15 - A Chance 🔞

286 20 4
                                    

A/N: Yay, more smut!!! 🌶🌶🌶
Because angry sex is the best kind of sex 😈

-

"Aku baru tahu ada bar yang memutar lagu-lagu Taylor Swift," komentar Camille, setengah geli setengah takjub. Dia dan Shanks tengah duduk bersebelahan di depan konter bar tempat Shanks mengajaknya makan malam. Sekeranjang sayap ayam saus Cajun dan beberapa botol bir tersebar di antara mereka.

 Sekeranjang sayap ayam saus Cajun dan beberapa botol bir tersebar di antara mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sudah kubilang kan? Musiknya oke." Shanks menyeringai.

"Tunggu. Kau ini Swiftie?"

"Tentu saja. Hanya pria sejati yang berani menjadi seorang Swiftie," Shanks mengedipkan mata sebelum menenggak botol birnya.

Camille tergelak. Dia menyeruput birnya sendiri. Setelah berbulan-bulan di Prancis dan hanya mengonsumsi wine regional, dia lumayan kangen pada rasa recehan bir Amerika yang menurutnya punya daya tarik tersendiri.

"Kau tahu, Cat?" Shanks menaruh botol birnya. "Aku tidak tahu kata lain yang lebih tepat menggambarkan maksudku, tapi kau begitu... anggun."

Camille mengerling. "Apakah rayuan picisan seperti itu biasanya berhasil?" godanya.

"Ini bukan rayuan. Aku serius!" Shanks berpura-pura tersinggung. "Maksudku, lihat dirimu. Caramu duduk, berbicara, makan, minum bir. Kita sedang berada di bar murah di kota kecil entah-di-mana, mengemil sayap ayam yang berminyak, tapi kau tetap membuatnya seperti kita tengah makan di restoran tiga bintang Michelin."

Camille tertawa lagi. "Oke, aku belum pernah mendengar orang menyebutku begitu sebelumnya. It's kinda nice."

"Apakah itu artinya aku berhasil meluluhkan hatimu?" Shanks memiringkan wajahnya. Lesung pipitnya menyerang lagi.

"Tidak secepat itu," Camille tersenyum samar sambil meletakkan botolnya di atas konter.

"Cat, aku memang suka tantangan, tapi kau tidak bisa menyalahkanku kalau aku bertanya: mengapa?"

Camille terdiam.

"Kau single, kan?" Shanks bertanya lagi, rasa penasaran kentara di matanya.

"Secara teknis ya, tapi—"

"Secara teknis? Kalau secara realita?"

Ibu jari Camille menggosok-gosok bibir botolnya. Bagaimana caranya dia menjelaskan pada Shanks bahwa dia hanya bisa memandang pria itu sebagai teman baik? Dia memang tampan, karismatik, dan senyumnya bisa membuat lutut lemas bagai agar-agar. Tapi setiap kali Camille bersamanya, tidak pernah ada percikan khusus yang membuatnya menginginkan lebih.

Sedangkan setiap kali dia bersama Reaper....

Bahkan helaan napas lelaki itu bisa membangkitkan sesuatu jauh di dalam diri Camille. Bukan semata sesuatu yang primal atau sebatas fisik, melainkan bagaimana lelaki itu adalah hal pertama yang Camille ingat setelah membuka mata setiap pagi dan sebelum lelap membawanya setiap malam. Dan sialnya, hal itu tidak pernah berubah, bahkan setelah entah berapa ratus malam setelah mereka berpisah. Bahkan setelah Reaper menghindarinya tadi siang.

That Burns WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang