***
Tersenyum ke arah kamera, saat sambungan terputus. Aku baru saja selesai Ziyadah via video call bersama Ustadzah Khadijah. Beliau merupakan pembimbing ku di Pesantren. Beliau juga yang mengajarkan ku dalam tahfidz. Senang sekali rasanya bisa belajar dengan beliau.
[Ziyadah: Menambah Hafalan.]
Sudah hampir satu bulan aku ambil cuti. Membuat kegiatan Halaqahku hanya bisa melalui sosial media. Saat usia kandunganku menginjak 7 bulan, suami ku menyuruhku untuk segera ambil cuti hamil dan melahirkan. Padahal, aku masih ingin bersama anak-anak. Setidaknya, sampai usia kehamilan ku 8 bulan aku baru ambil cuti.
Tetapi, apa daya. Seorang istri tidak mungkin membantah perintah suami. Aku tahu, ia hanya tidak mau jika aku terlalu kecapean. Apalagi dengan aku yang tengah berbadan dua. Jadi ya, mau bagaimana lagi.
Drrt.. Drrt..
Mau di bawain apa?
Ini aku baru mau pulang.Bibirku tertarik membentuk senyuman. Rasanya, masih tidak menyangka. Pria itu---pria yang kini menjadi suami ku, bahkan sebentar lagi akan menjadi seorang Ayah.
Ivaal, dia suami ku. Pria itu benar-benar membuktikan ucapannya. Setelah seminggu pertemuan kami di lapangan Volley Ball beberapa waktu lalu. Sebelum menemui orang tua ku, Ivaal lebih dulu datang menemui Umi Aisyah -pemilik pesantren-, dan mengatakan jika ia mau mengkhitbahku.
Awalnya aku tidak percaya. Bagaimana tidak? Ivaal, mantanku semasa Sekolah Menengah. Tidak bertemu setelah hampir lima tahun. Lalu tiba-tiba datang dan mengkhitbahnya?
Coba apa yang ada dipikiran kalian jika ada seseorang yang tiba-tiba mengkhitbahnya?
Kala itu, Umi Aisyah sempat menawarkan untuk ta'aruf lebih dulu. Tetapi Ivaal menolaknya dengan alasan ia sudah mengenal aku lebih lama. Dan itu membuat Umi Aisyah percaya.
Dua minggu selepas pertemuan dengan Umi Aisyah dan kedua orang tuaku. Kami melangsungkan pernikahan di Gedung Pesantren, Umi Aisyah yang minta.
Acara yang memang tidak begitu mewah, bahkan mungkin bisa dibilang sangat mendadak. Namun, itu cukup memberikan kesan yang luar biasa. Ah, rasanya masih tidak percaya.
Minggu-minggu awal pernikahan, aku masih canggung. Apalagi, saat Ivaal membawaku ke rumahnya. Aku merasa di kelilingi orang asing oleh mereka. Terlebih, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah Ivaal. Semasa pacaran dulu, Ivaal memang tidak pernah mengajakku ke sini. Toh, dulu juga aku sama sekali tidak kepikiran untuk diajak ke rumahnya.
Bukan hanya itu, awal pernikahan kami juga, perasaan ku masih terasa ombang-ambing. Antara terima tidaknya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai terbiasa. Mulai merasakan kembali benih-benih cinta yang dulu sempat menghilang.
Ya, aku kembali jatuh cinta.
Dan kali kedua, pada seseorang yang sama.
Satu bulan pernikahan kami. Aku dinyatakan positif hamil. Rasanya, masih tidak menyangka. Tuhan benar-benar memberikan kejutan terindah di awal-awal pernikahan kami.
Lima bulan usia kehamilan ku, Ivaal membawaku ke rumah baru kami. Rumah yang sudah Ivaal siapkan jauh-jauh hari. Jaraknya tidak begitu jauh dengan rumah ibu mertua. Setidaknya, jika Ivaal sedang pergi, ada ibunya yang menjaganya. Itu yang Ivaal katakan saat kami menempati rumah baru.
Diliriknya ponselku, aku lupa. Aku belum membalasnya.
Nggak usah, Mas.
Aku udah masak banyak buat kamu
Kamu mampir ke supermarket ya,
Beli belanja bulanan, catatannya nanti aku kirim
[Send Pict]