CHAPTER 10

4 2 0
                                    

🌻🌻🌻

🅗🅐🅟🅟🅨 🅡🅔🅐🅓🅘🅝🅖

🌻

"Haruskah sebuah jiwa tidak dianggap ketika
jiwa lain sudah pergi?"
~Angkasa Bintang Airlangga~

Mungkin bagi banyak manusia diluar sana pulang itu adalah rumah. Rumah dimana tempat mereka terlahir dan tumbuh disana. Rumah yang tidak bisa menjadi ukuran bagaimana besar moment masa yang tenggelam dalam jutaan detik yang membawanya menjadi memori kelam. Sebelum sebuah ingatan yang berubah menjadi rasa sakit.

Seperti memori senja yang hanya ada dalam waktu yang singkat. Karena itu lah Bintang menggunakan waktu sorenya untuk memasuki rumahnya setelah satu harian penuh ia berdiam di warung mang dadang bersama teman-temannya. Dan sekarang Bintang memilih untuk pulang, lebih tepatnya rumah kedua orang tuanya.

Di ruang keluarga sudah ada Ayah Bintang beserta ibunya yang duduk di sofa. Kedatangan Bintang di sambut baik.

"Eh.. anak mama udah pulang rupanya," sambut Luna, Ibu dari Bintang.

Bintang tersenyun tipis, "Tumben Ma, lagi ngomongin apa?" tanya Bintang, ia pun duduk. Hatinya sedikit menghangat saat melihat mereka yang tampak membicarakan hal ringan, tidak seperti biasanya.

Dipta, Ayah Bintangmenyerahkan selembar kertas berisi deretan nilai harian dan PTS milik Bintang. "Nilai."

Bintang hanya menatap kertas itu di atas meja. Dari apa yang dilihatnya memang selalu tidak sama dengan yang terjadi. Lagi-lagi Bintang harus kecewa dengan rasa bahagia yang ia ilusikan. Rahangnya mulai mengeras tapi sebisa mungkin ia diam.

"Kemarin Ayah cek ke wali kelas kamu. Nilai kamu masih stabil, kedepannya tingkatkan lagi." Terang Dipta seakan perintahnya itu mutlak dan tidak bisa di gugat.

Ibunya tersenyum tipis. "Gak papa  98 udah bagus kok, anak mama hebat."

"Untuk nanti usahakan tingkatkan lagi agar nilai kamu sempurna." Kata Dipta.

Luna menghela napasnya. "Pah, 98 juga udah bagus loh, pokoknya kamu fokus aja supaya nilai kamu gak turun ya Bi, proses perlahan." Nasihat Luna.

Bintang hanya tersenyum. "Iya Ma, doain.."

"Tapi saya hanya ingin kamu punya hasil sempurna Bintang. KAIST itu tujuan kamu, ingat kan?"

"Ingat pah"

Lagi-lagi Bintang hanya bisa tersenyum kecut. Jujur saat ini rasanya Bintang ingin mencari samsak dan melampiaskan amarahnya disana. Diam-diam Bintang menyembunyikan tangannya yang sudah terkepal sempurna di balik saku jas sekolahnya.

"Coba aja Langit masih ada. Pasti rumah ini gak akan sepi."

Luna tersenyum kikuk. "Iya pa." Gumamnya, hati Luna terasa mencelos seketika.

Jika kalian tahu, Langit itu lebih pendiam dari Bintang. Dan yang setiap pagi atau sore hari yang selalu riuh memenuhi ruang keluarga dengan cerita sekolahnya itu justru adalah Bintang. Banyak cerita yang memang selalu menjadikannya pusat perhatian mereka, dulu. Tapi sekarang, semuanya menghilang begitu saja.

Haruskah sebuah jiwa tidak dianggap ketika jiwa lain sudah pergi?

Tidak adil bukan?

"Langit selalu melakukan segalanya dengan sempurna. Dia selalu menargetkan 101% di setiap apa yang dia kerjakan." Tutur Dipta melirik Bintang  yang hanya menunduk.

Bintang tahu. Bintang paham jika Dipta sudah mengungkit tentang Langit di hadapan ibunya dan membanggakan Langit hingga membuat dirinya merasa rendah, itu akan membuat Luna sedih. Dan pada akhirnya ia selalu ditempatkan di posisi dengan rasa bersalah. Rasa bersalah pada Luna, rasa bersalah pada Langit, dan rasa bersalah pada dirinya.

Bintang Dan Kisahnya (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang