3

163 15 1
                                    

Lagi-lagi keheningan menyapa mereka. Julian nyaris saja mengira bahwa dirinya sedang dilamar akibat ucapan Roman yang sangat dramatis, tetapi berhasil menyentuh hati.

"Aku sangat berharap bisa menjadi kekasihmu, Julie, perasaanku tidak bisa lagi disembunyikan," tambah Roman, suaranya terdengar lebih lembut. "Namun, jika kau merasa tidak nyaman dan ingin kita hanya berteman, aku akan menerimanya tanpa mengurangi rasa kagumku padamu."

Julian terhenyak, dengan cepat ia menyangkal, "Tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Hanya saja... kenapa kau bisa seyakin ini, padahal kita baru bertemu tiga minggu yang lalu?"

"Hebat, ya? Hanya dalam tiga minggu, kau berhasil membuatmu menjadi pria paling bahagia di jagat raya, Julie. Aku mengingat namamu setiap saat, dan aku mulai berpikir bahwa sepertinya kau adalah orang yang selama ini kudambakan."

Senyuman hangat terpatri di bibir Julian saat mendengar Roman berbicara dengan penuh keyakinan dan nyaris tak ada muslihat dalam tatapannya. Tidak heran jika orang berjiwa kesepian seperti Julian akan sangat menyukai pria ini.

"Ya, Roman, aku menerimamu," bisik Julian pada akhirnya, sebagai jawaban atas pernyataan panjang lebar yang diberikan oleh Roman.

"Terima kasih banyak." Roman tampak gembira selama beberapa saat, hingga kemudian ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Ibu jarinya terus mengusap punggung tangan Julian sementara ia lanjut berkata, "Namun, aku punya kekhawatiran."

"Apa?"

Roman melepaskan genggaman tangan mereka dan beralih meminum habis sampanye-nya. Dengan sedikit menunduk, dia mulai berbicara, "Ibuku marah saat tahu kalau aku adalah biseksual, dan... meski dia sudah memberiku kebebasan untuk menentukan jalan hidup, aku yakin dia tidak pernah menerima kenyataan itu sampai sekarang. Jadi, aku minta maaf karena belum bisa memperkenalkanmu pada orang tuaku untuk sekarang ini, Julie. Aku mencintaimu, sungguh, aku tidak ingin kau kecewa dan terluka."

Tatapan mereka kembali bertemu. Julian bisa melihat ketakutan dalam mata Roman yang terasa familiar bagi dirinya sendiri-takut akan penolakan.

Julian tersenyum lembut sambil mengelus paha Roman. "Tidak masalah, kita bisa menjalani hubungan ini secara diam-diam, tidak perlu terburu-buru. Oh, ya, memangnya ibumu tinggal di sini?"

"Di New Jersey, bersama ayah tiriku, tetapi aku sudah menganggapnya seperti ayah kandungku sendiri," ucap Roman seraya terkekeh-kekeh ringan, tetapi wajahnya menunjukkan kesedihan mendalam "Aku bahkan lupa bagaimana rupa ayah kandungku itu, kami sudah sangat lama berpisah."

"Oh, Roman, aku turut prihatin. Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Julian dengan hati-hati.

"Ceritanya lumayan panjang, kau bersedia mendengarkan?"

Lelaki di sampingnya lantas menyahut, "Tentu saja, kita punya banyak waktu."

Sebelum bercerita, Roman sempat terdiam selama beberapa saat, seolah-olah menyelam ke dalam ingatan yang sudah lama terkubur. "Aku lahir dalam keluarga yang cukup dihormati, ibuku bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dan ayahku adalah seorang agen KGB yang hebat pada era Soviet-sebelum runtuh dan dipindahkan ke SVR."

Julian nyaris saja tersedak ludahnya sendiri akibat terkejut, tetapi ia terus membiarkan Roman bercerita tanpa menyela.

"Waktu kecil, aku tidak tahu apa profesi ayah. Dia orang yang sibuk, jarang berada di rumah dan selalu pergi entah ke mana untuk urusan negara, setidaknya itulah yang dikatakan ibuku. Dia adalah patriot dan sangat disegani oleh orang-orang sekitar. Aku pun merasa bangga karena memiliki ayah yang menjadi bagian dari sebuah negara besar." Roman kembali termenung, helaan napasnya terdengar lebih berat sekarang. "Di tahun 2005, aku masih berumur 13 tahun saat sekelompok pria berseragam datang ke rumah kami dan menangkap ayah. Ibu hanya bisa memelukmu tanpa menjelaskan apa pun. Kejadiannya begitu cepat."

Suasananya terasa semakin menegangkan setelah Roman berkata demikian. Julian yang dihantui rasa penasaran pun akhirnya menyela, "Kenapa?"

"Identitas ayahku terbongkar. Ternyata dia adalah agen ganda yang bekerja untuk Amerika selama bertahun-tahun. Ibu langsung membawaku pindah ke sini segera setelah ayah ditangkap, katanya untuk mencari perlindungan yang sudah dijanjikan. Kami akhirnya pergi meninggalkan segalanya."

Julian sedikit ternganga mendengar penuturan Roman. Dia lantas menggenggam tangan pria itu dengan erat, menyalurkan kasih sayang dan empati atas peristiwa traumatis yang menimpa keluarganya.

"Saat itu, aku hanya anak kecil yang kebingungan dan dilarang untuk mengetahui apa pun. Baru setelah aku berumur 20 tahun, ibu akhirnya mengakui kalau ayah adalah pengkhianat, dan sudah dieksekusi, tepat setelah kami menginjakkan kaki di Amerika. Aku seperti dipaksa menelan pil pahit, dan rasa pahitnya belum hilang sampai sekarang," ungkap Roman, suaranya sedikit bergetar. Dia tampak ingin berbicara lagi, tetapi seolah-olah ada sesuatu yang menahannya sehingga ia hanya menghembuskan napas berat, lalu mengangkat bahu sambil tersenyum hambar.

"Kau pasti sangat terguncang. Aku tidak bisa membenarkan perbuatan ayahmu, tetapi dia mungkin punya alasan yang kuat hingga membuatnya rela mempertaruhkan nyawa dan menjadi agen ganda. Kita hanya tidak tahu." Julian menyandarkan kepalanya pada bahu Roman dan mendekap lengan kekar sang kekasih. "Terima kasih sudah bercerita, Roman," gumamnya.

Roman mengusap rambut Julian dengan penuh cinta. "Ya, terima kasih juga karena sudah mendengarkan, rasanya sangat lega. Aku tidak pernah menceritakan rahasia ini kepada siapa pun, hanya dirimu, kuharap kau juga bisa menjaganya."

"Tentu."

Pantas saja Julian tidak bisa menemukan apa pun terkait masa lalu Roman sebelum dia mendapat kewarganegaraan Amerika Serikat, informasinya pasti di simpan dalam arsip tingkat tinggi yang akan dianggap sebagai pelanggaran besar jika Julian berani mengaksesnya.

Kemudian Roman beralih mengambil sebuah stroberi untuk ia makan dan satu buah lagi untuk disuapkan langsung ke mulut Julian. Mereka saling menatap selama mengunyah stroberi itu, hingga akhirnya Roman mengambil langkah pertama—mengecup bibir merah muda milik Julian yang terasa sangat manis.

Ya Tuhan. Sudah sangat lama Julian tidak mengalami kegembiraan semacam ini. Pipinya merona merah ketika Roman memeluk pinggang dan memagut bibirnya sekali lagi. Julian mengalungkan tangannya pada leher Roman tanpa banyak bicara, membiarkan dirinya terhanyut dalam dominasi pria itu karena dia benar-benar rindu rasanya dicintai, diberi perhatian dan sentuhan.

Bibir mereka bertaut dengan perlahan, menyalurkan kehangatan serta rasa manis sampanye dan stroberi yang sempat dinikmati. Suara kecipak samar lantas meramaikan keheningan di apartemen ini, sesekali juga diwarnai tawa ringan dari kedua pria yang asik mengekspresikan rasa cinta mereka.

Setelah puas, Julian menarik kepalanya untuk bertanya, "Kau pernah melakukan hubungan seks dengan laki-laki sebelumnya, Roman?"

Sosok yang ditanya merasa kikuk. "Aku punya pemahaman yang cukup baik walaupun belum pernah mempraktikkannya," katanya, terdengar meyakinkan.

"Benarkah?" Julian terkekeh-kekeh sambil mengelus rambut sang kekasih. "Aku bisa membimbingmu, kau ingin mencobanya? Tapi jangan sekarang, karena tidak ada kondom di sini. Kusarankan kau membelinya lain kali."

Roman tersenyum malu-malu, kemudian mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan sangat menantikannya."

Mereka menyudahi kemesraan tersebut dan kembali bersandar pada sofa, ekspresi gembira tak pernah luput dari wajah mereka yang masih berusaha menenangkan debaran di dada. Roman berpaling melirik jam tangannya yang sudah menunjuk angka 10, dan Julian tiba-tiba bertanya sebelum Roman sempat mengatakan apa pun.

"Kau akan pulang?"

"Ya, sayang sekali. Namun, kita punya kencan besok, aku akan datang lagi ke sini untuk menjemputmu, jam 11."

"Baiklah."

Roman berdiri, disusul oleh Julian yang ikut mengantarnya sampai ke depan pintu. Mereka saling melambaikan tangan dan tersenyum lebar, Julian tetap berdiri sambil memeluk daun pintu hingga sosok Roman benar-benar menghilang dari pandangannya.

Julian tidak ingin berpisah dengan lelaki itu sedetik pun, tetapi ketika mereka bersama, dia justru sangat gugup dan rasanya ingin melarikan diri saja!

***

The Greatest | SungJakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang