Zayyan fokus memperhatikan pelajaran yang diterangkan oleh guru di depan kelas sambil sesekali mencatat beberapa hal penting di buku catatannya. Sudah dua bulan berlalu sejak kejadian di tangga waktu itu, tetapi dia masih belum bisa mengingat apa yang terlupakan, sekeras apa pun dia mencoba.
Zayyan sudah mulai pasrah. Dia juga tak sanggup menahan sakit kepala yang muncul setiap kali dia memaksa dirinya untuk mengingat. Akhirnya, Zayyan memilih untuk menganggap itu sebagai kelupaan biasa, tak perlu terlalu dipikirkan.
Tiba-tiba, dia merasakan ada sesuatu yang menetes di hidungnya. Setetes darah jatuh di lembaran buku catatannya. Ah, dia mimisan lagi. Sejak kejadian itu, dia memang sering mimisan.
Tanpa ragu, Zayyan merobek halaman yang terkena noda darah untuk membersihkan darah di hidungnya. Tapi ternyata, darah yang keluar cukup banyak. Halaman kertas itu sudah penuh dengan noda merah. Dia menghela napas, sedikit kesal karena lupa membawa tisu.
Dengan terpaksa, dia merobek beberapa lembar kertas lain untuk menghentikan aliran darah. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya darah berhenti mengalir. Dia menghela napas lega. Untungnya, tidak ada yang memperhatikan. Teman-temannya tampak fokus pada materi yang sedang dijelaskan oleh guru di depan.
“Baiklah, cukup materi yang Ibu jelaskan hari ini. Jika ada yang kurang paham, silakan bertanya,” ucap guru tersebut setelah hampir satu jam menjelaskan berbagai angka di papan tulis.
“Tidak ada yang ingin bertanya?” tanyanya lagi, memastikan. Namun, tak satu pun murid bereaksi. Semua hanya menggelengkan kepala lemah. Otak mereka sudah terasa panas setelah disuguhi pelajaran matematika di pagi hari, disusul dengan fisika yang sama-sama penuh dengan angka.
Melihat murid-muridnya tampak lelah, guru tersebut akhirnya menutup pembelajaran dan meninggalkan kelas. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Seisi kelas langsung berhamburan keluar. Inilah saat yang mereka tunggu-tunggu.
“Ayo, ke kantin!” seru Davin kepada kelima temannya.
“Kalian duluan aja. Gue mau mencatat materi ini dulu, nanti gue nyusul,” balas Zayyan, yang masih sibuk menulis ulang catatan materi penting di papan tulis karena halaman catatannya tadi sudah dia robek.
“Gue tungguin,” sahut Sing dan Leo serempak. Zayyan menghela napas. Dua teman baiknya ini memang tak bisa ditinggal sebentar pun.
“Pergi aja duluan. Mereka bertiga aja udah duluan ke kantin,” desak Zayyan.
Meski awalnya ingin menolak, tatapan Zayyan yang serius membuat Sing dan Leo akhirnya memilih pergi duluan. Setelah beberapa menit, Zayyan akhirnya menyelesaikan catatannya. Dia membereskan peralatan tulisnya, mengambil beberapa lembar kertas yang terkena darah tadi, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Dia berjalan menuju kantin. Namun, baru beberapa langkah, pandangannya tiba-tiba buram, dan rasa sakit yang tajam menyerang kepalanya. Dengan cepat, dia menahan tubuhnya pada dinding koridor, mencoba menjaga keseimbangan. Zayyan memejamkan mata, menunggu rasa sakit itu mereda.
Setelah beberapa saat, ketika rasa sakitnya berkurang, dia perlahan membuka matanya. Pandangannya mulai normal kembali. Zayyan menghela napas. Dia sudah tak terkejut dengan kondisi ini. Selama dua bulan terakhir, penglihatan yang tiba-tiba buram dan sakit kepala mendadak sudah sering dia alami.
Kadang dia bertanya-tanya ada apa dengan dirinya, tetapi dia selalu menepis kekhawatiran itu. Menganggap ini hanya penyakit biasa, Zayyan tak pernah menganggapnya serius. Lagi pula, meski sering kambuh, rasa sakitnya tak bertahan lama. Cukup menahannya sebentar, dan semuanya akan kembali seperti biasa.
“Lama banget, lo, Zay. Dari mana aja? Masa nulis catatan doang lama banget, jam istirahat udah hampir habis, tahu!” seru Lex ketika melihat Zayyan akhirnya datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Menyerah •Zayyan Story• END
FanfictionSiapa yang menyangka bahwa senyum ceria yang selalu ia tampakkan kepada dunia adalah caranya menyembunyikan luka yang terpendam di hatinya. Dia adalah Zayyan, sang mentari bagi mereka... Dia adalah Zayyan, pemilik senyum yang memancarkan kehangatan...