𝐁𝐚𝐛 𝟑 ( 𝐓𝐞𝐫𝐬𝐞𝐬𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐟𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧)

27 6 0
                                    


𝐇𝐚𝐢𝐢 𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧" 𝐲𝐠 𝐦𝐚𝐧𝐢𝐞𝐳𝐳 😄
𝐀𝐥𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚
𝐊𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚 😁
_𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐚𝐤𝐮𝐧 𝐬𝐨𝐬𝐦𝐞𝐝 𝐤𝐚𝐦𝐢_

>> 𝐈𝐧𝐬𝐭𝐚𝐠𝐫𝐚𝐦 : • 𝐀𝐤𝐮𝐧𝐬𝐩𝐚𝐦𝐚𝐣𝐚_𝟐𝟕
• 𝐈𝐦𝐚𝐠𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢𝐩𝐞𝐧𝐚_𝐳𝐡𝐫𝐚𝟐𝟕
>> 𝐓𝐢𝐤𝐭𝐨𝐤 : • 𝐀𝐤𝐮𝐧𝐬𝐩𝐚𝐦𝐚𝐣𝐚_𝟐𝟕
• 𝐈𝐦𝐚𝐠𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢𝐩𝐞𝐧𝐚_𝐳𝐡𝐫𝐚𝟐𝟕

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐠𝐮𝐲𝐬𝐬 👍🏻



Pagi hari di pondok pesantren seharusnya selalu membawa kedamaian bagi Zahra, namun kali ini berbeda. Matanya yang sembab karena kurang tidur menatap kosong pada langit-langit kamar. Bagaimana bisa hari ini ia menghadapi kehidupan yang serasa bukan miliknya lagi? Perjodohan itu masih membayang di pikirannya, seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan.

Seiring suara adzan subuh yang terdengar dari masjid, Zahra beranjak dari kasurnya. Tubuhnya bergerak otomatis, tapi pikirannya terus tersesat dalam badai yang tak kunjung reda. Perasaan sedih, marah, dan bingung bercampur menjadi satu. Di satu sisi, ia tak ingin mengecewakan keluarganya, namun di sisi lain, hatinya menolak keras realita yang dihadapkan padanya.

Setelah shalat subuh, Zahra memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pondok. Ia butuh udara segar, sesuatu yang bisa menenangkan pikirannya. Namun, langkah kakinya terasa berat, seolah dunia di sekitarnya menjadi asing. Tak sengaja, ia bertemu dengan Rida, sahabat karibnya sejak kecil yang juga sama-sama menjadi alumni santri dan skrng menjadi ustadzah di pondok itu.

"assalamualaikum Zahra, Zahra kenapa? Kelihatan kusut banget. Ada masalah?" tanya Rida, suaranya penuh kekhawatiran.

Zahra menjawab salam Rida "waalaikumussalam" lalu kembali menggeleng, mencoba tersenyum walau bibirnya terasa kaku. Namun Rida tahu, ada sesuatu yang besar sedang mengganggu sahabatnya itu. "Ayo cerita, Ra . Jangan pendam sendirian."

Zahra menarik napas dalam-dalam, lalu menghela dengan berat. "Aku dijodohkan, Rida... dengan Gus Ryan."

Mata Rida membulat, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Seriusan? Gus Ryan?! Anak kyai Fajar itu?!"

Zahra mengangguk pelan, dan seketika Rida menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan keterkejutannya. "Ya ampun, Ra... Itu kabar besar! Kok kamu bisa dijodohkan sama dia? Kamu udah pernah ketemu?"

Zahra kembali mengangguk, kali ini dengan raut wajah yang campur aduk. "Kemarin dia datang ke Nadlem. Kita ngobrol sebentar, tapi... ya, aku nggak tahu harus ngomong apa."

Rida mendesah panjang. "Ya Tuhan, Zahra... aku ngerti banget perasaan kamu. Tapi, Gus Ryan itu cowok keren, Ra! Banyak santri cewek yang naksir dia! Tegas, ganteng, sholeh lagi!"

Zahra hanya tersenyum tipis, merasa tidak bisa menikmati percakapan itu. Baginya, tidak ada yang bisa menutupi fakta bahwa hidupnya berubah drastis tanpa persetujuannya. "Bukan soal itu, Rida. Ini... semua terlalu cepat. Aku nggak siap."

Rida menatap Zahra dengan penuh simpati. "Aku ngerti, Ra. Tapi mungkin... kamu bisa coba kenal dia lebih dalam. Siapa tahu, perjodohan ini bisa jadi sesuatu yang baik buat kamu."

Zahra tidak menjawab. Ia tidak tahu apakah ia sanggup membuka diri untuk sesuatu yang ia rasakan sebagai sebuah paksaan.

Hari-hari berikutnya Zahra menjalani kehidupannya dengan rasa resah yang tak kunjung hilang. Ia mencoba bersikap biasa di depan teman-temannya dan keluarganya, namun di dalam hatinya, ada kekosongan yang tak terisi. Bahkan ketika ia duduk di kelas untuk mengajar, pikirannya selalu melayang pada perjodohan itu.

Suatu sore, Gus Ryan kembali datang ke pondok. Kali ini, Zahra merasa jauh lebih gugup dibandingkan pertemuan pertama mereka. Saat ia berjalan ke ruang tamu nadlem, jantungnya berdegup kencang. Bagaimana jika kali ini pembicaraan mereka lebih serius? Apakah ia harus mulai membicarakan pernikahan itu?

Ketika sampai di ruang tamu, Zahra terkejut melihat Ryan sedang duduk sendirian. Tidak ada orang tua mereka yang mendampingi, hanya ada mereka berdua. Zahra merasa aneh dengan suasana itu. Ia ingin bertanya mengapa orang tua mereka tidak ada, tapi sebelum sempat membuka mulut, Ryan sudah menatapnya dengan senyum tipis.

"Zahra," sapa Ryan dengan nada yang lembut namun tegas. "Aku tahu kita dijodohkan, dan aku juga tahu ini tidak mudah untuk kamu... bahkan untukku juga."

Zahra hanya diam, menundukkan kepalanya sedikit. Ryan melanjutkan, "Aku nggak mau bikin kamu merasa terpaksa. Aku di sini bukan untuk memaksa kamu terima aku. Aku cuma mau kita saling mengenal dulu. Tidak perlu terburu-buru. Kalau kamu merasa tidak cocok, kita bisa bicara lagi."

Zahra menatap Ryan dengan tatapan bingung. Pria itu terlihat begitu tenang, namun ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya merasa bahwa Ryan juga sedang berjuang. Mungkin dia juga merasa terperangkap dalam situasi ini.

Setelah beberapa saat hening, Ryan mengambil napas dalam-dalam dan berkata dengan nada yang sedikit lebih santai, "Tapi, kalau kamu mau kenal aku lebih baik, ada satu hal yang perlu kamu tahu."

Zahra mengangkat alisnya, merasa penasaran. "Apa?"

Ryan tiba-tiba menyeringai kecil. "Aku... suka makan indomie pakai es krim."

Zahra terpana. Ia mengira Ryan akan mengatakan sesuatu yang serius, tapi ternyata... pria itu justru mengatakan sesuatu yang konyol! Ia menatap Ryan dengan tatapan bingung sekaligus tidak percaya, sebelum akhirnya mereka berdua tertawa.

Di balik tawa itu, Zahra merasakan sedikit kelegaan. Mungkin... Ryan tidak seburuk yang ia bayangkan. Ada sisi lain dari pria itu yang perlahan mulai membuatnya penasaran.

Namun, setelah tawa mereda, Zahra kembali diingatkan pada kenyataan. Meski Ryan mencoba bersikap santai, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka berdua tetap berada dalam situasi yang rumit. Di dalam hatinya, Zahra masih merasa tersesat, tidak tahu ke mana arah hidupnya akan membawanya.

𝑷𝒆𝒓𝒋𝒐𝒅𝒐𝒉𝒂𝒏 𝑮𝒖𝒔 & 𝑵𝒊𝒏𝒈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang