Di tengah malam yang sunyi, Emma berbaring di atas ranjangnya, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang melayang. Lampu kamar yang temaram hanya memperkuat kesunyian yang menghantui pikirannya.
"Argh, kenapa aku jadi kepikiran terus?" desahnya frustrasi, kedua tangannya menutupi wajah. Dia mencoba berguling di bawah selimut, memaksa dirinya untuk tidur. Tapi bayangan Serena yang pingsan dan tatapan tajam pria itu, tatapan yang seolah menyimpan sejuta rahasia, tidak mau hilang dari benaknya.
Emma terdiam, lalu membuka matanya. "Tunggu..," bibirnya berbisik lirih. Sebuah ide melintas di pikirannya, mengusik ketenangan. Ia segera duduk, tangannya meraih tas yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Tangannya bergetar sedikit saat merogoh tas, dan dengan cepat ia mengeluarkan sebuah kartu nama kecil yang tadi diberikan oleh pria itu.
"Siapa namanya tadi?" gumamnya sambil menyipitkan mata, membaca tulisan di kartu itu. Seketika, kedua matanya membulat lebar.
"Richard Fictor, direktur perusahaan Helia Dae Ju!" ucapnya setengah terkejut. Nama itu menggemakan sesuatu di kepalanya. "Helia?" Emma berbisik, bingung dan penasaran. "Seperti namaku... Emma Helia. Apa mungkin ibu tahu sesuatu?"
Saat itu juga, pintu kamar terbuka perlahan, dan sosok ibunya muncul di ambang pintu.
"Emma?" Panggilan lembut sang ibu membuat Emma tersentak.
"Ah, kebetulan ibu datang," suara Emma terdengar serak. Ia mengangkat kartu nama itu, menatap ibunya penuh selidik. "Ibu... Apa ibu mengambil nama lengkap ku dari perusahaan Helia Dae Ju?"
Wajah ibunya sejenak membeku, tampak pucat. Matanya beralih ke arah lain, mencoba menghindari tatapan Emma. "Ah, ibu baru ingat! Ibu belum beli sayur untuk sarapan besok!" Ibunya menjawab tergesa-gesa, tanpa menunggu reaksi Emma, ia berbalik dan melangkah keluar kamar.
"Sayur?" Emma menatap pintu yang masih bergoyang pelan, seakan mencoba memastikan apa yang baru saja terjadi. Ini sudah tengah malam, dan ibunya berbicara tentang membeli sayur? "Memangnya ada pasar yang buka malam-malam begini?" pikirnya. Tanpa menunggu lebih lama, Emma bangkit dan bergegas keluar kamar.
"Ibu! Ibu, tunggu!" Ia segera menyusul ke ruang tamu, tapi ibunya sudah tidak ada. "Ibu, pergi ke mana sih? Aneh, hilangnya cepet banget." Gerutunya, merasa semakin tak nyaman. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang sedang disembunyikan.
Emma kembali duduk di tepi ranjang, tatapannya tertuju pada kartu nama yang masih digenggamnya.
"Sepertinya ada sesuatu dengan nama perusahaan ini." Pikirannya melayang, mencoba mencari koneksi yang mungkin. Tapi setiap kali dia merasa sudah hampir mengerti, benang merah itu kembali kabur. "Ah, sudahlah," desahnya putus asa. "Besok aku harus bangun pagi untuk kerja. Nggak ada gunanya memikirkan ini sekarang."
Emma berusaha menyingkirkan rasa penasaran yang membara di dadanya. Namun, begitu ia berbaring, bayangan-bayangan itu kembali menyerang. "Eh iya.., dia belum menghubungiku," pikirnya tiba-tiba, wajah Richard terlintas di benaknya. Apa lebih baik ia menghubungi pria itu duluan?
Lalu Emma menggelengkan kepalanya, "Tidak. Mereka orang asing yang baru aku temui. Fokus sama dirimu sendiri, Emma." Gerutunya, memaksa diri untuk tidak terpengaruh. Tapi semakin ia berusaha mengabaikan, semakin dalam rasa ingin tahunya.
Akhirnya, dengan gerakan cepat, Emma meraih ponselnya dan mengetik nama "Richard Fictor" di Gugel Search. Jantungnya berdegup kencang saat hasil pencarian mulai bermunculan. Artikel-artikel tentang perusahaan Helia Dae Ju berderet di layar. Emma memilih artikel yang tampak lebih baru, dan saat ia membaca headline besar itu, bulu kuduknya meremang.
"Helia Dae Ju, perusahaan yang memiliki tiga cabang utama, salah satunya di Yogyakarta, dan telah beroperasi selama lebih dari lima dekade."
"Lima puluh tahun?" bisiknya, semakin heran. Dia membaca lebih lanjut. Perusahaan ini awalnya dipegang oleh seseorang bernama Arthur, tetapi entah bagaimana, sekarang direktur utamanya dipegang dipegang oleh Richard Fictor sebagai direktur. Namun, informasi tentang siapa pendiri sebenarnya tetap buram.
"Apa mungkin ini berkaitan dengan keluargaku?" pikir Emma, kebingungan. Lalu matanya tertuju pada sebuah foto dalam artikel tersebut.
Seorang wanita muda dengan rambut panjang, berdiri di samping seorang pria dengan tatapan penuh rahasia. Detak jantung Emma berhenti sejenak. Wajah wanita itu...
"Ini..." Emma menahan napas. "Wanita itu sangat mirip dengan Serena. Hanya saja, dia terlihat lebih tua dan lebih dewasa."
"Apa mungkin mereka... saudara?" pikiran itu muncul tanpa bisa ia cegah. "Atau lebih dari itu? Tidak, ini pasti hanya kebetulan, kan?" Tapi kenapa perasaannya berkata lain?
Emma menelan ludah, perutnya terasa mual karena terlalu banyak spekulasi. Dia ingin menelepon mengetahui kabar Serena, tapi ini sudah larut malam.
"Sudahlah, tidur!" Emma mengepalkan tangan, mencoba memejamkan matanya untuk segera tidur.
Emma merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya, seolah-olah setiap detak mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari yang ia sadari. Sebuah rahasia, mungkin, yang terkait erat dengan masa lalunya. Malam itu, tidur menjadi sekadar formalitas.
Keesokan paginya, Emma bangun lebih awal dari biasanya. Dengan wajah tidur yang masih belum terbangun penuh, Emma keluar kamar dan pergi ke salah satu ruangan sambil menguap.
Kamar yang dia kunjungi adalah milik ibunya, "ibu..," Ucapnya yang belum selesai bicara tapi sang ibu tidak ada dikamar.
Wajah yang tadinya masih sedikit mengantuk tiba-tiba meleh dan tersadar. "Loh, Ibu kemana? Apa semalam tidak pulang?" Ucap Emma yang sangat khawatir.
Emma mulai bergegas mencari, "Ibu..!" panggilnya
"Ibu kemana?"
"Ibu!" Emma memanggil sang ibu dengan panik.
Emma mencari didalam rumah dimanapun, lalu dia menuju luar rumah.
"I..bu..," Seketika panggilan Emma mereda ketika melihat ibunya sedang berada di taman sambil menyiram tanaman.
"Ibu!" Kali ini panggilan Emma terdengar oleh ibunya.
"Iya, ada apa Emma?" Sang ibu menjawab dan menoleh ke Emma dan menghentikan penyiraman nya.
"Enggak, Emma cuma khawatir," Ucap Emma yang sebenarnya tadi hanya ingin memastikan ibunya ada atau tidak. Perasaan Emma sekarang mulai lega karena telah memastikan sang ibu ada di rumah. Emma akhirnya berbalik badan dan masuk kedalam rumah.
Ibunya kebingungan dan mulai berhenti menyiram dan akhirnya menyusul Emma masuk kedalam.
Saat memasuki rumah, Emma duduk di ruang tamu sambil menatap kosong ke arah meja. Hatinya masih terasa cemas, meskipun dia tahu ibunya baik-baik saja. Ada sesuatu yang mengganggunya, perasaan yang tidak bisa dia jelaskan. Saat itulah ibunya muncul di pintu ruang tamu, wajahnya tampak penuh tanda tanya.
"Emma, kamu kenapa?" tanya ibunya dengan nada lembut. Dia berjalan mendekati Emma, duduk di sebelahnya, dan menyentuh pundak putrinya pelan.
Emma menatap ibunya sebentar, lalu menunduk. "Entah kenapa, Emma punya firasat aneh, Bu. Sepert ada sesuatu yang akan terjadi."
Sang ibu mengerutkan kening, matanya menyiratkan perhatian yang dalam. "Firasat? Maksudmu apa?" Tanyanya dengan bingung.
Emma menarik napas panjang, berusaha menguraikan kata-kata yang sulit terungkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balancing Acts in the Office "The Realities Behind It"
SachbücherDi tengah hiruk-pikuk dunia korporat, pasti ada berbagai hal kejadian menarik dan mungkin sering dijumpai oleh para kaum korporat. Bahkan mereka memiliki bahasa atau komunikasi terkhusus untuk menghindari luapan amarah dari atasan. Lingkungan kerja...