00.08

11 3 1
                                    

Setelah kepergian sang ayah, Azeela tidak punya pilihan lain selain tinggal di rumah pamannya.

Rumah kontrakan yang selama ini ia tempati bersama ayahnya harus segera dikosongkan, dan tak ada tempat lain baginya.

Istri pamannya, seorang wanita yang dingin dan tak pernah bersimpati, sudah sejak awal ia menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Azeela.

Sore itu, saat Azeela pulang dari sekolah, ia memasuki rumah dengan langkah perlahan.

Tubuhnya terasa letih, bukan hanya karena hari yang panjang, tapi juga beban pikiran yang tak pernah pergi.

Ketika ia menuju dapur untuk mengambil air minum, ia mendapati bibinya sedang memasak. Azeela mencoba tersenyum, meski canggung.

"Bibi, ada yang bisa ku bantu?"Bibinya berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan sinis.

"Bantu? Kau pikir kau bisa bantu apa? Di sini kau cuma numpang, Azeela. Jangan berharap banyak."

Perkataan itu menusuk hati Azeela, tapi ia tetap diam. Ia tahu bibinya tidak suka padanya. Ia mengambil gelas dan hendak keluar dari dapur ketika bibinya menyentak.

"Jangan lupa cuci piring-piring itu. Kau pikir saya ini pelayanmu, hah?"
Ucapnya sarkas.

Azeela menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi kelopak matanya. Ia mengangguk patuh, meskipun tubuhnya terasa begitu berat.

"Iya, Bi."

Saat Azeela mulai mencuci piring, bibinya melangkah mendekat dan berkata dengan suara rendah namun tajam.

"Dengar, jangan coba-coba menyusahkan kami di sini. Hidup kami sudah cukup sulit sebelum kau datang. Kau tinggal di sini hanya karena kasihan dan belas kasih pamanmu, paham?"

Azeela hanya mengangguk tanpa bicara. Di dalam hatinya, ia merasa semakin kecil, semakin tersudut. Di rumah ini, ia hanyalah beban. Tak ada tempat untuknya, tak ada kehangatan yang pernah ia rasakan dari sosok seorang ibu dan ayah.

Dan untuk kesekian kalinya, ia harus menahan diri agar tidak menangis. Dunia terasa semakin sempit, seolah tak ada lagi ruang bagi dirinya untuk sekadar bernapas.

Namun di tengah caci maki itu, Azeela menatap keluar jendela, berharap. Di kejauhan, langit yang perlahan menggelap mengingatkannya pada sosok Langit Biru Samudra, satu-satunya hal yang masih bisa membuatnya merasa sedikit hangat di tengah dinginnya hidup yang kini ia jalani.

oOo

Pada suatu pagi yang cerah di hari minggu, Azeela sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan seadanya.

Pamannya, Pak Deon, duduk di seberang meja, membaca koran dengan kacamata bertengger di ujung hidungnya.

Mereka duduk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Sesekali, Azeela mencuri pandang ke arah pamannya, mencoba membaca perasaannya, tapi wajah pria itu selalu sulit ditebak.

"Paman... ada yang bisa aku bantu hari ini di toko?" tanya Azeela pelan, mencoba memecah keheningan.

Pak Darto menurunkan korannya dan menatap Azeela sebentar.

"Tidak usah, kamu fokus aja sekolah. Tugas kamu itu belajar, bukan ngurusin toko" balasnya

katanya dengan nada datar, tapi tidak terdengar kasar. Azeela mengangguk kecil. Ia selalu merasa terjebak di antara perasaan tak berguna dan ketidakberdayaan.

Di satu sisi, ia ingin membantu agar tidak terlalu membebani keluarga pamannya. Tapi di sisi lain, ia tahu Pamannya bisa sangat acuh, meski kadang terlihat peduli.

Hari itu, respons Pamannya tampak hangat, meski tanpa banyak emosi. Tapi itu cukup bagi Azeela untuk merasakan sedikit kebaikan.

Namun, di lain hari kal itu, suasana rumah terasa dingin. Paman Deon pulang dari toko lebih cepat dari biasanya.

Ia tampak lelah dan marah karena ada masalah di tokonya. Azeela sedang menyiapkan teh di dapur ketika ia mendengar pintu depan terbanting keras.

Tanpa berkata apa-apa, Pamannya melewati Azeela begitu saja, menuju ruang tamu. Raut wajahnya dingin dan tegang.

Azeela mencoba menyapanya dengan lembut "Paman, teh sudah siap, mau diminum sekarang?"

Pamannya hanya meliriknya sekilas. "Tidak usah" jawabnya singkat,

Sebelum kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri, seakan Azeela tak ada di sana.

Sikap seperti ini bukan pertama kali terjadi. Kadang, Pak Darto bisa menunjukkan perhatian kecil, seperti kemarin saat ia membelikan sepatu baru untuk Azeela tanpa diminta.

Tapi di lain waktu, ia bisa menjadi sangat acuh, seolah kehadiran Azeela hanyalah bayangan tak terlihat di rumah itu.

Azeela sendiri mulai terbiasa dengan ketidakpastian ini, mencoba membaca suasana hati pamannya setiap hari.

oOo

Azeela selalu merasa canggung ketika berhadapan dengan sepupunya, Darren, anak laki-laki pamannya yang berandalan.

Setiap kali Darren ada di rumah, suasana langsung terasa tegang.
Darren adalah sosok yang sulit dipahami, terkadang ia bersikap acuh, tak mempedulikan kehadiran Azeela, tapi di lain waktu ia menunjukkan sikap yang lebih kasar.

Hari itu, Darren pulang dengan langkah berat dan wajah penuh kemarahan setelah gagal dalam sebuah tawuran antar pelajar.

Azeela yang sedang duduk di ruang tamu langsung merasa ketakutan saat melihatnya masuk dengan wajah gelap.

"Ngapain lo di sini?!” Darren menatap Azeela dengan mata tajam, suaranya penuh kemarahan.

Azeela terdiam, bibirnya bergetar. "Aku cuma duduk, Kak…"

Darren mendengus, lalu melemparkan tasnya ke sofa dengan kasar.

"Ambil air buat gue. Lo di sini gak cuma buat makan tidur aja, kan?"

Azeela bangkit perlahan, menunduk, dan segera menuju dapur. Hatinya berdebar cepat. Ia tahu Darren bukan orang yang sabar, dan semakin marah jika keinginannya tidak segera dipenuhi.

Sementara ia menyiapkan air minum, suara langkah kaki Darren terdengar semakin mendekat. Saat Azeela kembali dengan segelas air, Darren meraih gelas itu dengan kasar.

"Lo pikir hidup lo gampang di sini? Jangan kira semua orang bakal ngeladenin lo kayak ratu" Ia menatap Azeela dengan pandangan penuh penghinaan.

"Lo itu cuma jadi beban ngerti?" Sarkas nya.

Kata-kata itu membuat hati Azeela hancur, meski ini bukan pertama kalinya ia mendengar cemoohan dari anak dan istri pamannya.

Ia tak membalas, hanya menunduk, menahan air mata yang sudah memenuhi kelopak matanya.

Setelah menyerahkan air itu, Azeela hendak kembali ke kamarnya. Namun, tiba-tiba Darren menarik tangannya.

"Jangan mikir lo bakal terus aman di sini. Kalau Bokap gue gak kasihan sama lo, udah lama lo gue usir!"

Suara Darren semakin rendah dan berbahaya, seolah ia menantang Azeela untuk membalas.

Azeela merasa lidahnya kelu. Hatinya kembali tertusuk rasa sakit, namun seperti biasa, ia hanya bisa menelan semuanya.

Darren melepaskan tangannya dengan kasar dan melangkah kamarnya, meninggalkan Azeela yang berdiri kaku di tempatnya berdiri.

Di satu sisi, Azeela merasa meskipun tidak selalu perhatian, pamannya kadang masih menunjukkan sikap peduli.

Tapi itu tak menghapuskan kenyataan bahwa rumah ini, hanyalah tempat yang penuh dengan ketidakpastian dan luka.

Setiap hari, ia harus menghadapi sikap kasar Darren, ketidakpedulian bibinya, dan ketidakpastian dari pamannya yang kadang bersikap baik, kadang juga bersikap acuh tak acuh.

Dalam hati, Azeela hanya bisa berharap, berharap ada secercah cahaya yang bisa membuatnya bertahan di tengah kegelapan ini.

Langit Tanpa Biru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang