Namanya Raina. Seorang gadis sederhana dengan segudang impiannya. Raina bukan tidak memiliki seorang teman, namun ia selalu mencurahkan isi hatinya melalui sebuah tulisan. Entah sudah berapa banyak buku diary yang sudah ia tulis.
Tahun ini Raina duduk di bangku kelas 3 SMA, dan sudah memasuki semester 2. Itu artinya beberapa bulan lagi ia lulus. Di saat teman-temannya sibuk memilah beberapa universitas, ia memilih menyibukkan diri dengan mencari lowongan pekerjaan. Setidaknya, setelah lulus nanti ia bisa membantu orang tua.
Minggu lalu, Raina mencoba melamar kerja part time di salah satu Caffe. Raina bersyukur, ia diterima. Sejak saat itu, Raina berusaha membagi waktunya, antara Sekolah, belajar, dan bekerja.
"Ibu, Rai berangkat kerja dulu, ya." Raina menghampiri sang Ibu yang masih duduk di meja makan. Mereka baru saja selesai sarapan pagi.
"Bukannya nanti siang, Kak?"
"Ini kan hari Minggu, Bu. Jadi, mulai kerjanya dari pagi." Salma, Ibu Raina hanya mengangguk.
"Kak," panggil Salma pelan.
"Ya, Bu?" jawab Raina sembari mengikat tali sepatunya.
"Kakak fokus sekolah, ya. Ibu enggak apa-apa kok. Ayah juga suka ada kirim uang, kan."
Raina terdiam, ia sudah tahu maksud dari ucapan sang Ibu. Entah sudah berapa kali kata-kata itu keluar. Padahal, Raina baru seminggu bekerja. Raina tahu, Ibunya hanya tidak ingin sekolahnya terganggu, dan fokus belajarnya teralihkan.
Raina tersenyum, ia berdiri dan memeluk sang Ibu dari belakang.
"Rai enggak apa-apa, Ibu. Rai sekarang udah bisa adaptasi dengan kegiatan Rai yang baru. Seenggaknya, Rai bisa bantu Ibu walau enggak seberapa itu," ucapnya diakhiri dengan suara kekehan, berusaha mencairkan suasana.
"Kak--"
"Ibu, Rai enggak apa-apa. Adek sebentar lagi masuk sekolah. Berarti harus cari uang yang banyak," ucap Raina kembali terkekeh.
"Rai juga enggak bisa terus berharap sama Ayah. Ayahkan sekarang udah ada kehidupan baru."
"Kak, enggak boleh gitu. Kalian tetap jadi tanggung--"
"Iya Ibu, iya. Rai berangkat dulu, ya. Ibu semangat juga kerjanya. Semoga hari ini laris manis, ya." Raina memotong ucapan sang Ibu. Raina sudah tahu jawaban sang Ibu mengarah kemana. Bukan menghindar, Raina hanya tidak ingin masalahnya semakin panjang.
***
Raina melipat mukenanya, ia baru saja selesai melaksanakan sholat dzuhur. Waktu istirahat sekitar 30 menitan lagi. Kali ini, ia memilih menghabiskan waktunya di Mushola.
"Rai, makan dulu, yuk." Saila, salah satu teman kerjanya menghampiri dirinya.
"Tadi sebelum ke Mushola makan dulu, kak. Soalnya tadi waktu dzuhur masih berapa menit lagi. Jadi, makan duluan." Raina menjawab dengan senyuman manisnya. Usia Saila memang jauh di atas dirinya, jadi Raina terbiasa memanggil dengan panggilan 'kakak'.
Saila mengangguk, "Kalau gitu, duluan, ya."
Selepas kepergian Saila, Raina mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku catatan kecil yang isinya terdapat beberapa wishlist dirinya.
Bahagia Ibu dan Adek.
Raina membaca nomor urutan pertama. Salah satu impian terbesarnya yaitu bisa membahagiakan sang Ibu dan adik kecilnya. Semenjak penceraian Ayah dan Ibunya 1 tahun lalu. Dan sang Ayah kembali menikah bersama wanita lain. Ia bertekad akan selalu menjaga sang Ibu dan adik satu-satunya. Ia akan melakukan apapun agar mereka bisa terus bahagia.
Rai mengambil pulpennya. Ia menulis beberapa rangkaian kata di lembaran yang baru.
Do'a Ibu Menembus Langit.
Ibu, do'akan Rai semoga impian Rai satu persatu bisa tercapai. Termasuk buat Ibu sama Adek bahagia.
***
Lima hari yang lalu, Raina mengikuti acara kelulusan di sekolahnya. Tidak mudah bagi Raina untuk bisa sampai ke fase ini. Begitu banyak lika-liku dan perjuangan yang sudah Raina lewati beberapa bulan terakhir ini. Membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Belum lagi membantu pekerjaan sang Ibu di rumah. Raina bersyukur, ia masih bisa mempertahankan nilai sekolahnya. Sudah pasti itu juga berkat do'a dan dorongan dari keluarganya. Bahkan dirinya menjadi juara pertama dalam satu angkatannya. Salah satu Gurunya, sempat menawari dirinya untuk kuliah, dan bisa masuk universitas ternama. Bahkan beliau siap menanggung semua biayanya. Namun, ia menolaknya. Untuk saat ini mungkin ia akan lebih fokus dulu terhadap sang Ibu dan adiknya. Raina selalu yakin, rezeki sudah ada yang mengatur.
Raina tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Pagi-pagi sekali ia sudah lengkap dengan seragam batik kerjanya. Raina masih tidak menyangka, sebulan yang lalu ia diangkat dari seorang pelayan menjadi bagian kasir di Caffe. Orang-orang mungkin menganggap ini hal yang biasa, menganggap dirinya terlalu berlebihan. Setiap orang punya pencapaiannya masing-masing. Dan ini sebuah kebanggaan bagi dirinya.
Raina mengambil helmnya. Sebelum ke tempat kerjanya, ia akan mengantar sang Ibu dan adiknya terlebih dahulu. Hari ini ada pendaftaran ulang untuk Raisa, adiknya. Tahun ini, Raisa masuk kelas 1 SD.
Memiliki kendaraan sendiri juga merupakan salah satu pencapaiannya. Meskipun masih cicilan, setidaknya hal ini bisa membantu keluarganya.
***
Soon di Part 2 yaa.. Semoga syukaa🫶🏻