2. Pembenci dan Pengagum

7 1 0
                                    

Bella menyusul belakangan. Belum berani masuk kelas. Beraninya sebatas mengintip dari jendela. Rupanya Alif sedang memperkenalkan diri di depan kelas. Perkenalan yang terlalu singkat. "Saya Alif Van Effor."

Dari gestur terlihat Pak Deni mempersilakan Alif duduk. Penghuni baru itu berhasil menyihir kaum Hawa dengan pesona menyilaukan. Sebaliknya tiap langkah ke mejanya mengundang kaum Adam iri setengah mati.

Kejutan besar Alif duduk paling belakang dekat jendela, sejajar dengan meja Bella. Pertanda sisa tahun ketiga Bella ke depan sepertinya akan berat. Bella melenguh putus asa. Andai wali kelasnya tidak mengajar hari ini, barangkali Bella sedikit beruntung. Sayangnya guru matematika itu tidak punya belas kasih dalam memberi hukuman.

Sebetulnya Bella tidak apa-apa dihukum di bawah tatap satu kelas karena sudah terbiasa dicemooh. Tapi Alif di sini melihat. Orang yang disukai Bella melihat keburukannya. Dia akan jadi tontonan memalukan untuk Alif dan barangkali pemuda dingin itu memiliki alasan besar untuk semakin membenci Bella.

"Oke, kita lanjutkan pelajaran ...." Suara Pak Deni terpotong oleh derit pintu yang terbuka setengah. Bella muncul dari baliknya tanpa berani angkat wajah.

"Permisi, Pak."

Pak Deni menghela napas. "Temui Pak Kebun. Minta padanya tong sampah. Kumpulkan sampah di seluruh sekolah dan gantungkan lehermu dengan tulisan 'saya terlambat' sampai jam istirahat selesai."

Membela diri rasanya sia-sia saat berurusan dengan guru yang sulit memberi keringanan. Bella mengangguk saja amat pasrah. "Saya izin meletakkan tas."

"Cepat."

Masih malu angkat wajah, Bella berjalan gontai ke bangkunya. Bahkan tidak melihat satu kaki tiba-tiba melintang membuatnya terjerembab. Di antara deretan bangku, Agnes tersenyum kalem.

"Kalau jalan lihat-lihat!"

Tak menggubris, Bella bangkit. Agar tidak semakin tersiksa malu, solusinya segera keluar. Setengah berlari Bella meletakkan tasnya ke mejanya. Ketika Bella melewati meja Vivi, Bella tidak meliriknya meskipun Vivi sudah berdiri bersikap hendak membela. Dia satunya-satunya sahabat yang akan menolong Bella dari masalah. Tetapi situasinya tidak akan memungkinkan Vivi bersikap pahlawan.

Bahkan sedikit melihat ke arah Alif pun tidak. Sejatinya pemuda itu mengamati Bella sejak datang dan diusir dalam waktu singkat. Penilaiannya menjadi berubah. Dari tidak suka bergerak ke puncak level tertinggi, membenci. Sangat benci. Penyebabnya karena gadis itu banyak bertingkah seakan kesialannya datang dari dirinya sendiri.

Gulungan kertas jatuh mendistorsi. Menggelinding di meja Alif. Kepala di meja depan meliriknya sebentar. Alif tahu kertas itu darinya. Seketika membentangkan kertas tersebut.

Rooftop gedung Timur

***

Angin menerbangkan helai rambut Alif dari ketinggian tiga lantai gedung. Ia datang lebih dulu tepat bel istirahat. Menunggu beberapa saat sebelum pemberi undangan dadakan itu muncul dari tangga. Mereka sengaja datang sendiri-sendiri demi menghindari kecurigaan. Akan aneh apabila murid di kelas memergoki mereka keluar kelas berdua seakan sudah akrab sebelumnya, sementara mereka baru bertemu hari itu.

"Satu-satunya tempat yang bebas kamera pengintai adalah tempat ini."

Pemuda yang duduk di depan meja Alif di kelas mengikuti posisi Alif yang bertelekan siku ke pembatas tembok.

"Kenalin gue ElFarizi Danudirajat. Panggil saja Fariz. Gue yang akan bantu Lo menyelesaikan misi." Bukan uluran tangan, melainkan mengeluarkan benda kecil dari kantong celana.

Flashdisk. Alif menerimanya. Kemudian menyimpannya di saku.

"Semua daftar anak dari petinggi organisasi kasta atas ada di situ. Jadi Lo gak perlu susah payah cari profil mereka."

Black Rose Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang