2

152 20 2
                                    

Pertemuan tak terduga dengan Hugo membuat Julian tidak betah dan ingin cepat-cepat pergi dari Maryland. Padahal sudah dijadwalkan terbang ke New York besok, Minggu sore, tetapi Julian memutuskan untuk pulang malam ini memakai kereta cepat dari Baltimore dan tiba di New York pada jam 9 lewat 15 menit.

Dia berjalan keluar dari Stasiun Penn dengan sebuah ransel besar yang tersampir di bahu kirinya. Udara dingin dan hiruk pikuk Kota New York langsung menyambut Julian, gedung-gedung tinggi yang ia lihat ketika menengadah membuatnya merasa kecil dan tak punya pengaruh apa-apa terhadap kehidupan di sekelilingnya.

Lelaki itu berdiri di trotoar pinggir jalan dan mengeratkan jaket kulitnya. Dia kemudian menatap sebuah cincin di tangan kirinya sambil tersenyum jahil. Jangankan tunangan, pacar saja tidak punya. Cincin itu ia dapatkan dari saudara perempuannya, dan merupakan cincin peninggalan mendiang ibu mereka. Tak hanya mampu mengatasi kerinduan, cincin tersebut ternyata lebih berguna daripada yang Julian kira.

Atensi Julian teralihkan oleh suara klakson mobil sedan hitam yang kini berhenti tepat di depannya. Ketika kaca mobil itu turun, Julian lantas merunduk untuk memastikan bahwa pengemudinya adalah orang yang ia kenali.

"Apakah aku membuatmu menunggu?"

Senyuman kecil terlukis di bibir Julian, dia menyahut, "Tidak, kau tepat waktu."

Julian akhirnya masuk ke dalam mobil dan menyimpan tasnya di kursi belakang, sementara pria di sampingnya terus memandang dengan penuh perhatian. Julian membalas tatapan itu, hanya sesaat, tetapi sukses membuat hatinya berdebar kencang, bahkan sampai mual saking gugupnya.

Meski penampilannya sederhana—memakai kemeja lengan panjang dan celana serba hitam, Roman Morozov tetap terlihat menawan di mata Julian. Wajahnya tegas dan sikapnya elegan, sangat mencerminkan karakter pria berdarah Eropa yang masih mengakui negara asalnya dengan bangga meski sudah lama tinggal di Amerika.

"Terima kasih sudah menjemputku."

Roman tersenyum tipis. "Dengan senang hati. Memangnya kau habis dari mana?" Dia bertanya seraya melajukan mobil sedannya di jalanan Midtown Manhattan yang tidak pernah sepi.

Ada sedikit jeda sebelum akhirnya Julian menjawab dengan santai, "Mengunjungi keluargaku di Pennsylvania, aku sangat merindukan mereka."

"Ah, begitu. Kau berasal dari sana?"

"Ya! Aku belum pernah cerita, ya? Ayah dan kakakku ada di sana, sementara aku memilih bekerja di kota besar," ungkap Julian yang dibalas anggukan kecil dan senyuman lebar.

Hanya Roman yang mampu membuat Julian merasa bersalah atas kebohongan yang ia ucapkan. Kini Julian tenggelam dalam pikirannya, bimbang memilih antara kepentingan pribadi atau loyalitas kepada negara. Dia sangat mengidamkan hubungan yang bebas dan sehat tanpa ada unsur kebohongan di dalamnya, tetapi protokol keamanan dan kerahasiaan yang harus selalu dijaga ini terasa mencekik tiap kali dia ingin memulai hubungan tersebut.

Meskipun Julian yakin kalau Roman bukanlah mata-mata asing, dia tetap tidak berani mengambil risiko dengan membuka terlalu banyak informasi.

"Roman, kau ingin mampir sebentar ke apartemenku? Kurasa kita bisa minum-minum sedikit sambil mengobrol." Julian tersenyum manis saat mengatakan tawaran itu.

Tentu saja Julian tidak ingin mengabaikan Roman setelah pria itu rela menjemputnya malam-malam begini. Sore tadi, Roman sempat mengajaknya makan malam, tetapi Julian menolak karena sedang berada di luar kota dan baru akan pulang malam ini, akhirnya Roman menawarkan jemputan yang diterima dengan senang hati oleh Julian.

"Bolehkah?" tanya Roman, suara rendahnya terdengar sangat sopan. "Tapi kau pasti lelah dan ingin segera tidur, Julie."

"Tidak apa-apa, aku lebih ingin menghabiskan waktu bersamamu, kok."

The Greatest | SungJakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang