chapter 7

3 0 0
                                    

Chapter 7: "Cooking Chaos: Nasi Goreng Battle"

Hari berikutnya dimulai dengan semangat yang berbeda di apartemen. Meilae, Tom, Gustav, Bill, dan Georg sudah bersiap-siap untuk memasuki "pertempuran nasi goreng" mereka. Tom, yang paling antusias, bahkan sudah mengeluarkan semua jenis sosis dan bratwurst dari kulkas. Dia seakan yakin bahwa kombinasi nasi goreng dengan sosis ala Jerman adalah ide terbaik yang pernah ada.

Meilae berdiri di tengah dapur dengan apron, memandang tumpukan bahan makanan di atas meja. “Oke, jadi hari ini kita akan lihat siapa yang bisa masak nasi goreng paling enak, tapi… dengan twist masing-masing!” serunya.

Bill mengangkat tangannya, semangat. “Aku pilih ikan tuna kalengan ini sebagai bahan utamaku!”

Tom menoleh ke Bill sambil mengangkat alis. “Ikan tuna? Itu kan lebih cocok untuk salad, Bill. Nasi goreng tuh harus pakai daging, seperti sosis!” katanya sambil menunjuk bratwurst yang ia pegang.

Gustav hanya tertawa melihat Tom dan Bill berdebat. “Kalau aku, aku akan tambahkan keju mozzarella. Semuanya jadi lebih enak dengan keju leleh.”

Meilae terkikik melihat kombinasi bahan yang dipilih mereka. “Aku nggak tahu lagi, deh. Ini pasti jadi nasi goreng paling aneh dalam sejarah. Tapi, aku siap coba semuanya!”

Georg, yang paling kalem, mengangkat bahan pilihannya—steak daging sapi yang sudah dipotong kecil-kecil. “Aku tetap setia dengan daging. Kamu tahu kan, nasi goreng yang pakai daging itu pasti enak.”

Semua setuju dan mulai bersiap-siap. Meilae membantu mereka memotong bahan-bahan, dan seketika suasana dapur berubah jadi kekacauan penuh tawa. Gustav, yang mencoba mengiris bawang bombay, tiba-tiba matanya pedih dan air matanya mengalir deras.

“Kenapa bawang ini jahat sekali?” keluh Gustav sambil mengusap matanya.

Meilae tertawa keras. “Gustav, kamu harus belajar teknik memotong bawang tanpa menangis. Coba tarik napas dalam-dalam dan tahan!”

Tom ikut tertawa sambil mengaduk nasi di wajan. “Atau mungkin kamu butuh kacamata renang, Gus!”

Semua orang tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Tom, dan Gustav hanya menggeleng sambil mengusap air mata yang terus mengalir. “Kalau ini terus terjadi, aku mungkin butuh kacamata ski sekalian.”

Di sisi lain dapur, Bill sedang berusaha membuka kaleng tuna. Namun, entah kenapa, pembuka kaleng yang ia gunakan justru macet di tengah proses. Ia menariknya keras-keras, dan saat kalengnya akhirnya terbuka, minyak tuna terpercik ke wajahnya.

“Aaah! Minyak tuna!” Bill berteriak, sementara Meilae dan yang lainnya tertawa sampai perut mereka sakit.

“Kamu harus lebih hati-hati, Bill!” ujar Meilae sambil memberikan Bill serbet untuk membersihkan wajahnya.

Bill memasang ekspresi kesal namun lucu. “Aku pikir aku koki handal, tapi ternyata membuka kaleng saja bisa jadi bencana.”

Sementara itu, Tom, yang sudah hampir selesai dengan versi nasi goreng bratwurstnya, mulai mencium aroma gosong. Dia melihat ke wajan dan menyadari bahwa dia lupa mengaduk nasinya.

“Oh no!” serunya. “Nasinya gosong!”

Meilae tertawa sambil menepuk punggung Tom. “Kamu masak nasi goreng atau buat arang, Tom?”

Tom menatap Meilae dengan ekspresi kekalahan. “Hei, mungkin ini cara baru untuk membuat nasi goreng yang crunchy?”

Georg, yang paling tenang di antara mereka, sudah hampir selesai dengan nasi goreng steaknya. Dia terlihat cukup percaya diri, dan Meilae mengamatinya dengan rasa penasaran.

“Georg, kamu kelihatan seperti chef profesional,” kata Meilae.

Georg tersenyum lebar. “Aku sering masak sendiri di rumah, jadi aku cukup tahu cara memasak daging. Tapi kita lihat saja, apakah rasanya benar-benar enak.”

Setelah sekitar tiga puluh menit penuh kekacauan, tawa, dan sedikit drama, keempat versi nasi goreng akhirnya siap. Meilae meletakkan semua piring di meja makan dan menatap mereka satu per satu.

“Oke, sekarang waktunya mencicipi!” seru Meilae sambil mengangkat sendoknya.

Semua anggota band tampak bersemangat dan mengambil posisi mereka di meja. Meilae mencoba versi Tom terlebih dahulu—nasi goreng bratwurst. Dengan hati-hati, ia mengambil satu suap dan mengunyah.

“Hmmm…” Meilae tampak berpikir keras, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Ini… unik.”

Tom tersenyum lebar. “Aku tahu! Bratwurst membuat semuanya lebih baik, kan?”

Meilae mengangguk setengah hati. “Iya, cuma… mungkin kalau ada sedikit saus pedas, rasanya lebih balance.” Dia mencoba bersikap sehalus mungkin.

Tom tampak bangga, meskipun dia tahu Meilae berusaha sopan. “Yah, ini nasi goreng versi Tom Kaulitz. Hanya yang berani yang bisa mencobanya!”

Lalu, Meilae beralih ke nasi goreng Bill yang menggunakan tuna. Dengan hati-hati, ia mengambil satu suap, dan matanya langsung membelalak. “Oh! Ini… ini lumayan, tapi rasanya seperti salad tuna dengan nasi.”

Bill tertawa sambil mengangkat bahu. “Aku memang lebih suka sesuatu yang ringan. Tapi setidaknya, ini sehat!”

Selanjutnya, Meilae mencoba versi Gustav yang ditambah keju mozzarella. Ketika ia mengunyah, keju meleleh di mulutnya, dan ia tertawa. “Gustav, ini seperti makan pizza dalam bentuk nasi goreng!”

Gustav tertawa bangga. “Nah, lihat! Aku berhasil menciptakan fusion cuisine. Nasi goreng ala Italia-Jerman!”

Terakhir, Meilae mencoba nasi goreng Georg. Ia mencicipi dan langsung mengangguk. “Ini… ini yang paling mendekati rasa nasi goreng yang sebenarnya. Rasanya enak!”

Georg terlihat puas. “Aku tahu daging adalah kunci utama. Terima kasih, Meilae!”

Semua orang tampak senang, dan meskipun masing-masing versi nasi goreng memiliki keunikannya sendiri, mereka semua setuju bahwa pengalaman memasak bersama ini adalah yang paling menyenangkan. Setelah selesai makan, mereka duduk di ruang tengah, merasa kenyang dan puas.

Tiba-tiba, Tom mendapat ide konyol lagi. “Hey, bagaimana kalau besok kita buat ‘burger Indonesia’? Kita pakai nasi sebagai pengganti roti!”

Meilae tertawa keras. “Tom, kalau pakai nasi, itu namanya bukan burger lagi. Itu malah jadi nasi padang!”

Bill ikut tertawa sambil menepuk bahu Tom. “Tom, kamu terlalu kreatif. Tapi kalau kamu mau coba, aku akan makan, asalkan nggak ada minyak tuna lagi!”

Semua tertawa, dan Tom berpura-pura memasang wajah serius. “Oke, oke, aku akan merancang burger nasi paling epik yang pernah ada!”

Hari itu, apartemen mereka penuh dengan tawa dan kegembiraan. Meski Meilae masih belum tahu kapan ia harus kembali ke tahun 2025, momen-momen seperti ini membuatnya merasa bersyukur. Setidaknya, ia bisa menikmati kebersamaan dan tawa bersama teman-teman baru yang begitu berharga.

Setelah mereka semua kenyang, Meilae berpikir bahwa mungkin ia bisa mengajari mereka lebih banyak tentang masakan Indonesia di waktu mendatang. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati momen-momen sederhana seperti ini, di mana perbedaan budaya dan waktu tidak lagi penting.

_______________________________________________
TBC
------

Jangan lupa kasih kritik dan sarannya yah!

Because YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang