𝐁𝐚𝐛 𝟐 ( 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧 )

25 8 0
                                    

𝐇𝐚𝐢 𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧² 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐚𝐧𝐢𝐞𝐳𝐳 😁
𝐀𝐥𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚
𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐲𝐚𝐡 𝐚𝐠𝐚𝐫 𝐀𝐮𝐭𝐡𝐨𝐫 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐛𝐢𝐤𝐢𝐧 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚𝐧𝐲𝐚.😁🤍

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐠𝐮𝐲𝐬 🥳👍🏻



Di suatu sore yang tenang, suasana pondok pesantren tampak biasa saja. Santri-santri sibuk dengan kegiatan mereka, sementara Zahra duduk di teras kamarnya, menikmati angin sejuk yang berhembus lembut. Tak ada yang istimewa hari itu, atau setidaknya begitulah yang ia pikirkan.

Namun, sebuah panggilan mendadak dari sang Abi mengguncang ketenangan itu. "Zahra, ada sesuatu yang ingin Abi bicarakan," kata Abi nya dengan nada yang serius, membuat perasaan Zahra mulai tak tenang.

Di ruang tamu, Zahra melihat wajah Abinya yang terlihat tegang, dan di sampingnya, Umi duduk diam, tampak menghindari tatapan putrinya. Sesuatu terasa salah.

"Zahra, Abi tahu ini mendadak, tapi Abi dan Umi sudah memikirkan ini baik-baik," Abi memulai dengan hati-hati. "Kamu tahu kan, Abi punya teman lama, namanya abi fajar kan?"

Zahra kembali bertanya apakah abi fajar pemilik pondok pesantren terkenal (Nurul fajar al-mutafaqqih) ??? Tanya zahra memastikan

" iya nak,Beliau punya anak laki-laki... Gus Ryan. Mereka sudah lama ingin mengenalkan kamu dengan dia, dan... mereka mengusulkan sebuah perjodohan."

Perjodohan. Kata itu menghantam Zahra seperti petir di siang bolong. Segala kehangatan dari sore yang tenang tadi mendadak hilang, digantikan rasa dingin yang merayap ke seluruh tubuhnya. Ia memandang Abinya dengan kaget, mulutnya terbuka tanpa kata.

"Perjodohan? Abi, Umi... kenapa?" suaranya bergetar, tak percaya bahwa hidupnya bisa berubah drastis hanya dalam satu percakapan singkat.

Abinya menarik napas panjang, tampak ragu. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Gus Ryan anak yang baik, dan keluarganya sangat dekat dengan kita. Ini kesempatan yang baik."

Tetapi bagi Zahra, ini bukan soal kesempatan. Ini adalah tentang kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. "Aku bahkan tidak mengenal Gus Ryan," bisiknya. "Kenapa aku harus menikah dengan seseorang yang belum pernah aku temui?"

Umi akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun berat dengan perasaan. "Kami paham ini sulit, nak. Tapi kadang, hidup tidak selalu memberi kita pilihan."

Zahra terdiam, menatap kosong ke lantai. Air matanya mulai menggenang, namun dia berusaha menahannya. Tidak, dia tidak bisa menangis sekarang. Ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Perasaan kecewa dan sedih bercampur aduk di dalam dadanya, membuatnya sulit bernapas. Bagaimana bisa mereka memutuskan sesuatu yang sebesar ini tanpa bertanya lebih dulu?

Hari-hari Zahra di pondok pesantren selalu penuh kedamaian, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia luar. Di tempat ini, dia menemukan ketenangan, belajar, dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun kini, ketenangan itu hancur dalam sekejap oleh berita yang tak pernah ia duga. Bagaimana mungkin hidupnya yang terencana dengan rapi kini diarahkan ke jalur yang sama sekali tak pernah ia bayangkan?

Zahra merasa terjebak. Ia ingin menolak, ingin berteriak bahwa ini semua tidak adil, tapi di sisi lain, ia juga tahu betapa kuatnya ikatan antara keluarganya dan keluarga kyai fajar itu. Gus Ryan, anak dari teman baik Abinya, seseorang yang seharusnya menjadi suaminya. Tapi bagaimana bisa Zahra menerima hal ini?

Setelah percakapan singkat itu, Zahra kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Pikirannya kacau. Sepanjang malam, ia tak bisa tidur. Ia membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah. Apakah dia harus menyerah pada harapan keluarga? Apakah perasaannya akan selamanya terabaikan?

Keesokan harinya, Gus Ryan datang ke pondok. Zahra tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja, hatinya tak siap. Ketika ia melihat Ryan untuk pertama kali, dia terkejut. Pria itu tampak tegas, namun wajahnya juga menyimpan keheningan yang dalam. Mereka bertemu di ruang tamu pondok, di hadapan keluarga besar.

Ryan duduk dengan tenang, tetapi Zahra bisa merasakan bahwa pria itu juga merasakan beban yang sama. Dia tidak terlihat senang dengan situasi ini, tapi juga tidak protes. Mungkin, seperti dirinya, Ryan juga merasa terjebak.

"Ning Zahra," Ryan memulai, suaranya dalam dan tenang. "Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Aku tidak datang ke sini untuk memaksakan apapun. Aku hanya ingin kita bisa saling mengenal lebih dulu, sebelum mengambil langkah selanjutnya."

Zahra menatapnya dengan tatapan kosong. Bagaimana mungkin dia bisa mengenal seseorang dalam situasi seperti ini? Namun, ada sesuatu dalam nada suara gus Ryan yang membuat Zahra ragu-ragu. pria ini tidak seburuk yang ia bayangkan.

Namun, rasa kecewa tetap mendominasi. Dia masih merasa hidupnya diambil alih, tanpa ada yang bertanya apa yang sebenarnya dia inginkan. Ryan mungkin berkata dengan tenang dan sopan, tapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa Zahra merasa terjebak.

Di akhir pertemuan, setelah semua formalitas selesai, Zahra kembali ke kamarnya. Di luar, langit mulai gelap, seolah mencerminkan perasaan Zahra yang kelabu. Dia tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, Gus Ryan tampaknya bukan pria yang buruk, tetapi di sisi lain, ia tidak pernah menginginkan semua ini.

𝑷𝒆𝒓𝒋𝒐𝒅𝒐𝒉𝒂𝒏 𝑮𝒖𝒔 & 𝑵𝒊𝒏𝒈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang