7. Diam-Diam Saling Mendekat

10 1 0
                                    

Pagi-pagi sudah nongkrong di parkiran. Fariz tak langsung masuk kelas begitu sampai. Niatnya mengadang seseorang yang mau dia culik sebentar sebelum pelajaran pertama dimulai. Sambil menunggu, ia mengulum lolipop cuma untuk meminimalisasi rasa asam di mulut.

Penantiannya kunjung tiba. Fariz melompat dari tunggangan kuda besinya, menargetkan motor butut yang baru masuk parkiran. Baru membuka helm dan masih nangkring di jok, Fariz sudah mengalungkan lengan di seputar leher. Praktis si pemilik kaget bukan kepalang.

"Pagi, cantik!" Lengkap dengan senyum lebar yang menawan, senjata andalan Fariz yang mampu menjerat wanita manapun takluk pada pesonanya. Tapi tidak mempan bagi Bella, justru senyuman Fariz sejenis ancaman yang patut ditakuti.

"Ikut gue sebentar, yuk!"

Kengerian mewarnai sepanjang wajah. Gadis itu menggeleng kencang. "Aku gak aduin kamu ke siapapun!"

"Ssshh ... gue tahu kok, Lo anak baik. Ikut aja. Gak gue apa-apain. Berani sumpah!" Sambil menepuk kepala Bella, Fariz bermaksud menenangkannya.

Menghindar pun merupakan perkara sulit. Pemuda itu barangkali berucap ramah, tapi sejatinya tindakan Fariz menarik Bella turun dari motor sedikit kasar.

Fariz menggiringnya dalam rangkulan. Ia berkomentar tentang wangi vanila pasca mengendus pucuk kepala Bella dan menjumput ujungnya untuk dibaui ke hidung. Lantas tanpa tahu malu mengatakan, "Favorit gue."

Sejujurnya Bella tidak mengenal baik Fariz. Mereka tidak pernah bersinggungan sebelumnya secara verbal. Hanya tahu rumor bahwa pemuda itu suka sekali gonta-ganti perempuan dan tidak pernah bertahan lama dengan satu wanita. Ketenarannya sebagai playboy memang pantas untuk wajahnya yang rupawan.

Kalau tiba-tiba Fariz sok akrab dan mencoba bermanis-manis pada Bella, tidak salah bukan kalau Bella menaruh curiga. Asli Bella takut dibawa ke suatu tempat untuk di-bully. Atau sejauh pemikirannya, Fariz mencoba merayunya untuk dijadikan korban wanitanya selanjutnya.

Tahu-tahu gedung terbengkalai itu lagi tepat di depan mata. Fariz masih merangkulnya, memaksa Bella menaiki anak-anak tangga. Ini sudah bukan asumsi buruk lagi, tetapi benar-benar akan di-bully habis-habisan.

"Se—benarnya mau dibawa ke mana aku?" Tergagap-gagap Bella bertanya. Diselingi usahanya mengendurkan cengkeraman tangan Fariz pada lengan atasnya yang semakin menyakitkan.

"Don't be afraid. I ain't eating you." Fariz tertawa. Seperti rusa yang siap diterkam singa, Bella memelototinya seakan nyawa mau ditumbalkan.

Tiba di puncak tangga terakhir, Fariz membuka pintu. Udara pagi yang sedikit berangin di ketinggian membelai lembut wajahnya yang syok karena di sana Alif berdiri menyandang ransel dan memegang kertas bundle.

Sebenarnya ada apa ini? Kebingungan juga takut, tidak ada satupun kata yang berhasil diucapkan. Bella tahunya dilepaskan Fariz dalam keadaan nanar.

Alif mendekat. "Soal kelas tambahan." Menyisakan jarak satu meter di antara mereka. "Aku yang atur waktunya. Tidak peduli kamu setuju atau tidak. Telat sedikit bahkan mangkir, konsekuensi akan kamu terima. Aku masih berbaik hati tidak meminta bayaran. Asal kamu taat, aku tidak akan meminta apa-apa darimu."

"A—alif." Bahkan hanya sepatu pemuda itu yang sanggup Bella tatap di tengah usaha meredam ketakutan. "Bo—leh aku bicara?"

"Katakan!"

Paru-paru diisi lebih banyak oksigen sekali tarikan dan embusannya mengendurkan ketegangan, Bella memulai mengungkapkan ganjalan hatinya. "Aku minta maaf sudah membuatmu berada di situasi yang tidak kamu inginkan, Alif. Aku yakin kamu semakin membenciku karena hal itu. Maka tidak perlu memaksakan diri. Aku tidak ingin membebanimu dengan kehadiranku."

Black Rose Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang