Bab 10

15 4 0
                                        

Seorang rekan dari departemen lain melintas dan menyapa, "Pagi, Emma! Semoga harimu menyenangkan!"

"Selamat pagi! Semoga harimu juga menyenangkan," balas Emma sambil tersenyum, merasakan sedikit kehangatan dari interaksi tersebut.

Dia kemudian membuka e-mail nya dan mulai memeriksa pesan-pesan penting, berharap tidak ada masalah mendesak yang perlu segera ditangani.

"Wah, semoga nggak ada masalah ya. Soalnya atasan kita udah mulai gelisah karena ada beberapa komponen yang belum bisa kita produksi kalau bahan bakunya nggak di approve," ujar Tono sambil mengerutkan kening.

"Ya, aku juga harap semua lancar. Nggak mau ada drama lagi deh soal PO ini," jawab Emma sambil mengetik cepat di laptopnya, mencoba menyelesaikan laporan yang tertunda.

Beberapa menit kemudian, Handphone di meja Emma berdering. Manajer perusahaan yang selalu tampak serius belakangan ini. Emma tahu, ini pasti tentang masalah PO yang tertunda.

"Halo, Pak Budi," sapa Emma dengan nada formal.

"Emma, kamu udah cek ke bagian incoming soal bahan baku Hwa S.Ci? Kalau belum di approve QC hari ini, kita bisa mundur dari target produksi. Aku nggak mau ada alasan lagi!" suara Pak Budi terdengar tegas, bahkan sedikit mendesak.

"Sudah, Pak. Saya tadi pagi sudah bicara dengan bagian incoming. Mereka bilang barangnya sudah datang kemarin, tapi QC baru bisa kasih approval sore ini. Saya akan terus monitor dan kabari Bapak begitu ada perkembangan," jawab Emma dengan tenang.

"Pastikan semua beres, Emma. Ini proyek penting, dan kita nggak bisa main-main. Kalau ada apa-apa, kamu langsung kabarin aku," Pak Budi menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

Emma meletakkan gagang telepon dengan sedikit gemetar. Suara tegas Pak Budi selalu membuatnya merasa tertekan, meski dia tahu semua ini bagian dari tanggung jawabnya. Setelah menenangkan diri, dia kembali fokus pada pekerjaannya.

Emma kembali tenggelam dalam pekerjaannya, meski pikirannya masih sesekali melayang ke rumah, tempat ibunya yang sudah mulai menua dan sering mengalami keluhan kesehatan. Memang, sejak beberapa bulan terakhir, Emma merasa kekhawatirannya semakin membesar. Ibunya, yang dulu selalu tampak kuat dan mandiri, kini mulai terlihat lelah dan lebih sering membutuhkan perhatian.

Waktu terus berjalan, dan saat jam menunjukkan pukul 10:30, Emma memutuskan untuk mengambil rehat sejenak. Dia pergi ke pantry untuk mengambil segelas air dan melihat beberapa rekan kerjanya sedang mengobrol ringan di sana.

"Emma! Ke sini, gabung dong," seru Ani, rekan kerjanya yang selalu ceria.

Emma tersenyum dan mendekati mereka. "Ngobrolin apa nih?" tanyanya sambil mengambil segelas air.

"Cuma ngomongin rencana liburan aja. Kamu gimana, Em? Punya rencana ke mana-mana?" tanya Ani sambil tersenyum.

"Hmm, kayaknya nggak deh. Lagi banyak kerjaan, sama harus jaga ibu di rumah," jawab Emma.

"Oh iya, ibu kamu gimana kabarnya? Masih sering kontrol ke dokter, kan?" tanya Ani dengan nada perhatian.

"Iya, baru aja nanti sore dokter datang ke rumah. Syukurlah sejauh ini kondisinya stabil," jawab Emma, meski di dalam hatinya dia masih merasa khawatir.

"Semoga cepat sembuh ya ibumu. Kalau butuh bantuan apa-apa, jangan ragu kasih tahu kita," ujar Ani sambil menepuk bahu Emma.

"Thanks, Ani," jawab Emma dengan senyum tipis.

Setelah menghabiskan air minumnya, Emma kembali ke meja kerjanya. Pekerjaan menumpuk, dan dia tidak bisa berlama-lama istirahat. Jam makan siang semakin dekat, namun Emma merasa belum ada cukup waktu untuk menyelesaikan semuanya. Dia membuka spreadsheet berisi rincian proyek, mencocokkan setiap detail dengan email yang masuk, sambil sesekali menghubungi bagian lain untuk klarifikasi.

Balancing Acts in the Office "The Realities Behind It"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang