Biru menatap jendela ruang kelas barunya, pemandangan kota yang berbeda membentang di hadapannya.Sekolah barunya terasa begitu asing walaupun bangunannya besar, siswa-siswa baru dengan wajah yang tak dikenalnya, dan suara guru yang kini terasa samar di telinganya.
Akan tetapi, bukan suasana baru ini yang memenuhi pikirannya. Namun, Gadis pemilik senyum seindah bunga yang bermekaran di musim semi itu Azeela.
Nama itu terlintas lagi, dan hatinya sedikit berdenyut. Wajah ceria gadis itu kembali muncul di ingatannya, dengan senyum yang selalu berhasil mencerahkan suasana, dan tawa ringannya yang sering ia dengar di sela-sela obrolan saat kerja kelompok kala itu.
"Kenapa aku terus memikirkannya?" batinnya bertanya-tanya, mencoba mencari penjelasan.
Dia sudah pindah, memulai kehidupan baru di kota besar ini, meninggalkan semua yang dulu di belakang. Tapi mengapa bayangan Azeela tak mau pergi dari pikirannya?.
Di tengah pelajaran, Biru menyandarkan punggungnya pada kursi, pandangannya terarah ke papan tulis, tapi pikirannya melayang jauh. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa perasaan itu tidak mungkin nyata.
"Dia hanyalah teman sekelas tidak lebih... ya, hanya teman," gumamnya dalam hati, mencoba mengusir semua perasaan yang dia pun bingung apa itu.
"Azeela terlalu berbeda. Dia terlalu ceria, terlalu penuh dengan kebahagiaan. Sedangkan aku... aku bukan orang yang tepat untuknya. Lagipula, aku sudah pergi, semuanya sudah berakhir" benaknya
Namun, setiap kali ia mencoba mengelak, perasaan itu tetap muncul. Ada saat-saat di mana ia ingat betapa mudahnya Azeela membuat segalanya terasa lebih ringan. Tawa gadis itu selalu bisa memecah kekakuan dalam kelompok.
Dan Biru selalu berpura-pura cuek, meskipun jauh di dalam, ia seringkali menantikan detik-detik di mana mereka bisa berbicara, bahkan hanya untuk hal-hal sepele.
"Nggak... perasaanku Nggak mungkin mungkin untuk Azeela kan?" Biru kembali membujuk dirinya sendiri, menutup semua kemungkinan.
Tapi ada sesuatu dalam hatinya yang tak bisa ia bantah: sebuah ruang kosong yang terasa lebih besar sejak ia meninggalkan kota kecil itu, sejak ia meninggalkan gadis periang yang selalu tersenyum meski dikelilingi oleh bayangan kelam.
Biru mengepalkan tangannya pelan di bawah meja, mengabaikan debaran kecil yang tiba-tiba hadir di dadanya.
"Aku nggak mungkin... jatuh cinta sama dia"batinnya
Di kelas baru itu, meskipun terlihat fokus, Biru tenggelam dalam perang batinnya sendiri. Ia terus mengelak, meyakinkan dirinya bahwa meninggalkan Azeela adalah keputusan yang tepat, dan tidak ada alasan untuk menoleh ke belakang.
Namun, semakin ia berusaha lari, semakin jelas bahwa perasaan itu tak semudah itu untuk dihilangkan.
oOo
Tak terasa hari kelulusan tiba, suasana di aula sekolah penuh dengan kegembiraan, tapi tidak bagi Biru.
Meski senyum terpancar di wajah teman-temannya, hatinya terasa kosong. Langkah kakinya berat saat ia berjalan menuju panggung untuk menerima ijazahnya.
Kedua orang tuanya berjanji akan datang, tapi hingga namanya dipanggil, bangku kosong di depan aula masih tak terisi.
Saat kembali ke tempat duduknya, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Dengan sedikit harapan bahwa itu dari orang tuanya, Biru segera mengangkat telepon.
"Maaf, apakah ini dengan keluarga Tuan Edward dan Nyonya Syintia?" Suara di ujung telepon terdengar tegang.
"Iya, saya anaknya" jawab Biru, nadanya mulai gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tanpa Biru
Teen Fiction"Dunia, dalam riuhnya tawa dan canda, aku menyimpan cerita sunyi di balik senyumku. Setiap langkahku adalah puisi yang ditulis dalam derai air mata, berjuang melawan bayang-bayang kesepian yang menghantuiku. Di antara keterpurukan dan harapan, aku m...