lagi, Vallen turun dari motor dan mengambil koper kecilnya. Ia melangkah masuk ke dalam toko, meninggalkan Luca yang masih duduk di atas motornya. Mata Luca terus mengikuti setiap langkah Vallen, berusaha memahami apa yang sedang terjadi di kepala sahabatnya itu.

Di dalam toko, Vallen membuka kopernya dengan tangan gemetar. Emas-emas yang ia bawa adalah satu-satunya peninggalan dari ibunya-ibu kandung yang Vallen sendiri tidak ketahui . Kenangan yang berharga, namun juga beban yang tak lagi bisa ia tanggung. Saat emas-emas itu diletakkan di atas meja kasir, Vallen merasa ada bagian dari dirinya yang hilang.

"Semua ini mau dijual, Mbak?" tanya penjaga toko, menatap barang-barang berharga di depannya.

Vallen diam sejenak, "Mbak lagi mbak lagi! Vallen tuh cowok!" Walau akhirnya dia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia bisa merasakan tatapan tajam dari penjaga toko itu, namun ia terlalu lelah untuk peduli.

Ketika transaksi selesai dan uangnya sudah di tangan, Vallen keluar dari toko dengan langkah berat. Luca masih di sana, menunggunya dengan wajah penuh pertanyaan. Tanpa bicara, Vallen menyerahkan sebagian uang kepada Luca.

"Ini buat lo, Lu. Buat semua bantuan lo selama ini," kata Vallen datar.

Luca menatap uang itu dengan bingung. "Vall, gue nggak butuh ini. Gue bantu lo bukan buat dibayar."

"Gue tau, tapi lo harus terima. Gue nggak bisa terus-terusan bergantung sama lo." Vallen menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Gue nggak bisa terus hidup kayak gini, Lu. Gue mau pergi jauh."

Kata-kata itu mengejutkan Luca. "Pergi? Maksud lo ke mana, Vall?"

"Ke mana pun yang jauh dari sini. Dari semuanya. Gue butuh mulai hidup baru."

Luca terdiam sejenak, lalu menatap Vallen dengan serius. "Lo pikir lo bisa kabur dari semuanya, Vall? Dari keluarga lo, dari rasa sakit lo, dari-"

"Gue harus nyoba, Lu," potong Vallen. "Gue nggak punya pilihan lain."

Keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Luca mengangguk pelan. "Kalau itu yang lo mau, gue bakal dukung lo."

Vallen merasa sedikit lega mendengar itu, "Alan sudah merebut milik Vallen, Alan harus merasakan apa yang Vallen rasakan! Bahkan jika harus menyerahkan semua yang Vallen miliki."

Bungsu Keluarga Kaya || RegresiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang