Bab 9

203 20 0
                                    


Di siang hari yang cerah Jino sedang membantu Jeno membuat kue di dapur beberapa waktu kemudia terdengar ponselnya bergetar dan Itu adalah pesan dari Renjun. “Jeno, aku ingin bertemu lagi. Ada yang ingin kubicarakan.”

Jeno merasa jantungnya berdebar saat membaca pesan itu. Rasa cemas dan harapan berbaur dalam hatinya. Jeno segera membalas, “Tentu, kapan kamu ingin bertemu?”

Setelah beberapa saat bertukar pesan mereka sepakat untuk bertemu di taman tempat mereka sering berkunjung bersama Jino saat kecil. Jeno merasa agak gugup, tetapi Jeno tahu ini adalah kesempatan untuk melanjutkan apa yang telah mereka coba perbaiki.

Di sore harinya Jeno dan Jino pergi ke taman lebih awal. Jeno berusaha membuat Jino merasa senang dengan berbagai permainan yang ada di sana. Sementara Jino bermain, Jeno duduk di bangku dan mencoba menenangkan pikirannya. Tidak lama kemudian Renjun datang, dan tatapan mereka bertemu.

Renjun terlihat lebih tenang dibandingkan terakhir kali mereka bertemu. Renjun tersenyum saat melihat Jino berlari menuju ayahnya, penuh semangat.

Papa, lihat aku!” Jino berteriak sambil melompat-lompat.

Jeno tersenyum bangga dan melambaikan tangannya ke arah Jino kemudia mengalihkan perhatiannya pada Renjun yang berjalan mendekat. “Hai, Renjun,” sapanya.

Hai, Jeno. Terima kasih sudah mau datang,” jawab Renjun, suaranya terdengar hangat ditelinga Jeno.

Setelah beberapa saat berbincang Jeno mengajak Renjun untuk duduk di bangku taman. Jino masih sibuk bermain di sekitar mereka, sesekali melirik ke arah mereka sambil tersenyum.

Jino terlihat sangat bahagia,” ujar Renjun, memandang anak mereka yang bermain. “Aku senang melihatnya.”

Ya, aku berusaha keras untuk menjadi ayah yang lebih baik sekarang,” jawab Jeno, merasa ada keraguan dalam kata-katanya. “Aku ingin putra kita merasa dicintai dan diperhatikan.”

Renjun mengangguk, tetapi ada kesedihan dalam tatapannya. “Jeno, aku merasa kita perlu membahas sesuatu yang penting. Tentang hubungan kita.”

Jeno merasakan ketegangan di udara. Jeno tahu ini adalah momen penting. “Ya, aku tahu kita perlu membicara tentang semuanya,” jawabnya, mengumpulkan keberanian. “Aku sangat menyesali semua yang terjadi Ren. Aku mengerti betapa egoisnya aku dan betapa aku menyakiti kamu. Maafkan aku Ren”

Renjun menghela napas dalam-dalam. “Aku sudah memaafkanmu, Jen. Tapi, kita harus berbicara dengan lebih baik jika kita ingin Jino tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan penuh kehangatan. Kita perlu bekerja sama untuk mewujudkan hal itu.”

Jeno merasakan beban di pundaknya sedikit berkurang. “Aku setuju. Aku ingin kita bisa membicarakan semua ini. Aku berjanji untuk tidak mengabaikanmu lagi.”

Jino berlari ke arah mereka dengan wajah penuh keceriaan. “Mama!!!!, lihat kue yang aku buat!” teriaknya, menunjukkan kue yang masih tersisa dari kegiatan mereka membuat kue di rumah.

Renjun tersenyum lebar, dan Jeno merasa hatinya hangat melihat interaksi antara anak dan isttinya. “Itu terlihat lezat! Apakah kita bisa makan bersama sayang?” tanya Renjun, mencoba berbicara dengan Jino.

Ya! Ayo kita makan kue bersama mama papa!” jawab Jino, bersemangat.

Mereka bertiga duduk di bangku taman, dan Jeno mengeluarkan potongan kue yang telah mereka buat bersama. Saat Jino membagikan potongan kue kepada orang tuanya suasana terasa lebih ringan. Tawa dan kebahagiaan mereka mengisi udara yang sebelumnya terasa dingin, mereka menciptakan kenangan baru yang indah.

Selama pertemuan itu baik Jeno maupun Renjun merasa seolah-olah mereka kembali ke masa-masa bahagia di mana mereka saling berbagi kasing sayang dan cinta. Mereka mulai berbicara lebih terbuka tentang masa depan Jino, dan Jeno merasa ada harapan baru yang mengalir di antara mereka.

Aku ingin kita bisa lebih sering bertemu, bukan hanya untuk Jino, tetapi juga untuk kita,” kata Renjun, tatapannya penuh keyakinan.

Jeno mengangguk, merasa lega. “Aku juga ingin itu. Kita bisa mencoba membangun kembali hubungan ini, sedikit demi sedikit sampai kamu siap untuk kembali.”

Saat mereka selesai menikmati kue dan berbincang-bincang, Jino tiba-tiba berlari mendekati mereka. “Ayo kita bermain petak umpet!” teriaknya.

Jeno dan Renjun saling berpandangan dan tersenyum. “Baiklah, ayo kita bermain!” seru Renjun, melangkah maju dengan penuh semangat.

Mereka bertiga bermain petak umpet di taman dan tawa Jino memenuhi udara. Momen kebersamaan ini terasa seperti langkah kecil namun berarti menuju ikatan yang lebih dalam.

Saat hari mulai gelap dan mereka bersiap untuk pulang, Jeno merasa ada harapan baru dalam hatinya. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa menemukan jalan kembali satu sama lain. Di saat Jino melompat-lompat gembira dengan menggandeng tangan Papa dan Mamanya, Jeno tahu bahwa mereka masih memiliki kesempatan untuk membangun keluarga yang mereka impikan.

---

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HadirmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang