Bab 3

280 31 0
                                    

Di pagi harinya Jeno terbangun lebih awal dari biasanya. Jeno menatap langit-langit kamarnya, mencoba membayangkan rutinitas baru yang dia rencanakan. Meskipun rasa sepi masih menggantung di setiap sudut rumah masih ada sedikit tekad yang membuatnya bangkit dari tempat tidur dengan lebih semangat.

Jeno menyiapkan sarapan sederhana untuk Jino yaitu telur orak-arik dan roti panggang mungkin ini bukan sarapan mewah seperti yang biasa disiapkan Renjun, tapi Jeno berharap setidaknya Jino akan menyukainya. Ketika Jino turun dari kamar dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih mengantuk senyum kecil muncul di wajah Jeno.

"Selamat pagi, Jino. Papa sudah buat sarapan, ayo makan bersama," ucap Jeno dengan suara lembut, mencoba membuat suasana menjadi hangat.

Jino menatap piring di meja dengan mata berbinar, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih, Papa!" Ucap Jino dengan ceria. Senyum Jino adalah hal yang sederhana tapi bagi Jeno itu sudah cukup untuk menghapus sedikit rasa bersalah di hatinya. Jeno menyadari bahwa meskipun Renjun tidak ada dirinya masih memiliki kesempatan untuk menjadi sosok yang lebih baik bagi anak mereka.

Setelah sarapan, Jeno mengantar Jino ke sekolah. Di perjalanan, mereka mengobrol tentang banyak hal kecil yang selama ini jarang dilakukan oleh Jeno. Jino bercerita tentang teman-temannya, tentang guru favoritnya, dan tentang keinginannya untuk bermain di taman saat akhir pekan.

*Jadi pas pagi Jino tuh sekolah TK nah pas siang waktu pulang sekolah dia dan beberapa temennya yang memang dititipkan di daycare di jemput staf daycare yang lokasi daycarenya memang di sebelah TK Jino terus pas Jeno pulang kerja baru Jino di jemput di daycare*

"Apa Papa bisa kita pergi ke taman besok minggu?" tanya Jino tiba-tiba, menoleh ke arah Jeno dengan mata penuh harap.

Jeno terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh permintaan sederhana itu. Dulu, permintaan seperti ini mungkin akan Jeno abaikan dengan alasan pekerjaan. Namun, kali ini, Jeno bertekad untuk berubah. "Tentu saja, nak. Kita bisa pergi ke taman," jawabnya dengan senyuman hangat. Jino bersorak kegirangan, membuat hati Jeno terasa hangat untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.

Minggu paginya, Jeno benar-benar memenuhi janjinya. Jeno mengantar Jino dan membawa anak itu ke taman yang tak jauh dari rumah mereka. Jino berlari-lari kecil di antara pohon-pohon, tertawa lepas saat mencoba naik ke ayunan. Jeno duduk di bangku taman, memperhatikan putranya yang terlihat begitu bahagia. Jeno tersenyum kecil, merasa ada sesuatu yang perlahan membaik dalam hidupnya.

Namun, di antara tawa Jino masih ada rasa rindu yang tak dapat disangkal. Jeno kembali teringat bagaimana dulu Renjun sering membawanya dan Jino yang bahkan masih belajar berjalan ke taman ini, menemani Jino bermain sambil sesekali melirik ke arah Jeno dengan senyum hangat. Kenangan itu terasa seperti duri dalam hati tapi kali ini Jeno tak membiarkan duri itu melukainya lebih dalam. Sebaliknya Jeno mencoba melihatnya sebagai pengingat untuk tetap berusaha demi Jino dan harapan bahwa Renjun mungkin akan kembali.

Jino berlari dengab gembira menghampiri Jeno, membawa bunga liar yang dipetiknya, Jeno tersenyum lebar. "Lihat, Papa! Aku punya bunga untuk Papa!" seru Jino sambil memberikan bunga kecil itu kepada Jeno.

"Terima kasih, nak," jawab Jeno sambil mengelus kepala Jino. Jeno menggenggam bunga itu dengan hati-hati seolah bunga kecil itu adalah simbol dari harapan barunya. Harapan bahwa suatu hari nanti Jeno bisa memperbaiki semua kesalahan yang pernah dia buat, dan mungkin bisa mendapatkan kesempatan kedua bersama Renjun.

Malam itu, setelah menbacakan dongeng untuk Jino yang sekarang sudah terlelap memeluk boneka rubahnya, Jeno duduk di ruang tamu dan mengamati bunga kecil pemberian Jino. Jeno menyimpan bunga tersebut di dalam sebuah buku. Jeno masih belum berani menghubungi Renjun tetapi di dalam hatinya Jeno tahu bahwa semua perubahan ini dimulai dari dirinya sendiri.

Jeno menutup matanya sejenak, menguatkan hatinya untuk terus berusaha. Jeno tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya, Jeno merasa bahwa dia tidak lagi berjuang sendirian. Jino ada di sisinya, dan itu adalah motivasi terbesar baginya untuk terus maju.

---

HadirmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang