Bab 16

63 21 1
                                    


Renjun melangkah ke dapur dengan langkah yang sedikit ragu namun ada rasa hangat yang terasa dalam hatinya. Sudah lama sejak terakhir kali Renjun berada di ini. Dapur ini menyimpan begitu banyak kenangan manis. Meskipun awalnya ragu, tapi Renjun merasa nyaman dengan suasana yang  ini. Dulu, setiap pagi di dapur ini selalu dimulai dengan aroma kopi yang Jeno buat, dan Renjun yang sibuk menyiapkan sarapan untuk Jino.

Renjun mulai mengeluarkan bahan-bahan dari lemari dan kulkas. Tepung, susu, telur semua bahan untuk membuat pancake kesukaan Jino sudah siap di atas meja. Renjun mulai menuangkan bahan-bahan itu ke dalam mangkuk besar dan menyiapkan adonan dengan teliti seperti biasa.

Namun, tak lama setelah Renjun mulai mengaduk adonan ada pelukan hangat yang begitu terasa di punggungnya. Jeno yang baru saja bangun dari tidurnya mendekatkan diri ke Renjun dan melingkarkan lengannya di pinggang Renjun kemudian memeluk pinggang Renjun dari belakang dengan erat. Renjun terkejut sejenak, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.

“Jeno, apa yang kamu lakukan?” tanya Renjun sambil mengaduk adonan, mencoba terdengar biasa saja meskipun pipinya mulai bersemu merah.

Jeno hanya menggumam pelan, menyandarkan dagunya di bahu Renjun. “Cuma pengen dekat kamu aja. Dulu kan kita selalu melakukan ini,” bisik Jeno, suaranya rendah dan serak karena baru bangun tidur. Ada kehangatan dalam suaranya sebuah sesuatu yang membuat hati Renjun berdebar lebih cepat dari biasanya.

“Kalau kamu terus begini, aku nggak bisa fokus buat sarapan, tahu?” Renjun mencoba untuk menegur, tapi nada suaranya tak mampu menyembunyikan sedikit rasa rindu yang selama ini Renjun pendam. Renjun merasa aneh, tapi juga nyaman berada dalam pelukan Jeno seperti ini

Jeno hanya tertawa kecil, suaranya menggema lembut di telinga Renjun. “Biarkan saja, Renjun. Aku rindu... sekali sama kamu.”

Sambil terus memeluk Renjun, Jeno memberikan kecupan lembut di tengkuk Renjun, membuat pria yang lebih muda itu merasakan getaran halus yang menjalari lehernya. Kecupan itu kemudian berpindah ke pipi Renjun yang kini tambah merona kemerahan. Renjun mencoba menahan tawa, merasa geli dengan perhatian mendadak yang diberikan oleh Jeno.

“Jeno, jangan nakal,” ucap Renjun sambil tersenyum tipis, tapi tidak benar-benar berniat untuk menghentikan Jeno. Renjun hanya menggigit bibir bawahnya, berusaha tetap fokus pada adonan yang ia aduk. Meskipun begitu, Jeno tetap saja menempel padanya, memeluk erat seperti tidak ingin melepaskan.

“Bukannya kamu juga rindu denganku, Ren?” goda Jeno lagi, kali ini memberikan kecupan lebih lama di pipi kanan Renjun. Ada sedikit canda di suaranya, tapi Renjun bisa merasakan kesungguhan di balik kata-kata itu. Jeno benar-benar merindukannya, dan entah kenapa, hal itu membuat hati Renjun terasa hangat.

Renjun menghela napas panjang, merasa geli dengan tingkah Jeno yang seperti anak kecil. Namun, di balik candaannya, Renjun juga merasa bahagia. “Jeno, yang benar saja... Kita harus selesaikan sarapannya dulu. Jino pasti sudah lapar.”

“Baiklah, baiklah, ayo ku bantu,” Jeno akhirnya mengendurkan pelukannya, namun tidak benar-benar menjauh. Jeno berdiri di samping Renjun, namun tangannya masih sering kali mengelus punggung Renjun dengan lembut, seolah takut jika Renjun akan menghilang lagi seperti dulu.

Mereka mulai memasak bersama di dapur kecil itu dengan Renjun yang fokus menuang adonan ke wajan, sementara Jeno menyiapkan topping buah untuk pancake. Sesekali, tangan Jeno menyentuh tangan Renjun dengan lembut saat mereka mengambil alat dapur yang sama. Renjun tersenyum kecil setiap kali itu terjadi, dan Jeno juga tak bisa menahan diri untuk terus menatap Renjun dengan penuh rasa rindu.

Setiap kali Renjun fokus di depan kompor, Jeno tak bisa menahan diri untuk kembali memeluk Renjun dari belakang, memberikan kecupan cepat di tengkuknya, atau sekedar menyandarkan kepalanya di bahu Renjun. Renjun hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum

Ketika pancake akhirnya selesai, Renjun menoleh ke arah Jeno yang masih berdiri di dekatnya, dan mereka saling bertukar pandang sejenak. Jeno menatap Renjun dengan senyum lembut, dan di mata Jeno, Renjun bisa melihat ketulusan dan harapan yang begitu besar.

“Ayo, kita bawa sarapannya untuk Jino,” kata Renjun akhirnya, mencoba memecahkan keheningan yang terasa hangat. Jeno mengangguk, masih dengan senyum di bibirnya, dan mereka berdua berjalan menuju meja makan.

Di meja makan, Jino sudah duduk dengan wajah penuh antusias, memandangi kedua orang tuanya yang terlihat lebih dekat dari biasanya. Matanya berbinar saat melihat pancake favoritnya disajikan di hadapannya.

“Mama, Papa, ayo makan barsama!” seru Jino dengan semangat, suaranya yang ceria membuat suasana pagi itu semakin hidup. Jeno dan Renjun saling bertukar pandang sejenak, lalu mereka duduk di sisi Jino, menyajikan pancake yang baru mereka buat bersama.

Saat mereka menikmati sarapan bersama, Jeno sesekali mencuri pandang ke arah Renjun, dan Renjun pun tak bisa menahan senyumnya setiap kali Renjun menangkap tatapan itu. Mereka mungkin belum tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tapi setidaknya, pagi itu mereka melangkah bersama dengan harapan baru di hati masing-masing.

.....


Aku sedih banget kenapa pas kemarin UP 3 chapter kok yang Vote malah dikit:(

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 11 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HadirmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang