00.05

10 6 1
                                    

Di dalam ruang keluarga yang nyaman, Biru duduk di sofa bersebelahan dengan ayah dan ibunya.

Tangan ibunya, Bu Syintia, lembut mengelus punggungnya, sementara ayahnya, Pak Edward, sedang membaca beberapa dokumen di tangannya.

Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela memberikan suasana hangat, tetapi Biru merasakan perasaan yang sebaliknya, dingin dan canggung.

"Jadi, keputusan ini sudah final. Minggu depan, kita akan kembali ke ibu kota,” ujar Pak  Edward, meletakkan dokumennya dan menatap Langit dengan senyum hangatnya.

"Perusahaan Ayah akhirnya menyelesaikan proyek di sini, jadi kita bisa kembali ke rumah yang sebenarnya"

Biru mengangguk pelan, berusaha memproses informasi itu. Mereka sudah tinggal di kota kecil ini selama tiga tahun, dan kini, tiba-tiba, semuanya akan berubah lagi.

Ia mencoba tersenyum, tetapi perasaan ragu-ragu itu menempel kuat di hatinya. Kenapa rasanya seperti ada yang masih belum selesai di sini?

"Langit, kamu pasti akan menyukai kembali ke rumah kita di ibu kota. Semua teman lama menunggumu di sana, dan kamu bisa melanjutkan sekolah di tempat yang lebih besar, dan tentunya lebih maju" ucap sang ibu, sambil tersenyum lembut.

Biru memandang ibunya, lalu mengangguk lagi.

"Ya, Langit tahu, Ma" jawabnya, suaranya pelan dan terdengar datar.

Ia tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa kehidupan di ibu kota lebih menjanjikan, tetapi tetap saja, ada sesuatu yang membuatnya berat untuk pergi.

Bu Syintia melirik suaminya, seolah memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Langit.

Ia kemudian menggeser lebih dekat ke putranya. "Kamu baik-baik saja, Langit? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya lembut.

Biru terdiam sejenak, pandangannya tertuju ke lantai yang mengkilap di rumahnya.

Pikiran tentang sekolah, teman-teman barunya, dan yang terutama... Azeela, gadis periang itu tiba-tiba memenuhi pikirannya.

Perasaan yang selama ini ia abaikan mulai mencuat, namun tak jelas apa itu. Perasaan abu-abu yang tak pernah ia sadari sepenuhnya.

"Langit... baik-baik saja, Ma" jawab Biru akhirnya, memaksakan senyumnya kembali.

"Hanya saja... rasanya semua terjadi begitu cepat. Langit belum sempat benar-benar memikirkan semua ini" lanjutnya.

Pak Bimo menatap anak tunggalnya dengan penuh perhatian. "Langit, kalau kamu merasa ada sesuatu yang belum selesai di sini, kamu bisa bicarakan pada kami. Kami tidak ingin kamu merasa tertekan karena kepindahan ini"

Biru tersenyum kecil mendengar perhatian ayahnya, tetapi tak ada kata yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya dia rasakan.

Ada sesuatu tentang kota kecil ini, tentang sekolahnya, tentang seseorang di sana, tentang  gadis periang itu.

Setiap kali ia memikirkan meninggalkan tempat ini, hatinya terasa berat. Namun, ia tahu, kepindahan ini tak bisa dihindari.

"Langit tahu, Pa. Mungkin Langit  cuma butuh waktu sedikit lebih lama untuk menerima semuanya" ucap Langit pelan.

Sang ibu tersenyum sambil meremas lembut tangan putranya."Kita masih punya beberapa hari lagi di sini. Jika ada yang ingin kamu lakukan sebelum kita pergi, kamu punya waktu, nak"

Biru mengangguk sekali lagi, kali ini dengan sedikit lebih tenang.

"iya, Ma. Mungkin Langit butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal di sekolah... dan urusan dengan teman-teman langit"

Meskipun ia masih merasa ragu, ia tahu kepindahan ini adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Namun, sesuatu dalam dirinya memberitahukan bahwa dia harus menghadapi perasaan yang selama ini dia simpan, perasaan yang samar-samar tentang  seorang gadis yang selalu tampak bak bunga yang mekar di musim semi.

oOo

Ketika jam istirahat di halaman belakang sekolah, di bawah pohon rindang, Azeela dan Lalita duduk berdua, menikmati semilir angin yang lembut.

Azeela, seperti biasa, tertawa tanpa beban saat Lalita menceritakan kejadian lucu dari kelas. Tawa Azeela terdengar ceria, mengisi ruang di antara mereka dengan kebahagiaan yang menular.

Lalita memandangnya sejenak, merasa ada sesuatu yang istimewa dalam keceriaan Azeela.

"Kamu itu... kayak nggak pernah punya masalah ya Zeel" Lalita berkata sambil tersenyum tipis, matanya memperhatikan gerak-gerik sahabatnya yang selalu tampak penuh energi.

"Setiap hari, kamu selalu bikin aku merasa dunia ini tempat yang lebih baik" sambungnya.

Azeela tertawa kecil dan memandang Lalita dengan senyum penuh, seolah-olah kata-kata itu biasa saja baginya.

"Masalah? Hidup ini nggak perlu dipikirin terlalu berat, Lit. Selama kita bisa ketawa, segalanya pasti baik-baik aja," jawabnya, suaranya penuh canda

Lalita hanya bisa tersenyum, kagum dengan sikap Azeela. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sedikit iri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu ceria sepanjang waktu? Azeela tampak seperti cahaya yang tak pernah redup.

Bahkan di saat yang paling biasa, Azeela tetap mampu membawa kebahagiaan bagi semua orang di sekitarnya.

Saat mereka berdua terdiam, menikmati angin yang bertiup lembut, Azeela mengalihkan pandangannya ke langit biru yang luas.

Di balik senyumnya, ia menyimpan sebuah rahasia yang begitu rapat. Lalita tidak tahu, dan mungkin tak akan pernah tahu, bahwa di balik sinar ceria itu, Azeela telah belajar bagaimana menutupi setiap luka dan rasa sakit yang menghantui hatinya setiap malam.

"Apa yang kamu lihat di langit, Zeel?" tanya Lalita tiba-tiba, memecah keheningan.

Azeela tersenyum samar, matanya masih terpaku pada langit biru.

"Aku lihat kebebasan," jawabnya pelan. "Langit itu bebas... tidak terikat oleh apa pun. Seandainya aku bisa seperti itu"lanjutnya

Lalita memandang sahabatnya dengan rasa bingung, tidak sepenuhnya mengerti maksud dari kata-kata Azeela.

"Kamu selalu bisa memilih jalanmu, Zeel" katanya dengan lembut.

Azeela hanya mengangguk, senyumnya tidak hilang. Tapi di dalam dirinya, ada keinginan yang dalam untuk bebas dari segala beban yang disimpannya sendiri, beban yang tak pernah dibagikannya kepada siapa pun.

Lalita adalah seorang gadis yang anggun dan lembut. Dia terlahir dari keluarga yang kaya dan harmonis, Lalita selalu dikelilingi oleh cinta dan perhatian. Meskipun memiliki segala kemewahan, Lalita tetap rendah hati dan mudah bergaul. Meski berasal dari latar belakang yang sangat berbeda, Lalita selalu siap mendukung Azeela, meski tanpa tahu luka terdalam yang disembunyikan Azeela.


Langit Tanpa Biru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang