Part 30 - Stress dan Kelelahan

1.1K 73 0
                                    

"Cepat panggil dokter kemari." Perintah Shaka dalam perjalanannya menuju kamar karena ia tak mendengar Naraga melakukan tindakan apapun ataupun memberikan instruksi apapun.

"Rumah sakit terdekat berjarak empat puluh lima menit dari sini, Tuan. Dan mereka juga bukan dokter pribadi Anda yang bisa Anda panggil kapanpun Anda mau. Kalau Anda mau memeriksanya, kita yang harus membawanya pergi kesana." Ucap Naraga dengan nada datarnya.

"Kalau begitu kita pergi sekarang." Ucap Shaka hendak membalikkan tubuhnya menuju pintu namun dihalau oleh Naraga.

"Kita tetap harus mengantri dan itu akan memakan waktu yang lama."

"Kalau begitu apa yang akan kau lakukan? Bukankah kau mengatakan kau perlu memeriksanya untuk tahu alasan kenapa dia pingsan?" Tanya Shaka dengan nada ketusnya.

"Sebenarnya saya tidak memerlukan dokter untuk tahu apa penyebab dia pingsan. Tapi kalau Anda tetap ingin dia diperiksa, saya sudah memerintahkan Risman untuk memanggil seorang mantri kemari sebelum memerintahkannya membawa Ratih ke kamar." Jawab Naraga lagi masih dengan nada datarnya. Pria itu jelas terlihat lebih tenang jika dibandingkan dengan Shaka yang tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.

"Mantri?" Tanya Shaka dengan alis berkerut.

"Ya, Mantri. Kalau Anda tidak tahu Mantri, mereka adalah..."

"Aku tahu apa itu mantri." Bentak Shaka memotong ucapan Naraga. Ia jelas sangat kesal pada Naraga tapi ia lebih kesal pada dirinya sendiri karena alih-alih membawakan Ratih seorang dokter senior atau dokter spesialis, ia hanya bisa memanggil seorang mantri.

"Percayalah, seorang mantri apalagi mantri senior biasanya lebih berpengalaman dan lebih hebat dalam memberikan vonis untuk pasien." Naraga menenangkan.

Shaka tidak berkomentar. Dia masuk ke dalam kamarnya dan membaringkan tubuh Ratih di atas tempat tidur dengan perlahan.

Ya, butuh waktu cukup lama baginya untuk mencapai kamar tidur karena ia harus lebih berhati-hati dengan langkahnya karena tidak mau membuat Ratih terjatuh.

Tangannya meraba dan berhasil menyentuh dahi Ratih yang terasa panas dan berkeringat.

"Dia demam." Gumam Shaka pada Naraga yang ia tahu berdiri di belakangnya.

"Dan pucat. Ya, saya bisa melihatnya." Ucap Naraga terkesan menyindir saat menyebut kata 'melihat'. "Sepanjang pagi ini dia sudah telihat tidak sehat." Ucap Naraga memberitahukan. Dan dia juga tidak melepas kardigannya padahal dia sudah mengenakan seragam lengan panjang di dalamnya." Lanjut Naraga menginformasikan tanpa Shaka bertanya. "Lasma mengatakan kalau tadi dia meminum jamu untuk masuk angin. Dia juga muntah belum lama. Jadi mungkin saja dia memang masuk angin. Karena tidak mungkin dia hamil dalam waktu sesingkat ini, iya kan?" Naraga balik bertanya dengan nada skeptis yang membuat Shaka mengernyit.

"Kenapa mantri itu lama sekali? Apa orangmu menjemputnya ke luar kota?" Sindir Shaka ketus yang membuat Naraga memutar bola matanya tanpa bisa Shaka lihat.

"Anda tahu jalanan disini tidak sebaik jalanan di kota. Dan lagi perlu waktu untuk menjemput Pak Mantri. Bisa jadi saat ini beliau juga sedang merawat seorang pasien. Ingatlah, disini kita juga hanya tamu, jadi Anda tidak bisa berharap untuk terus di prioritaskan. Uang Anda tidak sepenuhnya berpengaruh disini." Naraga mengingatkan dan Shaka semakin kesal karenanya.

Hampir sepuluh menit berlalu sejak Ratih dibaringkan, Risman akhirnya datang bersama dengan seorang pria bertubuh tinggi tegap berusia sekitar awal tiga puluhan. Pria itu menenteng ransel hitam berukuran cukup besar di bahunya.

"Mantri Haris sudah datang." Ucap Risman memberitahukan.

Shaka berdiri, melirik ke arah dimana pintu masuknya berada dan dia mendengar langkah kaki yang cukup berat mendekatinya.

"Nona ini pasiennya?" Tanya suara asing itu entah pada siapa.

"Iya. Dia tadi pingsan di halaman belakang. Kami pikir dia terkena gigitan ular karena Nona kami meneriakkan kata ular saat kami datang. Tapi saat kami lihat, itu ular pelangi dan di kaki gadis ini juga tidak tampak tanda-tanda gigitan." Naraga menjelaskan. "Saya menduga dia masuk angin dan kelelahan." Lanjut Naraga mengucapkan vonisnya sendiri.

Mantri Haris menganggukkan kepala dan mendekati tempat tidur. "Saya akan memeriksanya. Permisi." Ucap pria itu mengusir Shaka dengan halus.

Shaka mengernyit tak suka se tak suka ia pada dirinya sendiri karena tidak bisa melihat secara langsung seperti apa rupa mantri itu untuk memastikan apakah pria itu bisa dipercaya atau tidak. Namun karena tidak mau memperlambat pemeriksaan, ia terpaksa mengambil satu langkah mundur. Satu langkah saja karena ia tidak mau membuat jarak yang terlalu jauh.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Shaka merasa kesal dengan keheningan yang terjadi di sekitarnya.

"Dia masuk angin, iya. Kelelahan juga iya. Tapi Nona ini juga sepertinya mengalami stress." Ucap pria itu dan Shaka mendengar suara resleting yang bergerak. "Saya berikan obat penurun panas sekaligus vitamin. Dan untuk sementara mungkin Anda bisa membiarkan nona ini beristirahat selama dua atau tiga hari. Makan teratur, minum yang cukup dan kalau bisa jangan buat dia merasa stress berlebihan."

"Apa dia tidak perlu diinfus?" Tanya Shaka khawatir.

"Saya rasa tidak perlu. Nona tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi. Tapi kalau Anda ingin saya memberikan infus vitamin, saya bisa memberikannya."

"Saya rasa tidak perlu." Naraga menjawab mewakili Shaka. Shaka melirik kepala pelayannya itu dengan ekspresi tak suka. "Kami akan membiarkannya beristirahat dan berusaha untuk membuatnya tidak stress." Ucap Naraga dan Shaka mendengar pria itu melangkah menjauh.

Apa Naraga membawa mantri itu pergi sebelum Shaka benar-benar puas bertanya dan sebelum Shaka mengijinkannya?

Namun Shaka tak banyak bicara. Dia memilih duduk di tepi tempat tidur dan kembali menyentuh dahi gadis itu.

"Apa kak Ratih baik-baik saja?" Pertanyaan bernada cemas itu muncul dari Shanaya yang memang tadi Shaka larang untuk masuk ke dalam kamar karena tidak mau membuat gadis kecil itu khawatir dan ketakutan.

"Ya. Dia baik-baik saja." Ucap Shaka. Ia mengulurkan tangan, meminta Shanaya untuk mendekat ke arahnya. "Apa yang kamu lihat dari Ratih?" Shaka bertanya saat putrinya sudah duduk di pangkuannya.

"Kak Ratih tidur. Tapi wajahnya merah. Keringatnya juga banyak." Jawab Shanaya dengan polosnya. "Dokter bilang kak Ratih sakit apa, Papa? Apa kak Ratih akan dibawa ke rumah sakit?" Tanyanya khawatir.

"Tidak. Ratih tidak akan dibawa kemana-mana. Dia hanya perlu tidur saja." Jawab Shaka datar. "Lebih baik kita pergi. Bukankah sebentar lagi makan siang? Kamu gak lapar, Sayang?" Shaka berdiri dan menggenggam tangan Shanaya dan membimbingnya keluar kamar.

"Tapi bagaimana kak Ratih? Apa dia sendirian disini? Kita gak akan bangunin dia buat makan sama kita?" Tanyanya cemas dengan langkah yang teramat pendek dan Shaka rasa berat.

"Dia akan makan setelah bangun nanti. Sekarang ini biarkan saja dia tidur." Ucap Shaka memberitahu putrinya. Shanaya tak memberontak, dia mengikuti Shaka dengan pasrah. Terasa dari langkah kakinya yang tak sependek dan seberat tadi.

___________________________

Jangan lupa komen dan ⭐ nya ya

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang