Judul: Melahirkan di Tengah Kegelapan
Kara terbangun dengan rasa nyeri yang luar biasa di perutnya. Dalam kebingungan, ia menyadari bahwa ia tidak berada di kamarnya—melainkan di sebuah ruangan gelap, dingin, dan berbau lembap. Cahaya temaram dari lampu neon berkedip-kedip di atas kepalanya. Tembok beton di sekelilingnya basah oleh lumut, dan di ujung ruangan, sebuah pintu besi besar terlihat tertutup rapat. Dia mencoba untuk mengingat bagaimana ia sampai di sini, tetapi ingatannya kabur, seakan terselubung oleh kabut tebal. Yang jelas, dia sedang dalam proses persalinan.
Suara gemerisik di kejauhan membuat darahnya membeku. Jantung Kara berdegup kencang saat ia menyadari sesuatu: dia tidak sendirian di tempat ini.
Awal Penderitaan
Rasa sakit mulai menyerang tubuhnya, seperti cambukan tajam yang tak kunjung henti. Kontraksi datang lebih cepat dari yang ia ingat dari cerita-cerita tentang persalinan normal. Kali ini, tubuhnya merasa hancur, seakan sesuatu yang mengerikan sedang mencoba keluar dari dalam dirinya. Ia berjuang untuk menenangkan dirinya, memegang perutnya sambil menggertakkan gigi. Namun, rasa sakitnya tidak hanya berasal dari persalinan—ada bekas luka baru di sisi perutnya, seolah ada yang telah mengirisnya sebelumnya.
Samar-samar, ia mendengar langkah kaki yang bergema di luar ruangan. Jantungnya berdetak kencang, rasa takut menyusup dalam setiap tarikan napasnya. Ada seseorang—atau sesuatu—di luar sana. Ia harus melahirkan di sini, di tempat yang tidak ia kenali, dan ia tahu bahwa tidak ada yang datang untuk menolong. Satu-satunya harapan adalah bertahan hidup.
Keputusan Pertama: Melarikan Diri atau Bertahan di Ruangan
Kara merasa waktu berlari cepat, dan ia tahu ia harus membuat pilihan. Suara langkah kaki semakin dekat, dan instingnya mengatakan untuk kabur, tetapi tubuhnya tak mampu menanggung rasa sakit yang lebih. Namun, jika ia bertahan, apa yang akan terjadi ketika makhluk itu menemukannya?
1. Jika Kara Memilih untuk Bertahan di Ruangan:
Kara memilih untuk tetap diam, menahan napas meski setiap detik diliputi ketakutan. Tangannya memegang erat-erat bagian bawah perutnya yang kian mengencang. Tiba-tiba, pintu besi berderit terbuka perlahan, dan sesosok tubuh tinggi dan kurus muncul di ambang pintu. Wajahnya tersembunyi di balik masker kotor, matanya memantulkan kegilaan dalam gelap.
Makhluk itu mendekat dengan langkah lambat, suara napasnya seperti orang yang mendengus dalam keadaan sekarat. Kara gemetar, tidak bisa bergerak karena ketakutan. Makhluk itu berjalan berputar di sekelilingnya, memperhatikan tubuhnya dengan mata lapar, seolah ia adalah obyek eksperimen. Saat kontraksi lain menyerang tubuhnya, Kara tak bisa menahan jeritannya. Makhluk itu menyeringai di balik maskernya, dan dari balik jubahnya, ia mengeluarkan pisau besar yang berkilauan di bawah lampu yang redup.
Tanpa belas kasihan, ia mendekat. Di saat Kara berteriak, kesadarannya mulai pudar. Rasa sakit dari persalinan bercampur dengan kepedihan fisik yang tak tertahankan. Akhir tragis menantinya dalam kegelapan, saat ruangan itu dipenuhi oleh keheningan yang mengerikan.
2. Jika Kara Memilih untuk Melarikan Diri:
Dengan sisa kekuatannya, Kara mendorong tubuhnya untuk berdiri. Setiap gerakan adalah siksaan, namun insting bertahan hidupnya memaksa dia bergerak. Dia melirik pintu belakang ruangan—sebuah pintu kayu tua yang setengah tertutup. Dengan napas pendek dan berat, ia menyeret tubuhnya menuju pintu tersebut, setiap langkah terasa seperti berjalan di atas bara api.
Langkah-langkah kaki itu semakin dekat, dan Kara tahu waktu hampir habis. Saat ia membuka pintu, suara derak keras terdengar, membuat jantungnya melompat. Ia berlari ke lorong gelap di luar, namun lorong itu seakan tak berujung, diisi hanya oleh kegelapan dan bau darah basi yang semakin kuat. Namun ia tidak punya pilihan lain.
Dalam pelariannya, Kara tiba di ruangan besar yang penuh dengan alat-alat medis berkarat dan tubuh-tubuh tak bernyawa yang tergeletak di ranjang operasi. Dia menutup mulutnya, berusaha menahan mual. Namun, kontraksi datang lagi, memaksa dia berlutut, dan ia sadar bayinya hampir lahir.
Saat tubuhnya berjuang sendiri, ia mendengar suara gemerisik di sudut ruangan. Bayangan tinggi dari makhluk yang sama sedang mengawasinya dari kegelapan. Tidak ada waktu lagi untuk lari.
Keputusan Kedua: Mengejan atau Menahan Kontraksi
1. Jika Kara Memilih untuk Mengejan:
Kara tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan dirinya dan bayinya. Dengan sisa kekuatannya, ia mulai mengejan, meskipun setiap tarikan napas terasa seperti kematian mendekat. Suara langkah kaki makhluk itu semakin dekat, namun Kara tetap berfokus pada bayinya.
Ketika akhirnya bayi itu lahir, tangisannya menggema di ruangan kosong, tetapi suara langkah kaki terhenti. Makhluk itu berdiri di pintu, menatap mereka berdua dalam diam. Namun, mendengar suara kehidupan yang baru, makhluk itu mundur, perlahan-lahan menghilang ke dalam kegelapan.
Kara kelelahan, namun bayinya hidup. Dengan napas terengah-engah, ia berbaring di lantai dingin, memeluk anaknya erat-erat. Meskipun terluka, ia berhasil selamat dari kengerian ini—untuk sementara.
2. Jika Kara Memilih untuk Menahan Kontraksi:
Kara berusaha mati-matian untuk menahan kontraksi, menolak dorongan tubuhnya untuk melahirkan. Namun rasa sakit itu terlalu luar biasa. Kegelapan di sekitarnya mulai menari di tepi pandangannya, dan tubuhnya gemetar hebat.
Makhluk itu bergerak cepat, meraih pergelangan tangan Kara dan menyeretnya ke meja operasi. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya tak mampu. Dengan gerakan kasar, makhluk itu mempersiapkan dirinya, mengeluarkan peralatan tajam yang ia pegang selama ini. Rasa sakit yang diakibatkan oleh makhluk itu jauh lebih mengerikan daripada kontraksi yang tadi ia tahan.
Malam itu, di tengah suara mesin-mesin rusak dan jeritan yang tercekik, Kara tak pernah berhasil melahirkan anaknya. Keduanya menjadi korban di tangan makhluk itu, dan cerita mereka berakhir dalam kegelapan yang sunyi.
Akhir: Kegelapan Tanpa Akhir
Di dunia penuh horor ini, Kara harus menghadapi pilihan-pilihan yang tak mungkin. Setiap keputusan yang ia ambil membawanya lebih dalam ke dalam kegelapan, baik melawan rasa sakit persalinan maupun ketakutan akan makhluk yang mengintainya. Tak ada yang datang untuk menyelamatkannya, dan setiap langkahnya adalah tarian dengan kematian. Namun, dalam beberapa akhir, keberanian Kara dan cinta untuk anaknya menjadi satu-satunya cahaya kecil di tengah kegelapan yang mengancam menelannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melahirkan di Tengah Kegelapan
TerrorKara terbangun dengan rasa nyeri yang luar biasa di perutnya. Dalam kebingungan, ia menyadari bahwa ia tidak berada di kamarnya-melainkan di sebuah ruangan gelap, dingin, dan berbau lembap. Cahaya temaram dari lampu neon berkedip-kedip di atas kepal...